Lebih jauh St Thomas Aquinas menguraikan hak negara dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang penjahat. Demi melindungi masyarakat, hukuman mati dapat dilaksanakan guna menghukum “sampar masyarakat,” yaitu orang-orang yang dengan bebas dan sukarela memilih untuk melakukan suatu tindak kejahatan berat. St Thomas Aquinas menegaskan bahwa melalui dosa, manusia menyimpang dari akal budinya dan jatuh dari martabatnya sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah. Beberapa tindak kejahatan begitu brutal hingga orang bertanya, “Manusia macam apakah yang dapat melakukan tindak kejahatan demikian itu?” Seorang yang melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, menurut St Thomas, bahkan lebih mengerikan daripada bintang buas yang ganas dan bahkan jauh lebih berbahaya dari itu, sebab ia dapat merusak individu-individu lainnya dan mencelakai masyarakat. Terkadang, beberapa individu telah begitu dipenuhi kejahatan, buta akan kebenaran dan kebajikan, dan tanpa penyesalan atas tindak kejahatan yang mereka lakukan, hingga, seperti dikemukakan St Thomas Aquinas, mereka harus disingkirkan secara permanen dari masyarakat. Sama seperti suatu organ yang terinfeksi atau terjangkit penyakit menular harus dibuang demi memelihara kesehatan seluruh tubuh, demikian pula seorang yang berbahaya atau merupakan sampar masyarakat dapat dieksekusi daripada merusakkan atau mendatangkan celaka bagi masyarakat. (Cf Summa Theologiae, II-II, 64, 1.)
Di sini, St Thomas Aquinas membuat pembedaan penting antara “sampar masyarakat” dengan “seorang yang tak bersalah,” dan pembedaan ini terus berlanjut dalam ajaran Katolik yang sekarang. Kehidupan manusia adalah sungguh kudus dalam segala bentuknya dan dalam segala masa; seorang manusia yang tak bersalah memiliki hak yang kudus dan tak dapat diganggu gugat untuk hidup. Gereja dengan cermat menggaris-bawahi hak yang tak dapat diganggu gugat dari “kehidupan yang tak bersalah” ini. Dalam Declaratio de Euthanasia (1980) Gereja menegaskan, “Harus ditandaskan sekali lagi bahwa tak sesuatupun dan tak seorang pun dapat memberi hak mematikan manusia yang tak bersalah, entah menyangkut fetus atau embrio, anak atau orang dewasa, orang lanjut usia, orang sakit yang tak tersembuhkan atau orang yang sedang akan meninggal.” Dalam Declaratio de abortu procurator (1974) Gereja memaklumkan, “Hukum ilahi dan akalbudi kodrati dengan demikian menyisihkan hak untuk direk membunuh manusia yang tak bersalah.” Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae menyatakan, “kami meneguhkan bahwa pembunuhan langsung dan sengaja manusia yang tak bersalah selalu merupakan pelanggaran moril yang berat” (No. 57). Katekismus Gereja Katolik, dengan mengutip “Donum vitae,” mengajarkan, “Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (No. 2258).
Tetapi, dalam tradisi ajaran Gereja, apabila seseorang secara sukarela dan bebas melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, ia tak lagi dapat dianggap sebagai `seorang yang tak bersalah,' melainkan sebagai “seorang penyerang yang tidak adil.” Apabila ia dinilai sebagai ancaman bagi masyarakat secara keseluruhan, ia dapat dijatuhi hukuman penjara, dan bagi tindak kejahatan yang sungguh teramat berat, ia dapat dicabut hak hidupnya dalam masyarakat ini, pada masa ini, pada waktu ini, dan dieksekusi. Sama seperti seseorang berhak mengakhiri hidup orang lain sebagai upaya terakhir untuk melindingi hidupnya sendiri atau hidup orang lain, sama seperti negara berhak memaklumkan perang sebagai upaya terakhir untuk melindungi diri, demikian pula negara, sebagai upaya terakhir (“satu-satunya cara yang mungkin”), berhak malaksanakan hukuman mati untuk melindungi warganya dari penyerang yang tidak adil.
St Thomas juga mengajukan argumentasi bahwa hukuman mati dapat dipergunakan pula untuk mencegah tindak kejahatan di masa mendatang, “Singkirkan dia secara permanen dari masyarakat dan kirimkan kepada Tuhan untuk pengadilan ilahi, maka si penjahat tak akan pernah mencelakai orang lagi.” St Thomas Aquinas menegaskan bahwa jika masyarakat yang baik “dilindungi dan diselamatkan dengan membunuh yang jahat, maka yang jahat dapat secara sah dijatuhi hukuman mati.” Di samping itu, eksekusi terhadap seorang penjahat juga akan mencegah yang lain untuk melakukan tindak kejahatan serupa.
Akhirnya, menurut St Thomas, hukuman mati dapat mengilhami perbaikan diri: penjahat yang dijatuhi hukuman mati, menghadapi akhir hidupnya yang segera tiba, dan sadar bahwa ia akan dihadapkan ke pengadilan Allah, diharapkan akan tergerak hatinya untuk bertobat.
Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu, tetapi sekali lagi, “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia” (No. 2267).
Sesungguhnya sekarang ini, sebagai konsekuensi kemungkinan di mana negara demi mencegah kejahatan secara efektif dengan menjadikan pelaku tindak kejahatan tidak lagi dapat mencelakai - tanpa secara definitif meniadakan kemungkinan ia meloloskan diri - kasus-kasus di mana eksekusi pelaku kejahatan sungguh merupakan suatu kebutuhan yang mutlak, adalah langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi.
Kalimat terakhir di atas dikutip dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Evangelium Vitae”: “Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat, dan jangan sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang mutlak perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat. Akan tetapi sekarang, sebagai hasil perbaikan-perbaikan terus-menerus dalam penataan sistem hukuman, kasus itu langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi” (No 56). Patut diperhatikan bahwa Bapa Suci telah senantiasa memohon dengan sangat demi keringanan hukuman mati. Walau demikian, beliau tidak mengutuk hak negara untuk menjalankan otoritasnya dalam mengeksekusi seorang penjahat besar, melainkan mempertanyakan apakah negara pernah secara mutlak harus melaksanakan otoritas yang demikian dalam situasi sekarang ini.
Bersambung....