Sebab itu, meski Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut: Apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan?
Sekarang, marilah membahas masalah yang dipertanyakan. Pada tanggal 19 April 1995, Timothy McVeigh meledakkan suatu bom dahsyat di depan Murrah Federal Building yang menewaskan 168 orang dan melukai ratusan lainnya. Ia mengakibatkan ketakutan permanen dalam diri keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Ia menyebut ke-19 kanak-kanak tak berdosa yang tewas di fasilitas penitipan anak dalam gedung itu sebagai “collateral damage.” Ia tak menunjukkan penyesalan, tak menyatakan maaf ataupun meminta pengampunan. Hingga hari ini [24 Mei 2001], ia menolak untuk naik banding. Sesungguhnya, dalam wawancara baru-baru ini, ia telah mengakui kesalahannya. Ia diadili sebagaimana mestinya dan terbukti bersalah atas suatu kejahatan yang sangat besar yang mendatangkan hukuman mati. Ia dijadwalkan untuk dieksekusi pada tanggal 16 Mei, tetapi pelaksanaan eksekusi ditunda.
Sekarang, mari kita cermati apakah persyaratannya terpenuhi: Apakah hukuman mati merupakan satu-satunya cara yang mungkin untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tak berdarah lainnya? McVeigh dapat saja dikirim ke salah satu dari penjara state-of-the-art yang baru, seumur hidupnya. Baru-baru ini Negara Bagian Virginia memiliki dua penjara “super maximum” yang baru; satu di Big Stone Gap dan satunya di Pound. Keduanya mampu menampung 1,267 narapidana. Mereka yang dikucilkan dalam komunitas khusus ini akan dikurung secara individual 23 jam sehari dalam suatu sel berukuran 7x12 kaki. Terali jendela akan dipasangi kaca buram sehingga tahanan tak dapat melihat keluar. Ia akan mendapatkan waktu olahraga selama satu jam sehari, yang dilakukannya seorang diri dalam suatu halaman beton yang sempit, yang dikelilingi tembok beton setinggi 12 kaki dan di atasnya dipasangi kawat berduri. Narapidana yang dikucilkan ini tak akan memiliki kelompok aktivitas dan tak mendapatkan program-program pendidikan ataupun kejuruan. Penjahat yang paling besar tak akan mendapatkan bahan-bahan bacaan. Apabila orang diijinkan mengunjunginya, kontak fisik tak akan diperbolehkan. Suatu penjara federal serupa itu ada di Florence, Col. yang terpencil, di mana “Unabomber” Ted Kaczynski dipenjarakan; sejak 4 Mei 1998, ia telah menjalani empat masa hukuman seumur hidup ditambah 30 tahun penjara untuk serangkaian bom surat yang menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 20 orang lainnya selama 17 tahun masa teror. Kenyataan-kenyataan tersebut di atas memang sungguh mengerikan, tetapi efektif. Walau demikian orang harus bertanya apakah fasilitas yang demikian mampu membangkitkan niat perbaikan diri atau apakah semakin menegarkan hati penjahat dalam usahanya mencelakai yang lain. Orang juga harus bertanya apakah pengurungan yang demikian itu kejam dan tidak pada tempatnya. Masyarakat juga harus waspada untuk tidak “mengurungnya dan lalu membuang kuncinya,” acuh tak acuh dalam menawarkan rehabilitasi bagi penjahat yang demikian.
Apakah dengan begitu penjahat telah dibuat tak mungkin mencelakai orang lagi? Kekejaman di penjara-penjara dan tingkat residivis yang tinggi bagi narapidana yang dibebaskan menimbulkan keragu-raguan yang serius dalam diri kita hingga sebesar 60%. Mungkinkah orang ini, yang telah melakukan tindakan melanggar otoritas negara, akan membunuh sipir penjara atau sesama narapidana? Bagaimana jika ia dapat melarikan diri? Segenap warga masyarakat, termasuk para narapidana dan teristimewa para kurban kejahatan serta mereka yang telah memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku kejahatan ini, mempunyai hak untuk hidup tanpa rasa takut. Para penjahat yang melakukan tindak kejahatan besar telah melukai bukan saja kesejahteraan jasmani yang lain, melainkan juga kesejahteraan rohani mereka. Seorang umat Kristiani wajib menunjukkan belas kasihan kepada penjahat, namun demikian ia juga wajib menunjukkan belas kasihan kepada kurban-kurban yang tak bersalah, yang telah menderita akibat tindak kejahatan.
Apakah seorang penjahat memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Timothy McVeigh telah membuktikannya sejak April 1995. Sungguh, hukuman mati memberikan batas akhir waktu bagi seorang penjahat untuk memperbaiki diri. St Thomas akan berargumentasi bahwa batasan waktu yang singkat itu akan memotivasinya untuk memperbaiki diri. Di lain pihak, orang patut bertanya apakah penjara super maximum menawarkan pengharapan akan perbaikan diri atau rehabilitasi, atau sekedar menawarkan suatu “nasib yang lebih buruk daripada mati.”
Apakah kasus ini merupakan kasus langka yang menuntut hukuman yang demikian? Jika Timothy McVeigh dieksekusi, ini akan menjadi eksekusi federal yang pertama sejak 1963; sungguh suatu peristiwa yang langka dalam otoritas pengadilan. Di samping itu, kejahatan ini merupakan insiden yang langka, yang sangat diharapkan tidak akan pernah terulang kembali.
Bersambung....