Mas Phooey,
agak susah mas kalau mencermati fenomena tersebut dari kutipan-kutipan..
karena interpretasi setiap kepala tentu berbeda-beda & pasti tidak mungkin erat bersatu dsb..
Kalau saya boleh menawarkan suatu SUDUT PANDANG bahwa Fenomena Protestantism & aliran-aliran lain yang muncul itu adalah FENOMENA SOSIAL POLITIK dan suatu KENYATAAN SEJARAH.
Nah, kalau pakai sudut pandang tsb, saya rasa lebih mudah bahwa:
1. Kenyataan Sejarah yang sudah terjadi tentu AMAT SULIT untuk di-reverse / di-rewind
2. Setiap orang yang sudah berada dalam anggota aliran baru / sempalan --> tentu sudah menemukan a more-comofort-zone, baik pengaruh individu dlm organisasinya, atau kenyamanan spiritual-nya..
3. Sehingga pasti susah untuk "mengajak kembali" atau apa pun lah caranya..
4. We ve got to live with it --> and thus live together co-existentially
5. Sama persis kok dengan Betapa UK akhirnya memilih untuk co-exist dengan U.S.A yang notabene adalah jajahannya yg memberontak & isinya juga orang2 dgn origin yang sama
Demikian pula sebaliknya, U.S.A juga tidak perlu merasa bahwa dirinya lah yang "Lebih Murni / Lebih Baik / Lebih Demokratis, etc" dibanding U.K, sehingga merasa berkewajiban untuk "memurnikan" UK supaya kembali ke jalan yang benar??
Gimana mas sudut pandang yang ini?
Oya, ketinggalan.
"Perpecahan Jemaat" itu sangat dipengaruhi oleh Pemimpin Organisasi-nya..
- Bila masih mempertahankan Hobi Self-Claim & Merasa dirinya sudah Paling Tepat interpretasi -nya --> sampai kapanpun jelas potensi friksi jadi tinggi.
- Tapi memang sih mas.. kalau sebaliknya.. si pemimpin memilih jalur soft & co-exist --> pasti ada sebagian jemaat yang "relatif hard-core" akan merasa seolah-olah KURANG MENDALAM kajian terhadap Tuhannya (alias Kurang Hard Core.. ehehe..) jadi pindah..
- Well anyway, kita tidak bisa memuaskan setiap jemaat kan ya?