Saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan iman yang obyektif. Karena apa yang kita sebut dengan obyektif pun kadang2 sebenarnya sangat subyektif.
Misalkan, saya menganggap Pak A adalah seorang yang saleh karena rajin ke gereja, rajin berdoa, dan suka menolong orang.
Tetapi bagi teman saya, si B, Pak A bukan orang yang saleh, melainkan orang yang munafik, karena dia pernah mengetahui fakta bahwa Pak A suka selingkuh.
Lihat bahwa apa yang saya anggap
obyektif dalam mengukur kadar iman seseorang, ternyata masih
subyektif ketika dibandingkan dengan pengamatan orang lain..
Maka
obyektif seharusnya mengacu kepada
fakta2 yang bisa disetujui dan disepakati oleh semua orang. Sedangkan
subyektif adalah ketika kita membuat
penafsiran, pertimbangan, dan bahkan kesimpulan atas dasar apa yang kita pikirkan .
Contoh, dalam hal Pak A, ketika saya bilang "Pak A adalah orang yang rajin berdoa, ke Gereja dan suka menolong orang ===> obyektif, karena saya bicara fakta2 yang juga disetujui/diamati oleh teman saya si B.
Tetapi ketika saya bilang "Pak A orang yang saleh" ===> subyektif, karena menafsirkan hanya berdasarkan pengamatan saya.
Demikian juga ketika B bilang "Pak A orang yang munafik" ===> subyektif, karena menafsirkan berdasarkan pengamatannya sendiri yang belum tentu disetujui orang lain.
Contoh lain:
Sebuah kotak berwarna hitam tergeletak di meja. Fakta tersebut bisa diamati semua orang, maka ketika orang berkata "itu sebuah kotak", "kotak itu di atas meja", "kotak itu berwarna hitam", dsb ===> orang2 berlaku obyektif.
Tetapi ketika ditanyakan "berapa berat kotak hitam itu?" padahal di situ tidak ada timbangan, maka jawaban semua orang sangatlah subyektif.
Demikian juga dengan iman, ketika kita melihat orang yang hidupnya menghasilkan buah2 Roh, kita bisa secara obyektif menyebut orang itu memiliki iman. Tetapi sebesar apa iman orang tersebut, kita hanya bisa berlaku subyektif ketika membuat penilaian.
Begitu menurut saya.
Salam