Wah, terima kasih. Ini pengetahuan baru bagi saya. Selama ini, sepanjang yang saya tahu, kalau ada pemberkatan perkawinan antar pariban (ibu mempelai putra adalah saudara kandung dari ayah mempelai putri), itu dilakukan dengan memegang pengakuan saksi, bahwa saksi menyatakan tidak adanya halangan pelangsungan perkawinan itu.
Damai, damai, damai.
Dulu ketika Kursus Pernikahan, di Pulo Mas, Romo pembimbing menanyakan:
"
Adakah yang orang Batak dan marpariban kandung? Kalau ada supaya segera 'kita' urus menyangkut dispensasi-nya.? [Untung isteri saya sekarang walaupun Pariban-ku tapi bukan Pariban Kandung
]
===
Sedikit membingungkan sebenarnya buat saya, karena yang saya tahu
Hubungan darah menyamping (seperti marpariban) sampai tingkat II sama sekali gak bisa
didispensasi karena merupakan
HALANGAN Perkawinan dan bukan
LARANGAN. Sesuai
Kanon 1091.
Namun demikian, dasar yang digunakan sepertinya adalah
Kanon 85, sbb:
Dispensasi atau pelonggaran dari daya ikat undang- undang yang semata-mata gerejawi dalam kasus tertentu, dapat diberikan oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif dalam batas-batas kompetensinya, dan juga oleh mereka yang memiliki secara eksplisit atau implisit kuasa memberikan dispensasi, baik atas dasar hukum maupun atas dasar delegasi yang legitim===
Kalau alasan:
Aturan Gerejawi, yang dijadikan dasar.... maka perkawinan lain:
garis lurus kebawah atau atas pun 'mestinya' bisa
didispensasi. Dan dari banyak
halangan perkawinan hanya yang
aturan Ilahi yg gak bisa didispensasi, spt: halangan
Umur,
terikat pernikahan dengan pihak lain;
tahbisan suci dan
kaul kemurnian. Selebihnya (karena aturan Gerejawi, bisa didispensasi).
===
Salam,
P.s.
Adat-istiadat
Manggarai juga mengenal adanya perkawinan yg dianjurkan 'adat' sebagaimana persis
marpariban di Batak, namanya:
tungku cu’u.
Perkawinan
tungku cu'u ini pun dapat didispensasi di
Keuskupan Ruteng.