Damai sejahtera Tuhan Jesus Kristus menyertaimu, Bud.
Ada dua hal yg menarik perhatian saya. Pertama yg biru.
Pelatihan pengendalian pikiran dan perasaan ini seperti apa ya bro Husada? Saya sangat tertarik dng hal-hal yg berkaitan dng pendidikan (pelatihan itu semacam pendidikan, kan?) Ketik saya membayangkan sebuah pelatihan, saya membayangkan sebuah interaksi. Interaksi dng materi pelatihan, interaksi dng orang lain, interaksi dng diri sendiri, dst dst. Dng kata lain, dalam bayangan saya, pelatihan adalah sebuah event sosial. Nah, ini menuntun saya ke pertanyaan: "kalau pelatihan itu sosial, maka hasil pelatihan tsb juga merupakan ekspresi dari yang sosial, bukan personal (sendirian). Lalu, di mana aspek free-nya?"
Dengan kata lain, karena melalui proses pelatihan yg bersifat sosial, will seseorang merupakan hasil pengaruh dari banyak hal atau pihak. Orang tidak dapat menempatkan dirinya dalam suatu kondisi yg "vakum" di mana ia dapat mengembangkan sebuah will yg 100% berasal dari dirinya sendiri. Kalu sudah begini, bagaimanakah atau kapankah will dapat dilihat (baik oleh manusia maupun Allah) sebagai sesuatu yg free?
Saya kira, pelatihan ato lebih spesifik,
latihantidak selalu harus ada interaksi antar subyek, bisa saja interaksi antara subyek dengan obyek. Misal, seorang pelajar yang mengerjakan pelatihan ato latihan pemecahan soal-soal di rumah, itu tidak berinteraksi antarasubyek, melainkan aksi satu arah, dari si pelajar ke obyek (buku pelajaran). Jadi, tidak selalu merupakan
event sosial.
kalau pelatihan itu sosial, maka hasil pelatihan tsb juga merupakan ekspresi dari yang sosial, bukan personal (sendirian). Lalu, di mana aspek free-nya?" Saya pikir, ekspresi sosial itu juga merupakan kumulasi dari ekspresi individual yang dihimpun dengan aturan yang disepakati (baik lisan maupun tertulis), meskipun aplikasi aturan itu bisa bervariasi antarindividu. Jadi, faktor
freewill pada ekspresi sosial yang Budi maksudkan itu, terdapat pada munculnya variasi-variasi sikap anggota sosial tersebut.
Kelihatannya, antara
pelatihan dengan
latihan, Budi lebih memperhatikan
pelatihan, ya? Tidak salah, tetapi, dalam ekspresi-ekspresi individual untuk merespon rangsang yang diterima oleh orang itu, justru dominasi perhatian harus ditujukan kepada
latihan, bukan
pelatihan. Respon seseorang terhadap suatu stimulan yang diterimanya, dominan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya, termasuk latihan-latihan (juga pelatihan) yang telah dijalaninya. Itu menurut saya, lho. Saya pikir, berdasar logika normal dan sehat.
Kedua, yang hijau.
Menurut yang hijau, orang bisa merespon stimulan dari luar dirinya secara sadar maupun tidak sadar. Kalau secara sadar, maka ia menggunakan freewill. Kalau tidak sadar, maka ia kehilangan freewill. Yang secara tidak sadar ini disebut secara naluriah.
Pertanyaan saya ada tiga:
1. respon yang sadar (tidak naluriah) ini seperti apa? respon yang tidak-sadar (naluriah) ini seperti apa?
2. Mengapa yg tidak nalurah disebut memakai freewill? Mengapa yang naluriah disebut tidak memakai freewill?
3. Kalau ada orang yg secara naluriah memilih utk ikut Allah (katakanlah naluri takut penderitaan di Neraka), apakah pilihan orang tsb akan dianggap "tidak sah" oleh Allah?
Respon yang sadar, misalnya ada permintaan Ketua RT untuk negumpul di balai RT. Seorang warga yang sadar akan bertanya, "Acaranya apa?" Setelah mendapat informasi itu, si warga tersebut akan menyiapkan segala sesuatu yang mungkin bisa disiapkannya terkait dengan acara yang dimaksudkan. Sementara warga yang tidak sadar, diminta ngumpul, langsung ngumpul tanpa persiapan apa-apa.
Kalo merespon tidak dengan naluriah, artinya orang itu merespon dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan dalam batas kemampuannya. Orang itu merespon tidak sekedar asal-asalan, tetapi menginginkan interaksi yang optimal antara pemberi stimulan dengan dirinya. Kalau memungkinkan untuk memperoleh keuntungan bersama, misalnya sama-sama senang, itu yang diupayakan. Nah, dalam mengupayakan optimalisasi itulah dia menggunakan
freewillnya untuk menggalang kesenanga bersama. Sementara, bila merespon hanya dengan naluriah, tidak mempertimbangkan mendalam, hanya sekenanya saja. Kalo lapar, makan, tidak perlu puasa. Kalo ngantuk, tidur, tidak perlu berjaga. Kalo tidak tahu, diam saja, tidak merasa perlu mengetahui, dll, dll.
Cheers
Damai, damai, damai.