@siip
Yang jadi pertanyaan tentunya, pantaskah kalau Tradisi Lisan kemudian ditulis?
Apa namanya? 'Injil Lisan' kah? Siapa penulisnya? Paus kah?
Jadi memang dibiarkan seperti itu, yang tertulis diberitakan secara tertulis, yang lisan disampaikan secara lisan.
Bukan itu ptanyaannya.
Smua tulisan PB itu brawal dari tradisi lisan.
Ptanyaannya,
Mngapa tradisi lisan yg skrg kita bahas ini malah tidak dtuliskan oleh penulis PB?
Misalnya ya.
Di dalam suatu kantor belum pernah ada tulisan mengenai prosedur kantor.
Pd saat itu semua prosedur dlakukan scr lisan (prosedur lisan).
Lalu si direktur itu mnyuruh para manager utk mulai mnuliskan prosedur masing-masing divisi.
Maka para manager mnuliskanlah shg jadi prosedur tertulis (supaya jadi bukti acuan tindakan).
Tentu saja tidak semua prosedur lisan akan dtuliskan.
Prosedur lisan macam apakah yg
tidak dianggap perlu utk dtuliskan?
Ktika generasi demi generasi mbaca lagi prosedur ttulis, mreka akan btanya :
Knp si kelompok A mpraktekkan prosedur yg tidak tertulis ini?
Kelompok A trus bilang :
Ngga smua prosedur tertulis krn ada yg lisan.
Kelompok B trus bilang :
Kl sampe prosedur itu tidak ttulis, itu bisa jadi krn
emang itu bukan prosedur dari sononya atau bisa jadi itu adalah
prosedur ngga esensial shg subjected to change.
Tp kmdn kelompok A bkata :
Ini prosedur penting, hanya saja ngga ditulis.
Kelompok B bkata :
Kalo penting knp ga dtulis oleh para originator?
Dan itu debatnya trus blangsung sampai generasi mdatang.
Mksdnya bgitu.