Author Topic: Batasan "menghakimi"  (Read 23062 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline Jenova

  • Administrator
  • Super Hero
  • *****
  • Posts: 1794
  • Reputation Power:
  • Joining in endless praise...
  • Denominasi: Catholic
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #30 on: December 23, 2013, 10:59:20 PM »
hehehe... buat Jeno itu sudah simple... tapi belon buat odading, karena saya masih belum dapet definisi yg dimaksud ayat dari kata "menghakimi" itu sendiri ... seperti quote Jeno dibawah ini :
 yg sempet saya tanyakan di post # 17 :).
 Secara saya baca blok Matius 7:1-5 ttg penghakiman, yang saya tangkep adalah : terjadinya event keputusan ttg perihal "salah" yang terungkapkan entah itu di benak ataupun melalui pernyataan (menyatakan fakta) atas diri orang lain yg melakukan suatu perbuatan.
 Oleh karena itu di ilustrasi ini, pada sikon Unyil melihat dgn kepala sendiri Cuplis menyuri HP ... di pov Unyil terjadi event tersirat dibenaknya bhw itu hal yg "salah" ---> disini Unyil telah menjadi "hakim". Point-1 terpenuhi, point-2 dan 3 belon terpenuhi (post #23).

Barusan saya baca lagi, baca lagi dan baca lagi blok ayat tsb (Matius 7:1-5).

Entah begimana, sekarang sepertinya saya nangkep maksud dari blok ayat tsb.
Ayat tsb (tebakan saya yah...) sedang berbicara hal "memaafkan" yg dibungkus dgn cara seperti yg disampaikan Matius 7:1-5 tsb.

Ilustrasi Unyil-Cuplis tsb jadinya spt sbb :

1. Cuplis mencuri HP = true.
2. Dibenak Unyil tercetus suatu "penghakiman" bhw perbuatan Cuplis = salah (judge = terpenuhi)
3. Unyil berbicara langsung ke Cuplis ttg perbuatan Cuplis tsb (criticize = terpenuhi)

Nah, sampai di point sini timbul "jeda" - sebelum berlanjut ke condemn.
Apabila Unyil melaporkan ke polisi - maka condemn = terpenuhi.

Namun blok ayat sepertinya sedang mencegah terjadinya condemn.
Di event "jeda", pada point-3 ungu diatas terjadi "pergumulan" apakah Unyil akan melanjutkan ke condemn (melaporkan polisi) ato kagak.

So, blok ayat tsb sepertinya sedang bermaksud menyatakan :
  • tidak ada seorangpun yg suatu saat tidak akan terluput dari kesalahan (Unyil mencuri HP = true .... small particle that is in your brother's eye = true).
  • Apabila memang bisa di consider = "small particle"
  • maafkanlah Cuplis
  • tidak perlu berlanjut sampe lapor ke polisi (condemn)

Hmm... sebentar, klo menurut bro oda, menghakimi itu boleh atau tidak boleh (dosa)?
Perikop ini tidak bermaksud mengatakan bahwa menghakimi itu berdosa lho, atau mengajarkan bahwa kita tidak boleh menghakimi..

Nah... pada bold, (imo) antara menolak dan menyalahkan itu sendiri bukankah berbeda, Jeno ?

Sesuatu (sebut saja AAA) yg ditolak, belon tentu "AAA" tsb = salah.
Apabila selama "AAA" itu sendiri belon diketahui = salah, maka sso tidak bisa menyalahkan dgn pernyataan "AAA" adalah suatu hal yg salah.. Orange disini artinya sudah bisa dikatakan nge-judge (point-1 terpenuhi : jugde).

Perdebatan yg terjadi di forum adalah terpenuhinya point-2 : criticize yang berupa usaha2 utk menunjukan/membuktikan bhw "AAA" = salah.

Dan apabila berlanjut sampai ke condemn, yakni menyatakan bhw yg salah itu mesti dilaporin polisi dan dipenjara - maka terpenuhilah makna sebenernya dari kata "judge" ---> yakni, judge-criticize-condemn

Tetapi (imo) blok ayat tsb tidak sedang bermaksud sedang menyatakan perihal "AAA" = salah yg berdasarkan kecurigaan ataupun dugaan --- melainkan sikonnya memang nyata2 "AAA" = hal yg salah. Cuplis mencuri HP = hal yg salah. There is indeed particle that is in our brother's eye ... tetapi kalo itu "small particle" maka maafkanlah, nggak usah ampe dibawa ke ati sehingga berlanjut ke kondemnisasi :D.

Dengan demikian, debat yg terjadi di forum sebenernya belumlah bisa dikatakan telah sempurna proses "judge"nya.... karena "AAA" itu sendiri belon/tidak diketahui = salah ato kagak (masih didalam rupa tuduhan/dugaan) ... dan ini tidak ada keterkaitannya dgn blok ayat Matius 7:1-5 ... karena  (imo) sikon di blok ayat tsb adalah : "AAA" memang suatu hal yg salah.

Semisal Usro menyatakan : "Immaculate Conception of Mary" = salah ---> maka di event ini Usro sedang melakukan tuduhan ... bukan sedang menghakimi :D.

Bener gak yah begitu ? :what:  :think1:  :shrug:
hehehe....   :giggle:

:)
salam.

Ya… aku paham maksud bro oda.
Kalo memang lawan diskusi berasal dari Gereja / denominasi lain, IMHO kita tidak memiliki hak / wewenang utk menegur apalagi menghakimi iman mereka.
Tapi kalo lawan diskusi itu berasal dari Gereja / denominasi yg sama seperti kita, dan kita tahu bahwa pihak yang memiliki otoritas telah mengeluarkan vonis penghakiman atas ajaran itu, maka IMHO kita berhak dan wajib mengingatkan dan meneruskan penghakiman itu kepada mereka.
Tapi IMHO, kasus seperti ini tidak relevant dengan perikop Mat 7 : 1 - 5.

Aku sependapat dengan bro siip, bahwa konteks perikop ini adalah ”mentalitas menghakimi karena merasa superior”.
Kalo diaplikasikan ke diskusi2 di forum2, IMHO, perikop ini mencerminkan diskusi di mana tidak ada ”judgement” dari pihak yg memiliki otoritas, tapi peserta diskusi memiliki mental superior dan merasa infallible, lalu meng-condem lawan diskusi sebagai salah / sesat, sementara argumennya sendiri belum tentu benar bahkan jika dilihat dari sudut pandang Gereja / denominasi orang tersebut.
IMHO, dalam diskusi sebaiknya dihindari meng-condemn lawan diskusi bahwa dia itu salah, sebaliknya kita justru seharusnya memposisikan diri bahwa kita belum tentu benar dan berdiskusi utk memahami argumen lawan diskusi, bukan utk menyalahkan argument lawan diskusi.
Love is not merely a sentiment, it is an act of will.
(Benedict XVI)

Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #31 on: December 24, 2013, 02:20:50 AM »
@Oda...

Harus dpahami bhw konteks pengucapan firman itu menyangkut perubahan dari mentalitas Taurat ke mentalitas PB.

Di dalam konteks Taurat,
Ketika sso berbuat dosa/ksalahan krn tertangkap tangan atau atas dasar kesaksian minimal 2 atau 3 orang, maka si pelaku akan dihukum sesuai hukum agama (Taurat) yg berlaku dan akan menerima sanksi sosial.
Iya siip... yang saya bold, begitulah yg saya mengertikan konteks dari Matius 7:1-5 tsb :).

Quote
Kita lihat contoh dari Tuhan Yesus.
- Ia menjadikan dirinya approachable bagi para pelacur dan pemungut cukai bahkan makan bersama-sama mreka.
- Ia menyentuh perempuan yg pendarahan (yg statusnya najis) dan orang-orang kusta.
- Ia tidak melempar batu ke PELACUR yg kedapatan berzinah
IMO, dari ketiga contoh yg siip berikan, (imo) yang ungu yg sikon-nya kayaknya sesuai dgn Matius 7:1-5 ... tetapi, saya tidak bisa menemukan bhw wanita yg akan dilemparin batu itu profesinya adalah pelacur :).

Yang saya temukan, wanita itu adalah sso yg ketangkep basah berbuat sex dgn pria lain ---> dan hal ini, dibawah old LAW adalah perbuatan yang salah.

Quote
Bagaimana dg sikap para pemuka agama pd saat itu?
- Mreka tidak mau bgaul dg pelacur apalagi pmungut cukai bahkan mencela mreka stiap ada ksempatan.
- Mreka mngucilkan pnganut kusta.
- Mreka mencela dalam hati pd pelacur yg mencuci kaki Tuhan Yesus.
- Mreka mbawa seorang pelacur wanita ketangkep basah berbuat a-susila utk dihukum mati.
----------

Jd Oda perlu mlihat konteks 'jangan menghakimi' pd perbedaan antara Taurat dan mentalitas PB.
'Menghakimi' disini lebih pd sbuah 'sikap' atau 'mentalitas' yg memberikan stigmatisasi, hukuman sosial dan diskriminasi, BUKAN HANYA sekadar menyatakan kesalahan.
Iyah... terus terang saya akui bhw saya mengertikan kata "menghakimi" di Matius 7:1-5 tsb ya dalam pengertian keseluruhan proses penghakiman... dimana mencela/mengucilkan dipengertian saya tidak= menghakimi ... pemungut cukai ataupun pelacur kan profesi ... hehehe :).

Ya... saya nangkep maksud siip... yakni : mengucilkan/mencela sso itu bisa juga dikatakan menghakimi. Dimana aplikasi ke ayatnya yg di Matius, kalo kita mengucilkan/mencela sso (menghakimi) - maka nanti kita juga akan mengalami hal serupa yakni dikucilkan/dicela orang lain (dihakimi).

Namun entahlah, kok ya saya masih tetep berpendapat bhw konteks ayat Matius 7:1-5 itu sikon-nya ttg kesalahan, ya ? :). Pengertian yg saya dapet secara ilustrasi :
Kalo saya mendapatkan Cuplis melakukan suatu kesalahan "kecil" (dimana secara general-law itu memang diakui sebuah kesalahan) - maka saya tidak boleh sertamerta "menghakimi" (ada proses condemn).

Kisah nyata :
Saya dirumah bersama teman nonton TV.
Saya cuci tangan ke kamar mandi.
Tanpa sengaja, saya melihat teman  tsb mengambil uang dari dompet saya secara diam2.
Nah, yg ayat bilang "do not judge" adalah : saya tidak perlu sampe nglaporin ke polisi agar teman saya di penjara sekalipun itu sesuai hukum pidana yakni yg mencuri mesti di adili ... tetapi, maapin aja deh dia  :giggle:

Dengan kata lain, saya dilarang ayat utk "cerewet" dikit2 tiap kali ada orang berbuat salah selalu aja maen hantem kromo - kayak saya sendiri gak pernah berbuat salah aja :D.

Quote
'Menghakimi' disini lebih pd sbuah 'sikap' atau 'mentalitas' yg memberikan stigmatisasi, hukuman sosial dan diskriminasi, BUKAN HANYA sekadar menyatakan kesalahan.
oke... oke siip, saya mengerti :).

Makasih atas masukan2nya siip.

:)
salam.


Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #32 on: December 24, 2013, 03:28:43 AM »
Hmm... sebentar, klo menurut bro oda, menghakimi itu boleh atau tidak boleh (dosa)?
IMO, menghakimi itu boleh - dan yg saya tangkep dari ayat tsb maksudnya adalah : jangan dikit2 kita maen hakim (ada proses condemn) ketika ada orang yg melakukan suatu kesalahan.

Quote
Perikop ini tidak bermaksud mengatakan bahwa menghakimi itu berdosa lho, atau mengajarkan bahwa kita tidak boleh menghakimi..
Ya... saya mengerti bhw ayat tsb ngajarin bhw kita tidak boleh menghakimi, Jeno :).

Tapi yg saya tangkep, kata "menghakimi" itu sendiri tidak sekedar menyatakan suatu hal yg salah - melainkan berlanjut ke proses condemn ...

Semisal saya sendiri tidak melihat dgn mata kepala sendiri Cuplis mencuri HP saya, lalu ketika saya mendapati HP saya hilang dan bilang ke Cuplis : "eh elu nyuri HP gue!" ---> maka event ini masih berupa tuduhan, bukan penghakiman :).

Ya... saya sadar dan mengerti bhw Cuplis bisa saja nge-respond "enak aja luh menghakimi gue sesuka elu" ... tidak jadi masalah apabila Cuplis menggunakan kata "menghakimi", saya juga nangkep/mengerti maksud kalimat Cuplis tsb.... Namun menurut benak saya, kata yg sesuai digunakan adalah "menuduh" :).

Terlepas apakah bener Cuplis yg nyuri ato kagak, diketika saya ngasih bogem mentah atopun nglapor polisi (condemn) - di event inilah saya sudah menghakimi - karena dgn adanya pernyataan aksi "condemn" tsb, berarti saya sudah memutuskan bhw Cuplis itu = salah (proses penghakimannya komplit).

Quote
Aku sependapat dengan bro siip, bahwa konteks perikop ini adalah ”mentalitas menghakimi karena merasa superior”.
Ya... saya sependapat. Jeno menggunakan kata "superior", odading menggunakan kata "bener" :D. Nglapor polisi / bogem mentah yg saya lakukan, itu dikarenakan saya merasa telah bener dlm memutuskan Cuplis = salah.


Quote
Kalo diaplikasikan ke diskusi2 di forum2, IMHO, perikop ini mencerminkan diskusi di mana tidak ada ”judgement” dari pihak yg memiliki otoritas, tapi peserta diskusi memiliki mental superior dan merasa infallible
Kalimat Jeno yg bold, kalimat odading : "merasa bener" dalam memutuskan bhw lawan diskusinya = salah :D.

Quote
lalu meng-condemn lawan diskusi sebagai salah / sesat
Kalimat Jeno yg bold, kalimat odading : Lalu meng-"condemn" lawan diskusi dengan pencetusan kata2 misal : bodoh, gak pake otak, dlsb :D.

Jadi disini terus terang saya memang mengertikannya secara "terpisah" :
1. Unyil menyatakan Cuplis salah = "menghakimi" (dgn tanda petik) karena masih part dari penghakiman.
2. terjadinya event lanjutan berdasarkan point-1 yang berupa condemn
3. proses penghakiman (tanpa tanda petik) komplit dilakukan oleh Unyil.

Sekarang saya berobah lagi (hehehe... :D) ---> Do not judge,
kata "judge" diayat tsb luas pengertiannya :
A. Point-1 diatas yg tidak didasari kenyataan (masih berupa tuduhan)
B. Apabila point-1 sudah didasari kenyataan (jelas2 Cuplis = salah, ketangkep basah nyuri HP) maka kata "judge" itu bergeser ke point-2 (condemn).
C. Dilakukan si pelaku secara "tuman" ---> hobby-nya dikit2 nge-judge (baik yg berupa point-A maupun B).

Cuma kok kenapa saya masih merasa dibalik semua itu, intinya adalah memaafkan ya ?  :what:  :shrug:

Makasih atas masukan2 jeno.

:)
salam.
« Last Edit: December 24, 2013, 03:31:09 AM by odading »

Offline siip

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 1721
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Karismatik
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #33 on: December 24, 2013, 10:14:10 AM »
Nah Oda,
Mari kita lanjutkan ya...

Sebelumnya saya menulis tentang:

Quote
Harus dpahami bhw konteks pengucapan firman itu menyangkut perubahan dari mentalitas Taurat ke mentalitas PB.

Coba kita gali apa itu mentalitas Taurat.

1. Taurat itu berisi ukuran yg diberlakukan massal.
Perintah Taurat itu berlaku massal tanpa memandang latar-belakang, kondisi atau situasi kecuali jika disebutkan pengecualiannya.

2. Perintah Taurat umumnya diikuti dengan sanksi.
Taurat itu penuh dg judgment. Lakukan ini jadi najis, lakukan itu jadi cemar. Kondisi 'najis' dan 'cemar' akan diikuti oleh sanksi, baik sosial maupun hukuman fisik.

3. Taurat adalah tulisan shg tinggal dijalankan saja.
Krn hukum Taurat sudah spesifik, maka para hakim (biasanya tua-tua) tinggal baca saja apa pelanggarannya, apa sanksinya dan apa hukumannya, lalu lakukan. Taurat tidak kenal 'hukuman maksimal atau minimal'.
Misalnya, kl tilang itu maksimal 250rb, tp hakim dapat menimbang alasan pelaku shg mbrikan hukuman tidak sampai angka maksimal. Nah, kondisi tsb tidak berlaku di Taurat.

Ketika Tuhan Yesus berkata: Jangan menghakimi supaya kamu tidak dihakimi,
Maka konteksnya adalah model Taurat.

Mengapa?
Krn disitu Ia berbicara kpd para pemegang dan pelaksana Taurat.

Injil harus dijalankan lepas dari model penghakiman Taurat.

Jika sso ingin hidup dalam Injil Kasih Karunia (Hukum Kristus) maka dia harus melepaskan diri dari gaya-gaya Taurat.
Itulah anggur baru dalam kantong kulit baru.

----------

Sampai disini saya sudah sukar menjelaskannya...krn sangat aplikatif.

Hukum Kristus itu sangat personal, tidak massal spt Taurat.

Maka saya pakai contoh saja:

Jika si A bisa baca Alkitab 5 pasal sehari, sdgkn si B hanya 1 pasal, maka mentalitas Taurat akan mhakimi B sbg 'kurang rohani'.
Dan ini salah.
Krn nanti Tuhan juga akan mhakimi kerohanian si A menurut ukuran baca Alkitab dan jika ada si C yg bisa baca 10 pasal sehari, maka A akan dihakimi Tuhan sbg 'tidak rohani'.
Padahal Hukum Kristus tidak mengukur kerohanian seseorang bdsk kemampuan baca Alkitab!

Jika si A melihat si B keluar dari tempat clubbing, maka mentalitas Taurat akan mengarahkan si A utk mhakimi si B sbg orang kurang rohani.
Dan belum tentu sbetulnya kerohanian B lebih rendah dari A hanya bdsk 1 kali pristiwa clubbing.
Bisa saja si B sedang khilaf utk sekali itu saja, tetapi krn si A kadung judgmental, maka dijauhilah/didiskreditkanlah si B.
Nantinya si A akan dihakimi menurut kemampuannya menjauhkan diri dari tempat-tempat yg dianggapnya 'kurang kudus'.
Ketika A suatu saat terpeleset kesana, maka A akan dihantui rasa bersalah yang besar.

Dll contohnya Bro.

Saya susah jelaskannya krn berlakunya personal.

Saya mngartikan 'jangan menghakimi supaya tidak dihakimi' sbg:
'Hindari menetapkan suatu standar/ukuran yg kita buat sendiri utk diukurkan kepada orang lain, padahal Tuhan tidak mengukurkan bagi orang tersebut'.

Di jaman PB ini, sebelum seseorang menghakimi (krn orang Kristen itu memang harusnya adil dan mampu mhakimi dg adil), sso harus tau dahulu ukuran Tuhan bagi orang yg dihakimi itu, kmudian mngetahui apa yg Tuhan mau perbuat thd orang itu, barulah mnyampaikannya.

Yoh 7:24
Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.


Tuhan Yesus mngajar kita mengenai 'menghakimi' dg mbrikan contoh.

Yoh 5:30
Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.

Yoh 8:16
dan jikalau Aku menghakimi, maka penghakiman-Ku itu benar, sebab Aku tidak seorang diri, tetapi Aku bersama dengan Dia yang mengutus Aku.


Nah, sbelum sso tau ukuran-ukuran Tuhan utk orang lain, sebelum sso tau apa rencana dan maksud Tuhan bagi orang lain, mendingan 'jangan menghakimi' daripada nanti kita sendiri dihakimi dg ukuran yg sbetulnya kita buat sendiri.
Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati (Pkh 9:4)

Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #34 on: December 24, 2013, 01:01:10 PM »
Nah Oda,
Mari kita lanjutkan ya...

Sebelumnya saya menulis tentang:

Coba kita gali apa itu mentalitas Taurat.

1. Taurat itu berisi ukuran yg diberlakukan massal.
Perintah Taurat itu berlaku massal tanpa memandang latar-belakang, kondisi atau situasi kecuali jika disebutkan pengecualiannya.

2. Perintah Taurat umumnya diikuti dengan sanksi.
Taurat itu penuh dg judgment. Lakukan ini jadi najis, lakukan itu jadi cemar. Kondisi 'najis' dan 'cemar' akan diikuti oleh sanksi, baik sosial maupun hukuman fisik.

3. Taurat adalah tulisan shg tinggal dijalankan saja.
Krn hukum Taurat sudah spesifik, maka para hakim (biasanya tua-tua) tinggal baca saja apa pelanggarannya, apa sanksinya dan apa hukumannya, lalu lakukan. Taurat tidak kenal 'hukuman maksimal atau minimal'.
Wow... penjelasan siip ketangkep saya sekarang :).

Benak saya bertanya tanya... apakah ucapan Yesus itu berlaku hanya untuk dijaman tsb yg dimana saat itu hukum yg berlaku adalah hukum lama (sekarang hukum yg baru) ?

ataukah :
hukum lama tsb diaplikasikan oleh orang2nya secara "salah" dimana kemudian Yesus menjabarkan maksud dari hukum lama ? Sehingga penjabaran Yesus tsb disebut hukum baru ?

Quote
Ketika Tuhan Yesus berkata: Jangan menghakimi supaya kamu tidak dihakimi,
Maka konteksnya adalah model Taurat.

Mengapa?
Krn disitu Ia berbicara kpd para pemegang dan pelaksana Taurat.
atau jangan2... tanpa disadari, sampe sekarangpun sekalipun bukan orang Yahudi - memang ada manusia yg masih menerapkan hukum penghakiman yg model lama (Taurat) ?

Quote
Injil harus dijalankan lepas dari model penghakiman Taurat.
Aku disini rada bingung, ini maksudnya hukum lama tsb memang begitulah aplikasi yg Allah yg inginkan ? ataukah orang2 pelaksana hukum lama tsb menjalankan aplikasinya tidak sesuai yg dimaksudkan Allah ?

LAW : wanita ketangkep basah berbuat asusila hukumnya dilempari batu.
A. Dari pov Allah maksudnya adalah jangan secara serampangan langsung dilempari batu, kalo memang itu kesalahan "kecil" yg mungkin karena wanita tsb alpa, maafkanlah.
B. Dari pov orang2 jaman tsb di aplikasikan : masa bodohlah, pokok jelas ketangkep basah ya mesti dilemparin batu ---> mereka kayak robot ... lampu merah brenti, lampu ijo jalan... pokok patuh, tanpa menimbang konsiderasi nurani di hati ataupun pertimbangan lebih jauh.
C. Model penghakiman hukum lama spt di point-B memang itulah yang Allah kehendaki.
D. Dengan demikian kepatuhan para pelaksana-nya bukan kayak robot, melainkan ya bener2 patuh.
E. Yesus mengganti model penghakiman hukum lama di point-C ?
F. ataukah Yesus menjelaskan bhw aplikasi point-B itu salah dan bukanlah yg kehendak Allah (dimaksudkan Allah), karena yg Allah maksudkan adalah point-A ?

Quote
Misalnya, kl tilang itu maksimal 250rb, tp hakim dapat menimbang alasan pelaku shg mbrikan hukuman tidak sampai angka maksimal. Nah, kondisi tsb tidak berlaku di Taurat.
Nah... berdasarkan quote siip diatas, jadi artinya ya bukan kesalahan si pelaku hukum... karena memang begitulah kehendak si pembuat hukum yakni spt point-B ... tidak dikehendaki terlibatnya suatu pertimbangan / nurani/logika olehNYA.

Quote
Maka saya pakai contoh saja:

Jika si A bisa baca Alkitab 5 pasal sehari, sdgkn si B hanya 1 pasal, maka mentalitas Taurat akan mhakimi B sbg 'kurang rohani'.
Dan ini salah.
Krn nanti Tuhan juga akan mhakimi kerohanian si A menurut ukuran baca Alkitab dan jika ada si C yg bisa baca 10 pasal sehari, maka A akan dihakimi Tuhan sbg 'tidak rohani'.
Padahal Hukum Kristus tidak mengukur kerohanian seseorang bdsk kemampuan baca Alkitab!

Jika si A melihat si B keluar dari tempat clubbing, maka mentalitas Taurat akan mengarahkan si A utk mhakimi si B sbg orang kurang rohani.
Dan belum tentu sbetulnya kerohanian B lebih rendah dari A hanya bdsk 1 kali pristiwa clubbing.
Bisa saja si B sedang khilaf utk sekali itu saja, tetapi krn si A kadung judgmental, maka dijauhilah/didiskreditkanlah si B.
Nantinya si A akan dihakimi menurut kemampuannya menjauhkan diri dari tempat-tempat yg dianggapnya 'kurang kudus'.
Ketika A suatu saat terpeleset kesana, maka A akan dihantui rasa bersalah yang besar.

Dll contohnya Bro.
Saya ngerti dan nangkep penjelasan siip diatas... dan ya... memang begitulah kira2 saya mengertikannya.

Membaca hanya 1 pasal dinilai hal yang salah oleh si A, krn si A membuat patokan "hukum" dirsen-nya, yakni dia membaca 5 pasal sehari .. si A meng-condemn : "si B tidak rohani".

Sama sekali tidak melakukan clubbing adalah patokan "hukum" dirsen si A, sehingga ketika dia melihat si B clubbing maka di pov si A, perbuatan clubbingnya si B = salah, lalu dia condemn : "si B kurang rohani".

Quote
Saya mngartikan 'jangan menghakimi supaya tidak dihakimi' sbg:
'Hindari menetapkan suatu standar/ukuran yg kita buat sendiri utk diukurkan kepada orang lain.
Ya... begitulah kalimat coklat yg saya maksudkan idem ama yg di bold oleh siip pada quote atas :).

Quote
Nah, sbelum sso tau ukuran-ukuran Tuhan utk orang lain, sebelum sso tau apa rencana dan maksud Tuhan bagi orang lain, mendingan 'jangan menghakimi' daripada nanti kita sendiri dihakimi dg ukuran yg sbetulnya kita buat sendiri.
Cuma ya itu dah ... seperti yg saya post buat Jenova, kenapa kok dibalik kata "jangan menghakimi" disitu saya menangkep sepertinya inti-nya adalah "maafkanlah", ya Siip ? :D. ("maafkanlah" = ya sudahlah... pertimbangan... konsiderasi... libatkan nurani dan logika, toleransi)

Selama patokan "hukum" dirsen sso itu bukan suatu hal yg buruk ... patokan si A membaca 5 pasal dan tidak melakukan clubbing sama sekali kan bukanlah hal yang buruk kan Siip ? maka diketika dia mengetahui si B berbuat yg tidak sesuai patokannya : ya sudahlaaahh...  :giggle:

Demikian pula patokan "hukum" dirsen Unyil bhw Cuplis mencuri HP-nya = salah, libatkan nurani dan logika - kalo memang bisa dimaafkan, maafkanlah ... gak perlu sampe ngatain "pencuri luh!" ataupun menyeret Cuplis ke pengadilan ataupun ngasih bogem mentah :D.

Entahlah, ini mungkin cara pandang saya aja yg berbeda kali yah ... hehehe :D.
Makasih atas masukan2 dan penjelasan2 Siip.

:)
salam.
« Last Edit: December 24, 2013, 01:09:26 PM by odading »

Offline siip

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 1721
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Karismatik
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #35 on: December 24, 2013, 02:20:14 PM »
atau jangan2... tanpa disadari, sampe sekarangpun sekalipun bukan orang Yahudi - memang ada manusia yg masih menerapkan hukum penghakiman yg model lama (Taurat) ?

Mentalitas menghakimi versi Taurat itu masih berlaku dimana-mana, bro.

Misalnya,
Ada agama ttentu yg mlarang pengucapan selamat hari raya pd pnganut agama lain.
Pdhl kl kita coba telaah, adakah Tuhan menilai krohanian sso bdsk ucapan selamat hari raya bagi agama lain?

Quote
Cuma ya itu dah ... seperti yg saya post buat Jenova, kenapa kok dibalik kata "jangan menghakimi" disitu saya menangkep sepertinya inti-nya adalah "maafkanlah", ya Siip ? :D. ("maafkanlah" = ya sudahlah... pertimbangan... konsiderasi... libatkan nurani dan logika, toleransi)

Demikian pula patokan "hukum" dirsen Unyil bhw Cuplis mencuri HP-nya = salah, libatkan nurani dan logika - kalo memang bisa dimaafkan, maafkanlah ... gak perlu sampe ngatain "pencuri luh!" ataupun menyeret Cuplis ke pengadilan ataupun ngasih bogem mentah :D.

Kl ini beda bro.
Kita punya hukum legal normatif.

Pelaku kejahatan harus diadili sesuai norma hukum utk mbri si pelaku itu suatu efek jera dan lebih lagi ditujukan utk mbrikan suatu peringatan bagi calon pelanggar hukum lainnya.

Tp sbg sso yg tidak lagi mmiliki mentalitas Taurat, maka kita memaafkan dan mbantu mreka utk pemulihannya (sambil dia menjalani ganjaran dari kesalahannya scr hukum normatif).

Disitulah beda mentalitasnya Bro.

Salah adalah salah. Hukum harus dilaksanakan. Tetapi kita ikut memaafkan dan mendukung dalam pemulihannya.

Quote
Aku disini rada bingung, ini maksudnya hukum lama tsb memang begitulah aplikasi yg Allah yg inginkan ? ataukah orang2 pelaksana hukum lama tsb menjalankan aplikasinya tidak sesuai yg dimaksudkan Allah ?

LAW : wanita ketangkep basah berbuat asusila hukumnya dilempari batu.
A. Dari pov Allah maksudnya adalah jangan secara serampangan langsung dilempari batu, kalo memang itu kesalahan "kecil" yg mungkin karena wanita tsb alpa, maafkanlah.
B. Dari pov orang2 jaman tsb di aplikasikan : masa bodohlah, pokok jelas ketangkep basah ya mesti dilemparin batu ---> mereka kayak robot ... lampu merah brenti, lampu ijo jalan... pokok patuh, tanpa menimbang konsiderasi nurani di hati ataupun pertimbangan lebih jauh.
C. Model penghakiman hukum lama spt di point-B memang itulah yang Allah kehendaki.
D. Dengan demikian kepatuhan para pelaksana-nya bukan kayak robot, melainkan ya bener2 patuh.
E. Yesus mengganti model penghakiman hukum lama di point-C ?
F. ataukah Yesus menjelaskan bhw aplikasi point-B itu salah dan bukanlah yg kehendak Allah (dimaksudkan Allah), karena yg Allah maksudkan adalah point-A ?
 Nah... berdasarkan quote siip diatas, jadi artinya ya bukan kesalahan si pelaku hukum... karena memang begitulah kehendak si pembuat hukum yakni spt point-B ... tidak dikehendaki terlibatnya suatu pertimbangan / nurani/logika olehNYA.

Kl mnrt saya, terjadi penyimpangan dalam mentalitas sso saat melakukan Hukum Taurat.

Memang betul bhw kesalahan itu harus mendapat ganjaran krn Tuhan itu adil.
Tetapi mreka yg memegang Taurat telah melangkah ekstrim menjadi sosok-sosok yg judgmental, yg meninggikan diri bdsk ukuran lahiriah dan cenderung mencari-cari kesalahan.

Taurat tidak ngajari orang utk jadi judgmental atau sombong dg ukuran lahiriah atau mencari-cari kesalahan.

Taurat harusnya dilakukan dg KASIH.

Sama spt sso punya anak.
Kl anaknya bbuat pelanggaran ya dihukum.
Tp kan si bapak ngga sharusnya mcari-cari ksalahan, selalu curiga, selalu nyalahin anak dan mrasa lebih benar dari anaknya donk.

Kisahnya spt saat Tuhan Yesus mnyembuhkan orang pd hari Sabat.
Itu para orang ber-agama malah mencari-cari kesalahan Tuhan Yesus dg menunggu-nunggu siapa tau Tuhan Yesus mnyembuhkan orang pd hari Sabat.
Jd sikap dan mentalitas orang thd Taurat itu sudah terlalu ekstrim, bahkan jauh berlebihan ketimbang sikapnya Tuhan sendiri.
Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati (Pkh 9:4)

Offline budi

  • FIK - Senior
  • ****
  • Posts: 488
  • Reputation Power:
  • Denominasi: kristen
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #36 on: December 25, 2013, 04:27:44 AM »
Setelah mengikuti thread ini sejauh ini, saya jadi mikir: "Apakah sesulit ini menjalankan perintah Tuhan "jangan menghakimi"? Apakah benar kita tidak mengerti arti "menghakimi" tanpa harus merumuskannya ala hukum positif (legalistik)? Hasrat apa sih yg sedang kita penuhi ketika kita mencari-cari batasan ini ?"

Saya jadi teringat kata pepatah "orang pandai akan jatuh oleh kepandaiannya, dan orang bodoh jatuh oleh kebodohannya"

Saya rasa kita semua telah menghakimi sesama kita. Perintah tsb pada akhirnya hanya menunjukan bahwa kita telah berada dalam kondisi bersalah karena kita tidak bisa hidup tanpa menghakimi. Menurut saya, ya sudahlah kita terima dan akui saja kondisi itu, dan kita memohon ampun pada Tuhan.

Menurut saya, kita nggak bisa nggak menghakimi orang. It is in our "nature". Kita hidup dalam hasrat primordial untuk memisahkan "aku/kami" dan "kamu/kalian" di mana "aku/kami" adalah yg benar atau yg menguasai kebenaran dan "kamu/kaian" adalah yg salah (prinsip oposisi biner). Ini adalah sistem yg sudah terlanjur bergulir dan mengkultur dalam kehiduan umat manusia. Ini sudah menjadi semacam sistem pertahanan hidup yg primordial.

Manusia bukan penguasa kebenaran. Naturally, manusia tidak bisa jadi hakim. Tapi, di sisi lain, manusia sudah keburu jadi mahluk yg menghakimi dan bahkan perlu menghakimi supaya bisa survive (apapun artinya itu). Kalau sudah begini, apa lagi yg lebih pentng selain dari pengampunan Tuhan yg tanpa syarat?

Jadi, kita akan terus menghakimi. Dan bila hendak menghakimi, mari kita bercermin dulu pada perintah Tuhan itu, memohon ampun, dan melakukan penghakiman dengan hati-hati sekali. Jangan sampai salah, jangan sampai menyakiti, jangan sampai memancing dosa. Utamakan Tuhan, sangkal diri, pikul "salib".


Cheers 

Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #37 on: December 26, 2013, 02:29:33 AM »
Tp sbg sso yg tidak lagi mmiliki mentalitas Taurat, maka kita memaafkan dan mbantu mreka utk pemulihannya

Disitulah beda mentalitasnya Bro.
Jujur saya masih gak nangkep, siip.

A. Siip bilang "jangan menghakimi" adl utk orang yg bermentalitas Taurat.
B. Dari quote siip di atas, kesimpulan lain yang saya tangkep adalah : "maafkanlah" bagi sso yg ungu.

Dan saya nggak/belon bisa menembukan perbedaannya antara A dan B, siip :).
Karena kalopun dibolak balik ya pengertiannya sama :
A. bagi yg bermentalitas Taurat : maafkanlah
B. bagi ungu : jangan menghakimi

Quote
Tetapi mreka yg memegang Taurat telah melangkah ekstrim menjadi sosok-sosok yg judgmental, yg meninggikan diri bdsk ukuran lahiriah dan cenderung mencari-cari kesalahan.
Kok kalo menurut saya, baik yg memegang Taurat, maupun yg tidak lagi memegang Taurat itu ... ya tetep aja ada sosok sosok yg judgmental ya siip ? (terlepas apakah ybs memegang Taurat ataupun tidak lagi memegang Taurat) :).

Quote
Taurat tidak ngajari orang utk jadi judgmental atau sombong dg ukuran lahiriah atau mencari-cari kesalahan.
Taurat harusnya dilakukan dg KASIH.
Apakah disini, pada kata "Taurat", maksudnya siip adalah Hukum Allah (baik yg lama maupun yang baru) = ijo ? Saya sependapat. Please CMIIW.

btw, saya memilih mengambil pengertian kalimat "jangan menghakimi" itu = "maafkanlah" - soalnya saya ngliat model ajaran Yesus itu cenderung "nyuruh" drpd "ngelarang" - sementara dilain sisi, yg dilarang itu Dia nyatakan dalam bentuk statement, misal "tetapi Aku berkata : ...".

Makasih atas masukan2 siip.

:)
salam.

Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #38 on: December 26, 2013, 03:26:30 AM »
Setelah mengikuti thread ini sejauh ini, saya jadi mikir: "Apakah sesulit ini menjalankan perintah Tuhan "jangan menghakimi"?
Buat budi, Jeno dan temen2 Kristen yg lain tentulah sudah tidak sulit, namun tidak demikian buat odading, bud :D.

Quote
Apakah benar kita tidak mengerti arti "menghakimi" tanpa harus merumuskannya ala hukum positif (legalistik)?
Secara general, tentu kita tau dan mengerti arti kata "menghakimi" ---> yang bukan hakim, ya janganlah menghakimi ... hehehe :D.

Quote
Hasrat apa sih yg sedang kita penuhi ketika kita mencari-cari batasan ini ?
Tidak ada hasrat apa apa sih... apalagi ada hasrat jahat ... :D. Saya cuma mencari kenapa bisa ada perbedaan, setelah saya berulang2 baca itu ayat - kok kesimpulan saya jadinya "maafkanlah" ...  :what:

Quote
Menurut saya, kita nggak bisa nggak menghakimi orang.
Betul. Tapi maksud saya adalah apakah kalimat "jangan menghakimi" itu ttg perbuatan audible/visible ? ataukah didalam hati ?

Karena kalo yg didalam hati itu, akan sangat sulit utk di"rem" (imo) bud...
sedangkan kalo yg perbuatan audible/visible masih bisa di "rem" :).

Pada ilustrasi saya Cuplis ketauan Unyil lagi nyuri HP, diketika hati Unyil menyatakan bhw perbuatan Cuplis = salah - maka itu kan bukankah artinya Unyil sudah menghakimi didalam hati ?

Dilain sisi, saya ambil contoh lain yg berdasarkan diskusi saya ama Jenova yaa... :

A. Kalo semisal "orang luar" menyatakan (baik audible ataupun visible/tulisan) : Immaculate Conception of Mary = salah ---> nah.... di event ini yg saya mau tau, "orang luar" ini emang bisa dikatakan menghakimi atau kagak ?

B. Kalo semisal "orang dalam" menyatakan (baik audible ataupun visible/tulisan) : Immaculate Conception of Mary = salah ---> nah.... di event ini yg saya mau tau, "orang dalam" ini emang bisa dikatakan menghakimi atau kagak ?

C. Point-A namun didalam hati - tidak dia nyatakan ---> "orang luar" ini emang bisa dikatakan menghakimi atau kagak ?

D. Point-B namun didalam hati - tidak dia nyatakan ---> "orang dalam" ini emang bisa dikatakan menghakimi atau kagak ?

Saya gak bisa ngejawab pertanyaan2 benak saya sendiri itu, makanya saya cenderung berpendapat dibalik kalimat "jangan menghakimi" itu - maknanya lebih ke : "maafkanlah / sudahlah... nau-in, dll", libatkan kata hati nurani dan logik  :).

Dimana (imo) dgn dasar ijo tsb, maka kalimat "jangan menghakimi" kan otomatis gak bisa berlaku ke orang yg berdasarkan ijo - orang yg bersikap spt ijo ya gak mungkin akan melakukan "penghakiman"  :D. (tentu ini dalam sikon : profesi ybs ini bukan sebagai hakim yg sedang menangani kasus pengadilan loh ya... ).

Kalo menurut budi gimana ?

:)
salam.

Offline siip

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 1721
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Karismatik
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #39 on: December 27, 2013, 10:02:22 AM »
A. Siip bilang "jangan menghakimi" adl utk orang yg bermentalitas Taurat.
B. Dari quote siip di atas, kesimpulan lain yang saya tangkep adalah : "maafkanlah" bagi sso yg ungu.

Dan saya nggak/belon bisa menembukan perbedaannya antara A dan B, siip :).
Karena kalopun dibolak balik ya pengertiannya sama :
A. bagi yg bermentalitas Taurat : maafkanlah
B. bagi ungu : jangan menghakimi

Tolong pahami ini dulu ya Oda:
Alkitab tidak mngatakan bhw orang Kristen sama skali tidak boleh menghakimi.
Alkitab tidak mngatakan bhw menghakimi itu dosa.

Phatikan pkataan Paulus di 1 Kor 6:1-11

Orang Kristen itu mengetahui kebenaran dan mengenal Dia yang benar, karena itu yg paling tepat utk mhakimi itu harusnya ya orang Kristen.

Namun bgitu,
Jika sso masih bermental Taurat,
Masih belum dapat bersikap adil (bicara fakta dan kesaksian tanpa memihak),
Masih belum mengenal Dia utk mengenal jalan-jalanNya,
Maka jangan menghakimi.

Lalu, ketika sso sudah:
Lepas dari mentalitas Taurat,
Cukup dapat bersikap adil,
Cukup mengenal Dia dan jalan-jalanNya
Maka ketika menghakimi, orang ini akan menghakimi dg gaya dan tujuan memulihkan.

Oda bingung gimana melaksanakannya?
Ini memang sukar Oda. Saya juga ngga bgitu paham.

--------

Sama spt ketika Tuhan Yesus mnerima Zakheus (yg manjat pohon utk mlihat Kristus).

Dg mnyambut dan makan bsama-sama Zakheus, maka Zakheus justru dg rela hati mnyerahkan sbagian hartanya utk orang miskin dan mngembalikan kerugian yg pernah ia sebabkan.

Luk 19:8
Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat."


Org Farisi dg mentalitas Taurat akan mhakimi Zakheus sbg orang berdosa, ia dikucilkan dan dihina para pemuka agama.
Hasilnya, Zakheus memang dikucilkan dan mgkn saja mrasa malu, tp ya sbatas itu saja.

Di sisi lain,
Tuhan Yesus mnerima Zakheus.
Hasilnya, stengah harta ia serahkan, ia berhenti memeras dan mngembalikan krugian 4 kali lipat.

Itulah bedanya MENGHAKIMI ala Taurat vs Injil.

Contoh lain adl Paulus.

Phatikan gaya Paulus:

1 Kor 5:5
orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.


Phatikan bhw penghakiman Paulus itu 2 sisi mata pedang,
Sisi yg satu penghukuman, sisi yg lain penyelamatan.

Paulus punya wewenang mjatuhkan sanksi dan phakiman, tetapi Paulus punya motivasi utk mnyelamatkan yg menjadi dasar utama dari phakimannya.
Skalipun mhakimi dan mhukum, Paulus bukan mlakukan dg kekejaman tetapi dg belas kasihan utk mnyelamatkan.

Kl sso hanya punya mentalitas Taurat, itu terlalu berat di sisi penghukuman.

Ini sukar dipahami apalagi dlaksanakan.

Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati (Pkh 9:4)

Offline Shakespeare

  • Global Moderator
  • Super Hero
  • *****
  • Posts: 1868
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Injili
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #40 on: December 27, 2013, 11:29:28 AM »
Mungkin yang dimaksud Alkitab dengan "janganlah menghakimi" yaitu janganlah "menghakimi secara tidak benar, tidak adil, apalagi secara tidak berdasar"?

Karena manusia pada dasarnya terlahir dengan sikap menghakimi (menilai), entah terucap ataupun sekedar dalam pikiran.  :shrug: Kalau manusia tidak pernah dihakimi sesamanya bagaimana manusia bisa berubah menjadi lebih baik?

Contoh 1: saya melihat seseorang membuang sampah sembarangan, lalu saya menilai (menghakimi) orang tersebut sebagai orang yang tidak disiplin (penghakiman pertama - di dalam hati), lalu saya menegur dia "saya melihat kamu membuang sampah sembarangan. Mengapa kamu tidak membuang sampah pada tempatnya. Kamu sudah melanggar aturan tentang larangan membuang sampah di tempat umum..." (penghakiman kedua, namun benar dan berdasar).

Contoh 2: saya langsung menegur orang itu "ternyata kamu itu orang yang jorok ya? Pasti kamu tidak pernah diajari kebersihan. Mungkin kamu juga jarang mandi" (ini penghakiman yang tanpa dasar sebagian besar hanya berdasar asumsi, berlebihan dan belum tentu benar atau adil). Saya pikir model penghakiman yang seperti ini yang dilarang oleh Alkitab. Sedangkan model yang pertama adalah sifat natural manusia.
πᾶσα γραφὴ θεόπνευστος καὶ ὠφέλιμος πρὸς διδασκαλίαν, πρὸς ἐλεγμόν, πρὸς ἐπανόρθωσιν, πρὸς παιδείαν τὴν ἐν δικαιοσύνῃ

Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #41 on: December 27, 2013, 04:18:20 PM »
Tolong pahami ini dulu ya Oda:
Alkitab tidak mngatakan bhw orang Kristen sama skali tidak boleh menghakimi.
Alkitab tidak mngatakan bhw menghakimi itu dosa.
Makanya saya pingin "menyempitkan" pengertian dari arti kata "menghakimi" itu sendiri, siip :).

Alkitab memang tidak mengatakan bhw menghakimi itu = dosa.
Namun tidak bisa dipungkiri, perbuatan menghakimi itu sendiri ada yg berdasarkan accusation ataupun bahkan mungkin berupa false accusation.

Dengan begitu, kalimat "jangan menghakimi" (imo) pengrenderan-nya pada kata "menghakimi" disitu adalah in a negative sense. Ayat bisa juga bermaksud menyatakan : kalo kamu bukan hakim, janganlah menghakimi ---ataupun--- kalo kamu hakim, menghakimilah dgn benar :).

Diketika seorang hakim menghakimi berdasarkan false accusation - dan keputusan si hakim tsb adalah si tertuduh/terdakwa = FALSE padahal si hakim itu tau bhw terdakwa itu tidakFALSE, maka si hakim sudah masuk ke kategori "mengucapkan saksi dusta" ---> dan ini adalah dosa ---> dan kalimat "jangan menghakimi" ngerujuk ke dosa, apabila model penghakimannya seperti ungu. Bukankah begitu, siip ? :).

Quote
Phatikan pkataan Paulus di 1 Kor 6:1-11
Barusan tak baca ayat2nya, sulit banget :D.
Berkali kali saya mesti ulang bacanya.... dan kesimpulan saya (entah bener ato kagak) blok ayat tsb sedang menyatakan :
A. Kalo ada perselisihan antar orang dalem, selesaikanlah dgn orang dalem.
B. Terjadinya perselisihan itu sendiri = kekalahan bagi masing2 yang berselisih.
C. Paulus bilang : (8) Tetapi kamu sendiri melakukan ketidakadilan dan kamu sendiri mendatangkan kerugian, dan hal itu kamu buat terhadap saudara-saudaramu.

Dari situ pengertian saya menuntun ke :
perselisihan, tuduh-menuduh ataupun salah satu menuduh = melakukan ketidakadilan.

Dengan demikian, bukankah kalimat "jangan menghakimi" (menghakimi in negative sense) itu masuk aplikasinya, siip ? Terlepas apakah itu dosa/tidak dosa, Paulus bilang : orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?

Quote
Orang Kristen itu mengetahui kebenaran dan mengenal Dia yang benar, karena itu yg paling tepat utk mhakimi itu harusnya ya orang Kristen.
Nah ini... yang saya gak ngerti itu, si Paulus itu fokusnya lagi "ngomel2" karena kedua pihak yg berselisih itu membawa perkaranya ke orang luar ? ataukah Paulus lagi "ngomel2" karena orang2 Kristen yg berselisih ? :D

Quote
Lalu, ketika sso sudah:
Lepas dari mentalitas Taurat,
Cukup dapat bersikap adil,
Cukup mengenal Dia dan jalan-jalanNya
Maka ketika menghakimi, orang ini akan menghakimi dg gaya dan tujuan memulihkan.
Konteks ayat yg siip ajukan, sikonnya masih gak jelas buat saya siip.

Itu ayat sikonnya begimana ?
Unyil menyatakan Cuplis berbuat suatu hal yg salah - Cuplis tidak terima sehingga timbul perselisihan ?
Dari sini sikonnya kan bisa :
A. Pernyataan Unyil = TRUE, karena jelas2 Cuplis memang berbuat suatu hal yg salah --- tapi Cuplis tidak terima
B. Pernyataan Unyil = FALSE (accusation) --- yang tentu saja Cuplis tidak terima.

Nah dari sikon tsb, kalo dilibatkan ke kata "menghakimi" :
1. maka di point-A, "penghakiman" Unyil itu = TRUE ---> Unyil BOLEH menyatakan Cuplis berbuat suatu hal yg salah.
2. di point-B, "penghakiman" Unyil itu = FALSE ---> Unyil terkena aplikasi ayat "jangan menghakimi" yg spt demikian.

Quote
Oda bingung gimana melaksanakannya?
Ini memang sukar Oda. Saya juga ngga bgitu paham.
Oleh karena itulah siip, saya cenderung mengertikan bhw dibalik kalimat "jangan menghakimi" disitu maknanya ke "maafkanlah, sudahlah, beresin dgn baik, dll" ---> DAN ini aplikasinya terkena bagi kedua belah pihak (Unyil dan Cuplis).

Apabila sikon-nya spt point-A, Unyil gak perlu ampe bawa2 ke pengadilan - gak perlu nurutin egonya, melainkan mencoba menyelesaikan dgn kekeluargaan, entah dgn mengalah - entah pula berkonsultasi dgn "tetua". Dilain sisi, bagi Cuplis yg tidak menerima pernyataan Unyil tsb .. tanpa nyadar, Cuplis telah "menghakimi" Unyil - karena Cuplis menyatakan bhw pernyataan Unyil ke dirinya tsb = SALAH (padahal bener). Dari sini keliatan kalimat "jangan menghakimi" itu berlaku bagi kedua belah pihak.

Apbila sikon-nya spt point-B, jelas2 Unyil telah melakukan false-accusation - Unyil terkena ayat "jangan menghakimi" (menghakimi secara salah, serampangan, nurutin ego, dll). Dilain sisi, di pov Cuplis - apabila Cuplis mengalah/menerima (sekalipun dia tau dia tidak salah) ---> maka Cuplis sedang menjalankan ayat "jangan menghakimi" (sudahlah... maafkanlah... terimalah).

Dan apabila Unyil /Cuplis memegang pedoman "sudahlah, maafkanlah, terimalah..." dibalik kalimat ayat "jangan menghakimi" ---> maka tidak akan timbul perselisihan kan siip ? :).

Paulus bilang begini :
Why not rather let yourselves suffer wrong and be deprived of what is your due? Why not rather be cheated ?

Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?


New International Version
Why not rather be wronged? Why not rather be cheated?

New Living Translation
Why not just accept the injustice and leave it at that? Why not let yourselves be cheated?

GOD'S WORD® Translation
Why don't you accept the fact that you have been wronged? Why don't you accept that you have been cheated?

Baik pada sikon seperti point-A ataupun point-B diatas, apabila kedua belah pihak ataupun salah satunya (baik para "Unyil" maupun para "Cuplis") berpedoman "jangan menghakimi" seperti kalimat2 Paulus diatas ---> dalam suatu (satu) lingkungan akan damai :D.

Quote
Phatikan bhw penghakiman Paulus itu 2 sisi mata pedang
Ya... saya mengerti siip.
Ayat "jangan menghakimi" itu tidak sedang saya simpulkan bhw ayat bermaksud menyatakan : "kamu tidak boleh menghakimi - menghakimi in a positive sense"

Pengertian saya : "jangan menghakimi" - menghakimi yg dijadikan hobby, judgmental, ada kesalahan ataupun suatu hal  dikit2 dicerewetin, diutarakan, diseret ke pengadilan ataupun di lemparin batu (dikeroyok massa).

Ada maling masuk rumah, menggondol hartabenda kita - kita tidak berprofesi sbg hakim negara.
Ketauan, maling kabur dan ketangkep massa - tidak digebugin, tapi massa akan bawa dia ke pengadilan.

Begaimana sikap kita ?
1. meminta massa utk tidak membawa si maling ke pengadilan ? ---ataukah---
2. memaafkan si maling didalam hati dan tetep membiarkan massa menyeret ke pengadilan ?

Sikon menentukan,
A. kalo maling tsb ternyata saudara kita sendiri - maka mungkin yg point-1
B. kalo maling tsb orang laen - mungkin yang point-2 :D

Pertanyaannya :
Apa yang Yesus minta ke diri kita as a person sebagai pemilik rumah utk bersikap ?
Point-1 ? ataukah Point-2 ? :D

Makasih atas masukan2 siip.

:)
salam.

Offline siip

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 1721
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Karismatik
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #42 on: December 27, 2013, 04:23:27 PM »
Kl ada org buang sampah, lalu kita menegur dia, maka itu hal yg sangat baik.

Kl ada org buang sampah, lalu dalam hati kita cap dia sbg org jorok, lalu kita tegur dia, lalu kita jauhi dia dan sampai besok-besok kita tetap cap dia sbg org jorok dan itu mpengaruhi sikap kita thd dia, maka itulah mhakimi versi Taurat.
Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati (Pkh 9:4)

Offline odading

  • Super Hero
  • ******
  • Posts: 3314
  • Reputation Power:
  • Denominasi: non-agama
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #43 on: December 27, 2013, 04:41:55 PM »
Mungkin yang dimaksud Alkitab dengan "janganlah menghakimi" yaitu janganlah "menghakimi secara tidak benar, tidak adil, apalagi secara tidak berdasar"?
Ya... saya cenderung sependapat ama shakes :).

Namun, kembali lagi - kata "menghakimi" itu sendiri maksudnya apakah di satu event memutuskan benar/salah ? ataukah suatu proses yg melibatkan adanya "benar/salah" di hati - lalu berlanjut ke sebuah perbuatan yg bersifat "negatif" ?

Quote
Contoh 1: saya melihat seseorang membuang sampah sembarangan, lalu saya menilai (menghakimi) orang tersebut sebagai orang yang tidak disiplin (penghakiman pertama - di dalam hati)
dan "penghakiman" ini = TRUE. jadi tentu ini tidak sedang didalam aplikasi "jangan menghakimi" ---> karena "penghakiman" shakes = true.

Quote
lalu saya menegur dia "saya melihat kamu membuang sampah sembarangan. Mengapa kamu tidak membuang sampah pada tempatnya. Kamu sudah melanggar aturan tentang larangan membuang sampah di tempat umum..." (penghakiman kedua, namun benar dan berdasar).
Nah disini terjadi ungu... dimana pernyataan shakes in positive sense.

Quote
Contoh 2: saya langsung menegur orang itu "ternyata kamu itu orang yang jorok ya? Pasti kamu tidak pernah diajari kebersihan. Mungkin kamu juga jarang mandi" (ini penghakiman yang tanpa dasar sebagian besar hanya berdasar asumsi, berlebihan dan belum tentu benar atau adil). Saya pikir model penghakiman yang seperti ini yang dilarang oleh Alkitab. Sedangkan model yang pertama adalah sifat natural manusia.
negative sense ... Sependapat  ama shakes :deal: :D.

Pada kedua model diatas - (imo) bisa dilanjutkan lagi ...
apabila tercanang sudah bhw : hukum membuang sampah pada tidak tempatnya = dibawa ke pengadilan dgn denda uang ----> pertanyaanya : apakah shakes akan melakukannya setelah melakukan teguran ijo ataupun pernyataan orange ?

:)
salam.

Offline Shakespeare

  • Global Moderator
  • Super Hero
  • *****
  • Posts: 1868
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Injili
Re: Batasan "menghakimi"
« Reply #44 on: December 30, 2013, 09:02:17 AM »

Pada kedua model diatas - (imo) bisa dilanjutkan lagi ...
apabila tercanang sudah bhw : hukum membuang sampah pada tidak tempatnya = dibawa ke pengadilan dgn denda uang ----> pertanyaanya : apakah shakes akan melakukannya setelah melakukan teguran ijo ataupun pernyataan orange ?

:)
salam.


Saya cenderung untuk menyerahkan penghakiman (dlm arti pemberian keputusan dan hukuman) kepada mereka yg diberi wewenang untuk itu
πᾶσα γραφὴ θεόπνευστος καὶ ὠφέλιμος πρὸς διδασκαλίαν, πρὸς ἐλεγμόν, πρὸς ἐπανόρθωσιν, πρὸς παιδείαν τὴν ἐν δικαιοσύνῃ