1) Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh?
Menurut Gereja Katolik, yang mengambil pengajaran dari St. Thomas Aquinas, manusia terdiri tubuh dan jiwa. Namun jiwanya di sini adalah jiwa spiritual (rohani); yang menyebabkan manusia sebagai mahluk rational/ berakal budi. Sedangkan binatang mempunyai juga tubuh dan jiwa, namun jiwanya bukan rohani, sehingga disebut sebagai mahluk irrational/ tidak berakal budi. Jiwa binatang ini tidak abadi, jadi jiwanya mati jika tubuhnya mati. Nah, jiwa di dalam tubuh manusia merupakan “prinsip utama yang memberikan kehidupan” (Summa Theologica I, q. 75, a.1), sehingga jika jiwa ini tidak ada lagi di dalam tubuh maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh manusia. Ini yang terjadi pada kita meninggal.
Ayat surat kepada jemaat di Ibrani yang mengatakan bahwa firman Allah itu “hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua sekalipun; ia dapat menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh…” (Ibr 4:12) itu bukan untuk mengatakan bahwa kita punya jiwa dan roh yang berbeda satu sama lain; tetapi merupakan ekspresi yang menyatakan efek ‘ketajaman’ firman Allah yang memang dapat menegur kita dan mengetahui segala sesuatu, membedakan pertimbangan dan pikiran kita.
2) Apa yang terjadi dengan jiwa kita jika kita meninggal?
Jiwa spiritual kita tetap hidup (sebab jiwa kita bernilai abadi), sedangkan tubuh kita mati. Katekismus Gereja Katolik 997, 1005 mengajarkan bahwa pada saat kita mati, jiwa kita terpisah dari tubuh, tubuh akan mengalami kehancuran, sedangkan jiwa melangkah menuju Allah dan menunggu saat di mana kelak akan dipersatukan kembali dengan tubuh. Persatuan antara tubuh dan jiwa ini terjadi pada akhir jaman (Yoh 6:39-40; 44,54; 11:24; Lumen Gentium 48, KGK 1001).
3) Jiwa= perasaan?
Walaupun kedengarannya benar, namun dengan pengertian dalam point 1, jiwa memiliki nilai yang lebih dalam dari sekedar perasaan, dan dengan demikian perasaan dapat dikatakan merupakan bagian dari jiwa.
4) Bagaimana dengan orang yang sakit jiwa?
Manusia yang normal memiliki ratio/ akal budi dan kehendak bebas; yang ditandai dengan kemampuannya untuk mengetahui sesuatu dan mengasihi seseorang (knowing and loving). Untuk mengetahui sesuatu, manusia membentuk konsep sesuatu di dalam pikirannya, dan ini mensyaratkan adanya otak yang berfungsi dengan baik. Pada orang yang sakit jiwa/ gila, kita mengetahui bahwa mereka tetap memiliki akal budi dan kehendak bebas, namun otak mereka tidak berfungsi dengan semestinya. Maka, orang yang sakit jiwa tersebut, tetap memiliki martabat sebagai manusia, walaupun otaknya tidak normal, dan karenanya ia tidak dapat berpikir/ mengetahui sesuatu dengan baik.
5) Seseorang yang meninggal sudah tidak mempunyai perasaan? Pada Luk 20:29-35: dikatakan dalam kebangkitan orang mati di surga orang-orang ‘tidak kawin dan dikawinkan’.
Kita mengetahui bahwa Tuhan merencanakan perkawinan manusia sebagai lambang akan “Perjamuan kawin Anak Domba” antara Allah dan manusia di surga (Silakan baca: Indah dan dalamnya makna sakramen Perkawinan Katolik). Maka setelah orang sampai di surga dan bersatu dengan Allah sendiri, maka lambang yang menunjuk ke surga tidak diperlukan lagi. Yohanes Paulus dalam Theology of the Body mengatakan, “When Jesus say men and women will not be given to marriage in the resurrection, it is as if he is saying, “You no longer need a sign to point you to heaven, when you are in heaven“.”(TOB 66: 2)
Pada saat kita bersatu dengan Tuhan di surga, kita bersatu juga dengan orang-orang yang kita kasihi, dan juga dengan semua orang yang bersatu dengan Tuhan; dalam suatu persekutuan kasih yang tidak dapat dilukiskan lagi dengan kata-kata. Dengan demikian maka tidak ada lagi orang kawin/ dikawinkan di surga dalam pengertian kawin/ dikawinkan ala dunia. Di surga tidak ada lagi keinginan badan seperti di dunia. Yang ada hanya kasih yang meraja di dalam Tuhan yang adalah Kasih. Jadi kalau perasaan di sini diartikan sebagai naluri duniawi, tentu perasaan ini tidak ada lagi di surga, tetapi jika perasaan di sini diartikan perasaan mengasihi, wah, malah di surga perasaan kasihlah yang utama dan sempurna! Oleh sebab ini kita orang Katolik percaya bahwa kita dapat memohon agar para kudus di surga mendoakan kita; karena mereka sungguh telah dibenarkan oleh Allah karena kasih mereka, dan kini mereka bersatu dengan Tuhan dalam KasihNya, sehingga doa mereka besar kuasanya (Yak 5:16).
http://katolisitas.org/1899/perbedaan-tubuh-jiwa-dan-roh