Benar
tapi kalau anda katakan:
Jadi, dengan demikian, jelaslah bahwa kemungkinan Alquran disadur dari Alkitabnya Ebyon sangat besar,
yaitu dari Alkitab PL (Taurat) dan Alkitab PB (Injil).bukankah artinya kitab ebyon berisikan PL dan PB, jadi apa bedanya dengan kitab yg anda pegang sekarang?
Dari Injil Gnostik
Apakh injil ini sama isinya dengan kitab ebyon? berarti menurut anda Al Qur'an lebih meniru kitab Ebyon atau injil Gnotik ini?
Katolik mempunyai jalur Apostolik ("silsilah" kerasulan yang jelas dan tak terputus dari para Rasul) yang sah dan diakui oleh para ahli Thelogi dunia
maksudnya?
Coba tanya om Google ya...
sy tanya mbah google malah mendapatkan ini:
Pertama, Khadijah bintu Khuwailid memang memiliki paman seorang rahib bernama Waraqah bin Naufal. Tapi Waraqah bukanlah orang yang menikahkan Khadijah dengan Muhammad. Kitab-kitab sejarah Nabi mencatat bahwa yang meminang Khadijah adalah paman Muhammad yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Lalu yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, sedangkan yang memberikan khutbah nikah adalah Abu Thalib, paman Muhammad. Maharnya pun bukan Alkitab (Bibel), tapi 20 ekor unta. (lihat: As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, juz I, hlm. 201).
Kedua, Fakta-fakta ini sekaligus menampik tudingan Pendeta Nurdin bahwa pernikahan Muhammad dihiasi dengan khutbah ayat-ayat Alkitab (Bibel) yang disampaikan oleh Pastur Waraqah bin Naufal.
Ketiga, fakta bahwa yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, ini harus digarisbawahi oleh Guntur Romli. Karena dengan fakta ini, maka tudingannya terhadap Nabi Muhammad sebagai orang yang menyadur kisah-kisah Bibel sebagai balas jasa terhadap rahib Waraqah yang menikahkannya dengan Khadijah, terbantah secara otomatis.
Keempat, Tuduhan bahwa Muhammad menikahi Khadijah dengan tatacara Kristen karena pada waktu itu Islam belum ada karena Muhammad belum menjadi Nabi, ini adalah logika kelirumologi yang naif.
Untuk menganalisa ritual pernikahan yang dipakai oleh Muhammad dan Khadijah, kita tidak perlu repot-repot dan merekayasa tatacara pernikahan yang diterima oleh bangsa Arab pada waktu itu. Bangsa Arab pada waktu itu masih mengikuti adat-istiadat yang diwarisi turun-temurun dari syariat Nabi Ibrahim yang hanif. Hal ini terbukti, mereka masih melaksanakan syariat khitan dan menghormati Ka’bah yang didirikan oleh Nabiyullah Ibrahim dan putranya, Ismail alaihissalam. Secara historis, bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim melalui Ismail yang menikahi penduduk Mekkah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman. Keturunan Ismail inilah yang beranak-pinak di Mekkah yang disebut sebagai Bani Ismail atau Adnaniyyun.
Sampai zaman Muhammad belum diangkat Allah sebagai Nabi, bangsa Arab meyakini bahwa pemeliharaan serta kepemimpinan dalam upacara keagamaan di depan Ka’bah itu adalah hak Bani Ismail. Salah satu pemimpin kabilah Quraisy dari keturunan Ismail adalah Qushaiy.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa satu-satunya syariat yang diterapkan dalam pernikahan Muhammad dengan Khadijah adalah syariat hanif Nabi Ibrahim.
Kelima, Anggapan Pendeta Nurdin bahwa Khadijah adalah seorang Kristen yang aktif di gereja, tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena dia tidak mencantumkan satu referensi pun dalam tulisannya. Untuk mengetahui dengan pasti apa agama yang dianut Khadijah pada waktu itu, sebaiknya Nurdin membaca buku Khadijah: Drama Cinta Abadi Sang Nabi tulisan Dr Muhammad Abduh Yamani. Berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya, buku ini menyimpulkan bahwa Khadijah bukan seorang Kristen, melainkan penganut agama Ibrahim alaihissalam (Al-Hanif) yang mendapat gelar “Ath-Thahirah” (perempuan suci).
Keenam, tudingan bahwa Rasulullah menyadur kisah-kisah Bibel sesuai dengan kepentingannya juga sangat rapuh. Hanya orang kafir saja yang pantas melakukan tudingan ini.
“Dan orang-orang kafir berkata: “Al-Qur’an ini tidak lain hanya¬lah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain, maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar” (Qs Al-Furqan 4).