Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus In nomine Patris et Filii et Spiritus Sancti Bismil-Abb, wal-ibn, war-Rohil Quddus, Al-Ilahu-Ahad Amin
0 Members and 1 Guest are viewing this topic.
Para Frater Nyantri di Jombang dan BanyumasJumat, 31 Agustus 2012 15:05 WIBPara santri dan frater Serikat Yesus (SJ) berbagi pengalaman di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.HIDUPKATOLIK.com - Medio Juni lalu, para frater Serikat Yesus (SJ) nyantri beberapa hari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Mereka mengenakan sarung dan peci, berbaur dengan para santri.Tak terlihat perbedaan antara frater-frater Yesuit ini dengan para santri “asli” di Tebuireng. Tebuireng sebenarnya merupakan nama dusun (kampung, dukuh), di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pondok Pesantren Tebuireng terletak delapan kilometer di selatan Jombang, persisnya di tepi jalan raya Jombang-Kediri. Di dekat pintu gerbang utama terpahat tulisan “Makam Pahlawan K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Wahid Hasyim”.Masuk pintu gerbang utama akan tampak masjid besar di tengah, kompleks rumah pemimpin pondok di sebelah kanan, dan di kirinya terdapat aula. Asrama para santri berada di bagian belakang kompleks pondok. Kompleks makam pendiri pondok pesantren dan tokoh ulama Islam berada di samping kompleks asrama. Para peziarah biasanya masuk melalui pintu belakang, langsung menuju ke kompleks makam. Pintu utama biasanya hanya digunakan untuk para penghuni dan tamu pondok.Dalam kompleks makam ini juga terdapat kios cinderamata, kaus, jaket, buku, dan lain-lain. Tahun 1899, K.H. Hasyim Asyari, ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini membangun Pondok Pesantren Tebuireng. Sekarang, sekitar 2.500 santri putra dan putri menghuni dan nyantri di Tebuireng. Selain belajar bahasa Arab dan pengetahuan agama Islam, mereka juga mendalami mata pelajaran umum. Sejak 2006 hingga sekarang, K.H. Solahuddin Wahid, yang lebih sering disapa Gus Solah, memimpin Tebuireng.Filsuf dan bolaDi Tebuireng, para frater SJ belajar “menemukan” pluralitas dengan tinggal bersama para santri. Selama beberapa hari nyantri, para frater menemukan pengalaman yang sebelumnya tak pernah mereka alami. Salah satunya, kesempatan berpakaian sama seperti para santri, yakni mengenakan sarung dan peci (kopiah). “Ketika kita mau masuk, ya kita mesti sama dengan mereka, salah satunya dengan bersarung dan berpeci seperti yang mereka kenakan. Bahkan, pernah suatu saat ada santri yang meminjam kopiah saya,” ujar Fr Filipus Bagus Widyawan SJ sambil tersenyum.Awalnya, Fr Wawan sapaan Bagus Widyawan, juga para frater lain merasa canggung. Mereka takut ditolak atau diabaikan oleh para santri. Namun, ketika sudah bertemu, hal-hal itu sirna. Mereka berbagi pengalaman sehari-hari, menonton sepak bola bersama, minum kopi bersama, dan bermain futsal. Mereka juga berdiskusi tentang Thomas Aquinas, dan Al-Ghozali. Melalui pemikiran dua filsuf Katolik dan Islam ini, para frater merasakan kebersamaan. Lain lagi yang dirasakan Fr Alfonsus Ardi Jatmiko SJ. Ia terkesan ketika bermain sepak bola bersama.Para frater dan santri dicampur untuk membentuk dua tim. “Frater dan santri dalam satu tim tersebut memang belum saling kenal. Tapi, saat pertandingan kami menyatukan visi untuk memperoleh kemenangan dengan mencetak gol. Meski berbeda, kami bersatu,” tandas Fr Ardi.Hal senada diungkapkan Fr Billy Aryo Nugroho SJ, bahwa sharing dan sepak bola telah memunculkan kebersamaan di antara para frater dan santri. “Dari itu semua, kami punya satu kesamaan untuk mewujudkan Indonesia satu. Saya berharap, kita bisa mewujudkan toleransi dan menularkannya pada semakin banyak orang.” Ada persamaan dalam perbedaan yang ditemukan para frater. Persamaan itu, antara lain adalah adanya santo-santa dalam Katolik, dan wali dalam Islam. Tradisi tinggal di pesantren, juga mirip dengan seminari. “Tradisi ziarah juga ada di Islam Indonesia dan Katolik. Di Tebuireng, saya berziarah ke makam Gus Dur.”Fr Vincentius Damar Bagus SJ berkisah, suasana yang dirasakan di makam Gus Dur sama seperti suasana ketika ia berziarah ke gua Maria atau makam Romo Sanjaya di Muntilan, Jawa Tengah. Pagi-pagi ia berdoa di makam Gus Dur bersama para peziarah yang datang ke tempat itu. “Saya berdoa dengan cara saya. Karena saya pakai sarung dan kopiah, peziarah tidak tahu kalau saya bukan santri.”Menurut para frater ini, pengalaman nyantri menjadi salah satu upaya untuk “merayakan” pluralitas dan memupuk persaudaraan di antara umat yang berbeda agama. Isu hidup bersaudara, merayakan pluralitas adalah sebuah isu besar yang sampai hari ini belum terwujud sepenuhnya.Para frater DiosesanPengalaman nyantri di pondok pesantren juga dialami para frater Diosesan Regio Jawa (minus Bandung dan Jakarta) pada awal Juli lalu. Dua puluh dua frater dari Keuskupan Malang, Keuskupan Surabaya, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Purwokerto, dan Keuskupan Bogor live in di tiga pondok pesantren di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Mereka nyantri di Pondok Pesantren LDII di Desa Pekaja Kecamatan Sokaraja, Pondok Pesantren Al Hidayah di Desa Purwojati Kecamatan Purwojati, dan Pondok Pesantren An Najah di Desa Purwosari Kecamatan Baturaden.Salah seorang frater dari Keuskupan Malang, Fr Dimas Satyawardhana yang live in di Pondok Pesantren LDII, optimis bahwa manusia selalu merindukan persaudaraan, bukan perang. “Hasrat terdalam manusia adalah mencintai sesamanya. Pengalaman di LDII adalah pengalaman pertama. Alhamdulilah, saya bisa diterima dan berdialog dengan mereka yang dianggap garis keras,” ujarnya.Ia berharap sekembalinya ke Malang, ia dapat memulai dialog dengan kelompok-kelompok Islam yang ada di sana. Ia juga berharap, orang Katolik punya cara pandang positif terhadap kelompok Islam, terutama yang dianggap Islam garis keras. Fr Prasetya Aditama dari Keuskupan Agung Semarang yang nyantri di Pondok pesantren An-Najah merasakan suasana kekeluargaan, persaudaraan, dan keterbukaan di antara para santri dan frater. Pengalaman bersentuhan langsung dengan mereka yang “berbeda” memacu semangat untuk menghargai satu sama lain walaupun berbeda. Dan, pengalaman-pengalaman itu diharapkan dapat mewujudkan toleransi dan penghargaan terhadap pluralitas.Maria Pertiwi, Laporan: R. Sutriyono
Toleransi di Tengah PluralitasJumat, 31 Agustus 2012 15:25 WIBHIDUP KAROLIK.com - Seperti tahun sebelumnya, tahun ini “ritual mudik” akan dilakoni keluarga Brigitta Imam Rahayoe dan Hadianto Imam Rahayoe untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besarnya di Bandung.Sejak anak-anak hingga remaja, Bulan Ramadhan adalah waktu yang selalu ditunggu Brigitta. Selain sekolah libur, ia juga bisa mengunjungi kakek dan neneknya di Bandung yang merayakan Idul Fitri. Keluarga besar ayahnya mayoritas beragama Islam. Bulan Ramadhan dan lebaran merupakan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. “Itulah ajang pembelajaran, bagaimana harus berinteraksi dengan orang lain yang berbeda agama. Kita belajar menghormati orang yang berpuasa, dan mempelajari kebiasaan serta tradisi yang jarang bisa diperoleh di rumah,” papar perempuan yang pernah menjadi Ketua Seksi Pengembangan Sosial dan Ekonomi Paroki St Perawan Maria Ratu, Blok Q, Jakarta Selatan ini.Menurut Brigitta, perbedaan agama tidak mendatangkan kesulitan dalam menjalin hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Sejak kecil, orangtuanya sudah menanamkan nilai-nilai yang mengedepankan toleransi. Brigitta dan keluarga meyakini, agama yang dianut seseorang adalah hubungan yang bersifat sangat pribadi antara orang itu dan Sang Maha Pencipta. “Dengan menggunakan prinsip itu, kami dapat menghindari konflik yang bersumber dari perbedaan agama,” tandas perempuan yang aktif sebagai pengurus PERDHAKI, pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia, pengurus Komunitas John Paul II, dan Ketua Umum Yayasan Panti Nugraha ini.Pasangan beda agamaPrinsip itu pula yang dipegangnya dalam menjalani hidup berumah tangga dengan pasangan yang berbeda agama. Brigitta menikah dengan Hadianto Imam Rahayoe pada 15 Desember 1973, di Gereja St Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. Sikap toleransi dan kebebasan dalam memeluk agama selalu dikedepankan. Mereka juga tidak memaksakan anak semata wayangnya, untuk mengikuti salah satu agama mereka.Anaknya dibaptis ketika menginjak usia 22 tahun. Ia mendalami agama Katolik secara serius tatkala studi di Australia. Perbedaan agama orangtuanya membuat Adiwidya Imam Rahayu belajar makna toleransi secara konkret. Hal ini juga mempengaruhi pola pikirnya menjadi terbuka.” Menurut saya, meski Bapak tidak Katolik, tapi Bapak sudah Katolik. Ini tercermin dalam perilaku sehari-hari. Bapak mengantar kami ke gereja, ziarah bersama keluarga ke Lourdes dan Yerusalem. Saat saya menikah, Bapak juga datang ke gereja,” ungkap suami Carolina Deny Chrismayanti ini.Mengembangkan toleransi juga dilakukan pengurus Ashram Gandhi Puri Bali, Brahmacaria Agus Indra Udayana atau yang lebih dikenal dengan Gus Indra. Sejak 1992, Gus Indra mengenal Gereja Katolik dari rekannya Kris Sridana, saat menjadi aktivis yang dimotori Romo Y.B. Mangunwijaya (Alm), K.H.Abdurrahman Wahid (Alm) dan Gedong Bagus Oka (Almh). Namun, pendasaran pluralitas sudah tumbuh sejak lama dalam tradisi keluarganya di Klungkung, Bali. Ibu dan neneknya selalu menyambut Nyama Slam (saudara Islam) mereka dengan penuh cinta, seperti menyediakan tempat dan air untuk berwudhu yang pantas, serta hidangan yang layak.Pengalaman itu membuat Gus Indra memiliki keyakinan bahwa perdamaian bukan sebagai tujuan, tetapi proses keseharian yang menjiwai hidup. Keyakinan itu makin kuat saat ia mendapat anugerah Internasional Jamnalal Bajaj Award, 7 September 2011, di Mumbai India, untuk pengabdian pada ajaran Gandhi. Disusul kehadirannya sebagai salah satu delegatus aktivis perdamaian Indonesia bersama Wakil Menteri Agama Nassarudin Umar pada World Interfaith Summit Bangkok Thailand, 21-26 Mei 2012.Doa di depan PausIa juga percaya daya penggerak sebuah perdamaian dalam pluralitas adalah doa. Tahun 1999, ia pernah diundang untuk berdoa di depan Sri Paus pada Jubileum Agung di Vatikan, dan berdoa di Makam St Fransiskus Asisi. Doa Damai Saudara Dina dan Khotbah di Bukit mendorong pria selibat yang mengenyam pendidikan di Institute of Gandian Studies, India (1996-1997) ini memutuskan bekerja bersama Bunda Teresa di Kalkuta India, menjelang kepergian Beata tersebut. “Tidak usah bertanya apa yang saya buat, tapi ikutlah bersama saya dan perhatikan, lalu buat apa yang saya lakukan,” kenangnya.Setelah menyelesaikan studi, ia mendirikan Ashram Gandhi Puri Bali. Awalnya, mereka adalah sekelompok anak muda yang tergabung dalam Forum Study Satya Dharma (Gandhian Studies) di Jl Gandapura 22 Kesiman Kertalangu, Denpasar. Tempat itu kemudian menjadi Center Gandhian.Gus Indra terus membangun kekuatan doa antaragama. Patung Bunda Maria diletakkannya di Sacred Garden Ashram Gandhi Puri “Sevagram” Klungkung, Bali (cabang dari Denpasar). Patung itu bukan semata simbol dari toleransi, namun kesaksian iman yang ia alami di masa-masa ‘krisis’ waktu lalu, dan kini menghidupi setiap langkahnya. “Bunda Maria berkati saya untuk melakukan pekerjaan saya hari ini,” demikian ia menyempatkan berdoa di depan patung itu saat berkeliling mengontrol pekerjaan anak didiknya.Para pejabat negara, menteri, Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Yusuf Kalla pernah berkunjung ke tempat itu. Beberapa ormas dan paguyuban seperti PMII, KMHDI, PMKRI dan Flobamora Bali menggunakan Ashram sebagai laboratorium dialog perdamaian.Ruang semua agamaSelain itu, “Guru Ji” begitu sapaan Gus Indra juga menyediakan ruangan di hall yang berdampingan dengan sacred garden untuk umat Muslim sholat atau buka puasa. Di tempat itu pula tiap awal atau akhir bulan, para romo dan umat berkunjung ataupun merayakan Misa. “Anak-anak saya pun dapat tampil dalam acara yang dibuat oleh Gereja Katolik Klungkung dan vihara,” ujarnya.Gus Indra mengungkapkan, apa yangdibuatnya bukan menyangkut materi, tetapi semangat perubahan yang coba dipelihara agar tetap berlanjut. “Tempat sederhana ini tak pernah memiliki target apa-apa akan perdamaian yang kami upayakan. Hanya ketulusan yang kami punya untuk membangun sendi-sendi rumah perubahan Ashram Gandhi Puri yang kami miliki bersama ini.”Upaya membangun toleransi di antara pluralitas yang ada juga terlihat di Sanggar Anak Akar, Kalimalang, Jakarta Timur. Sebagian besar anak-anak yang tinggal di sana adalah anak jalanan, anak pemulung, anak yang lari dari orangtuanya. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, baik agama, suku, dll. Namun, mereka belajar untuk menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan agama dan latar belakang tidak menghalangi mereka untuk belajar di sanggar. Mereka belajar bersama di sekolah otonom yang dikembangkan, juga belajar musik, melukis, dan teater. Pada waktu itu mereka akan berbaur, entah bermain bersama atau hanya sekadar berbagi cerita. Pada hari Minggu, anak-anak SMA St Ursula Bumi Serpong Damai (BSD) datang untuk membantu mengajar di basis-basis Sanggar Anak Akar: Halim, Penas, Kampung Melayu, dan Bantargebang. Anak-anak SMA St Ursula membantu anak-anak di basis belajar, mengerjakan tugas dari sekolah, dan mengajari keterampilan dari barang bekas.Maria Pertiwi/A. Benny Sabdo/Frans Wisnu M.