Setelah dipusingkan dengan gelombang jutaan manusia melakukan arus mudik, sekarang pemerintah kota-kota besar di Indonesia kembali dipusingkan dengan fenomena yang sama, bahkan lebih dahsyat, yakni gelombang arus balik.
Lebih dahsyat sebab biasanya mereka, pemudik, saat balik membawa saudara atau teman untuk ikut mengadu nasib atau mencari kerja di kota-kota besar. Dengan fenomena demikian maka jumlah penduduk di kota besar akan meningkat drastis pascalebaran.
Baliknya pemudik yang diboncengi saudara dan teman sebenarnya setiap tahun selalu terjadi. Menanggapi hal demikian, pemerintah kota besar biasanya hanya melakukan operasi kependudukan. Mereka yang sebagai pendatang baru dicatat dan bila tidak memenuhi kelayakan menetap, disuruh pulang ke kampung halamannya. Selepas operasi kependudukan, ya selesai, sudah dianggap berhasil untuk menangkal kedatangan pendatang baru. Padahal sekarang pendatang baru itu semakin pintar ketika menghadapi hal yang demikian, mereka bisa main kucing-kucing sehingga bisa lepas dari pantauan petugas operasi kependudukan.
Sebenarnya pemerintah pusat atau pemerintah kota besar tahu akar masalahnya mengapa jutaan orang ikut dalam arus balik. Mereka ikut melakukan arus balik sebab ingin mengubah hidupnya. Selama ini bisa jadi mereka di desa atau kampung halaman menjadi pengangguran ataupun bila sudah bekerja pekerjaannya tidak membanggakan atau upah yang diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Alasan itulah yang membuat mereka ikut arus balik. Padahal apa yang dibayangkan hidup di kota lebih baik dan sejahtera belum tentu tercapai. Syukur bila tercapai, bila tidak maka mereka akan menjadi masalah sosial, bahkan mereka bisa kembali ke kampung halamannya dengan kepala tertunduk.
Tidak mampunya pemerintah pusat dan pemerintah asal pendatang baru karena mereka gagal menyelesaikan akar masalahnya. Gelombang arus balik yang diboncengi saudara dan temannya itu menunjukan bahwa pembangunan di daerah tidak ada. Otonomi daerah dan reformasi yang diharapkan mengubah wajah sentralisasi pembangunan menjadi desentralisasi pembangunan ternyata tidak terjadi.
Selama ini ternyata pembangunan tetap terkonsentrasi di kota-kota besar. Bila di kota-kota besar, Jakarta misalnya, setiap hari ada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan mall, maka hal demikian belum tentu terjadi di daerah. Lihat saja dengan adanya pembangunan mall-mall elit di Jl. Casablanca, Jakarta, pemerintah langsung membangun infrastruktur pendukung jalan layang non-tol sepanjang Kampung Melayu hingga arah Tanah Abang. Demikian pula adanya pembangunan pusat hunian dan mall mewah di Kemang, pemerintah membangun jalan layang dan underpass.
Bandingkan dengan pembangunan di daerah, pembangunan seperti itu bisa dikatakan pembangunan yang spektakuler dan bisa jadi selama proses pembangunan setiap hari akan ditonton masyarakat. Di daerah ada pembangunan namun berjalan sangat lamban. Ketimpangan pembangunan inilah yang juga membuat terjadinya ketimpangan di berbagai hal, dari masalah ketimpangan ekonomi hingga informasi.
Mengapa pembangunan timpang? Alasannya adalah pertama, RAPBN kita untuk alokasi pembangunan memang sangat kurang. Meski RAPBN kita mencapai kurang lebih Rp1.500-an triliun, namun 60%-an buat gaji dan belanja pegawai serta subsidi. Duapuluh persen buat bayar utang luar negeri dan 20% buat pembangunan. Jadi dengan duit sebesar Rp400 sampai Rp600 triliun untuk membangun dari Sabang sampai Merauke itu masih sangat kurang.
Minimnya anggaran pembangunan inilah yang membuat pembangunan di daerah lamban. Kalaupun sudah dilakukan, bila dananya habis maka pembangunan itu terhenti dan menunggu RAPBN perubahan atau dana-dana lainnya. Di sinilah maka pembangunan di daerah menjadi lamban.
Kedua, dana pembangunan itu dikorupsi. Anggaran pembangunan yang sudah kecil itu akan lebih kecil bila dikorupsi oleh pejabat di daerah atau pun pusat atau oleh anggota DPR. Sebagai mana diketahui bahwa pilkada atau pemilu sekarang tidak gratis atau murah. Pilkada saat ini memerlukan biaya miliaran. Dari mana mereka mendapatkan dana sebanyak itu? Kalau dilihat dari data yang pernah dikeluarkan oleh sebuah kementerian, tercatat ratusan kepala daerah tersangkut masalah keuangan. Dengan laporan itu menunjukan bahwa para kepala daerah itu menyelewengkan duit negara, pastinya bila duit negara diselewengkan maka pembangunan tidak akan terjadi. Bila ada pembangunan pasti sekadarnya, seperti membangun taman kota. Sementara jalan-jalan penghubung dari satu desa ke desa atau kecamatan ke kecamatan sebagai sarana pelancar ekonomi, rusak dan berlubang. Perbaikan jalan tidak dilakukan, bisa saja duitnya diembat buat biaya politik pilkada.
Ketiga, masyarakat sendiri yang menolak pembangunan. Sering kita lihat di televisi terjadi bentrokan atau demo masyarakat di depan Gedung DPRD atau kantor bupati. Mereka demo atau bentrok karena menolak sebuah pembangunan atau kebijakan investasi, misalnya menolak pabrik semen, pabrik ini, pabrik itu, dan masuknya mall dan pusat pertokoaan.
Mengapa kita kurang tepat menolak pembangunan, misalnya pabrik dan pusat perbelanjaan di daerah? Sebab anak-anak lulusan SMK atau sederadjad yang ikut dalam arus balik, mereka di kota kebanyakan juga bekerja di tempat-tempat pusat perbelanjaan. Pun demikian anak-anak SMK dan sederajad yang pergi ke Bekasi, Tangerang, Batam, dan tempat industri lainnya mereka juga kerja di pabrik-pabrik. Alangkah baiknya bila mereka tetap di kampung halaman dan tetap bisa berkumpul dengan keluarga namun bisa bekerja seperti di kota dengan upah yang layak.
Namun dalam masalah pembangunan, pusat perbelanjaan misalnya, kita harus tetap mengacu pada perlindungan kepada pasar tradisional dan pusat perbelanjaan itu diharapkan menerima produk pertanian di daerah itu.
Mereka menolak pembangunan atau investasi, bisa jadi karena tidak akan mendapat untung bahkan hanya mendapat getah. Mereka menolak demikian bisa jadi tidak dilibatkan dalam proses-proses pembangunan. Dan di sinilah letak pentingnya pemerintah daerah untuk mengajak masyarakat di sekitarnya agar mereka bisa menikmati dari proses pembangunan yang ada.
Yang pasti kita jangan menolak pembangunan, karena pembangunan bukan buat kita saja namun juga buat anak-anak cucu kita. Dari pembangunan itulah sumber-sumber ekonomi baru akan tercipta. Lihat saja pembangunan Waduk Kedung Ombo yang dulu ditolak pembangunannya, sekarang waduk itu mampu menciptakan sumber ekonomi bagi masyarakatnya, baik sektor wisata atau perikanan. Lihat saja pembangunan Tol Cipularang, dari pembangunan itu sektor ekonomi di Bandung, Lembang, Ciwidey, dan tempat-tempat lainnya di Jawa Barat menjadi lebih berdenyut keras. Dan pembangunan tol itu tidak mematikan Jalur Puncak.
Hal-hal inilah yang perlu kita pikirkan agar migrasi penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota tidak membuat kita pusing setiap tahun. Migrasi ini tidak menjadi masalah bila mereka memiliki sumber daya manusia yang handal dan dibutuhkan di kota, namun akan menjadi masalah bila mereka hanya modal nekad. Bisa-bisa mereka menjadi korban perdagangan manusia, terlibat dalam tindak kriminal, atau aktivitas-aktivitas melanggar hukum lainnya.
Ardi Winangun
Pengamat Politik
http://suar.okezone.com/read/2012/09/12/58/688597/urbanisasi-dan-kegagalan-pembangunan
artikel yg menarik, bagaimana tanggapan member skalian?
kl gw jujur merasa khawatir jg kl tiap tahun makin bnyk pendatang dari daerah krn makin macet jakarta dan makin sengit persaingan dalam mencari kerja..blum lg yg hanya tamatan SMP dan SMU alias ga memenuhi kualifikasi alhasil mereka hanya akan nganggur atau kerja gak jelas..