Author Topic: Nasionalisme dari Meja Makan  (Read 252 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

bruce

  • Guest
Nasionalisme dari Meja Makan
« on: October 13, 2012, 11:22:01 AM »
Nasionalisme dari Meja Makan
Sabtu, 13 Oktober 2012 | 09:25 WIB

Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. (Soekarno)


KOMPAS.com - Pangan ternyata lebih ampuh daripada senapan. Bukan ketiadaan senjata yang membuat sebuah negara ambruk, melainkan ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyat.

Tanpa bedil, asal perut kenyang, orang masih bisa berkelahi. Tanpa pangan, sejuta bedil pun tak bisa menyalak mempertahankan sebuah negara-bangsa. Pangan jadi pertaruhan eksistensi rezim kekuasaan.

Korea Utara menggunakan segenap sumber daya demi membangun nuklir tetapi membiarkan rakyatnya kelaparan. Sementara Kuba, kendati minim persenjataan dan diembargo oleh Amerika Serikat dan sekutunya, tetap mampu bertahan lantaran berhasil menyediakan pangan secara mandiri. Tumbangnya sejumlah rezim di Jazirah Arab tak lepas dari krisis pangan. Bak minyak ditukar roti, negara-negara petrodollar itu menggadaikan kedaulatan pangan kepada ”Negeri Paman Sam”. Henry Kissinger benar, ”Control oil and you control nations; control food and you control the people.”

Pidato Bung Karno, 14 Agustus 1945, di BPUPKI, menegaskan substansi keberadaan negara untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan rakyat, ”Grondwet yang berisi droits de l ’homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin.” Karena itu, menurut Bung Karno, negara harus didasarkan pada paham kekeluargaan, tolong-menolong, gotong royong dan keadilan sosial, serta memupus individualisme dan liberalisme.

Imperialisme pangan

Apa yang kita makan mencerminkan siapa kita sesungguhnya. Sepuluh tahun lalu mi instan menjadi barang mewah bagi masyarakat pedesaan. Sekarang, mi instan jadi menu keseharian yang tak bisa ditinggal meski bahan bakunya 100 persen impor. Belakangan, sebagian warga DKI Jakarta sulit mendapat air minum dalam galon. Air yang semula barang publik berubah jadi komoditas ekonomi. Masyarakat pun jadi konsumen yang taat.

Angka impor pangan nasional saat ini sudah mencapai 70 persen. Total impor pangan Indonesia pada 2011 mencapai Rp 125 triliun. Sebanyak 2 juta ton beras per tahun impor dari Vietnam, Thailand, China, India, dan Pakistan. Jagung dibeli dari India, Argentina, dan AS. Kedelai impor 70 persen dari AS, Malaysia, Brasil, dan Thailand. Terigu impor 100 persen dari Australia. Daging sapi impor 30 persen dari Australia. Gula impor 30 persen, gandum 5 juta ton per tahun. Susu 90 persen dari Selandia Baru.

Tak cuma garam yang kita beli 50 persen dari Australia, India, Singapura, Selandia Baru, dan Jerman, ikan asin pun impor. Ada 40 jenis ikan impor ternyata ada di perairan kita.

Kopi yang selama ini andalan ekspor pun berubah haluan seiring penurunan kapasitas produksi nasional. Impor kopi hingga April 2012 sudah 38.799 ton, padahal sepanjang 2011 volume impornya 27.605 ton. Sayuran dan produk hortikultura, seperti wortel, kol, cabe, bawang putih, tomat, dan bawang merah, pun senada. Sementara buah-buahan didominasi dari China.

Mantra liberalisasi, anak kandung globalisasi, seakan fatwa yang harus diterima tanpa syarat. Keran-keran keterbukaan ekonomi dibuka lebar tanpa kontrol. Alhasil, kartel korporasi mencengkeram sektor pertanian, menguasai dari hulu hingga hilir.

Mereka mengontrol rantai pasokan makanan, mulai dari riset, paten, bibit, pupuk, pestisida, pengolahan, distribusi, ritel, spekulasi harga di bursa komoditas, bahkan mendikte kebijakan pemerintah. Ingat bocornya memo di Wikileaks tentang bagaimana diplomat AS meyakinkan pemimpin Eropa agar menerima produk transgenik (GMOs) dari Monsanto?

Kartel korporasi, seperti Monsanto, Syngenta, Dupont, Bayer, mencengkeram benih dan agrokimia. ADM, Louis Dreyfus, Cargill, Bunge menguasai distribusi perdagangan dan pengolahan bahan mentah. Pengolahan pangan dan minuman ada di tangan Nestle, Kraft, Unilever, dan PepsiCo. Adapun di sektor ritel bertengger Walmart, Carrefour, Metro, dan Tesco.

Di pelupuk mata, produk teh Sari Wangi dan kecap Bango kini 100 persen milik Unilever (Inggris). Kecap, sirup, saus ABC 65 persen sahamnya dipegang HJ Heinz (AS). Lalu, 74 persen saham Aqua dikuasai Danone (Perancis). Ades 100 persen milik Coca-Cola (AS). Produk susu, makanan bayi SGM, 82 persen sahamnya milik Numico (Belgia). Rokok Dji Sam Soe, 100 persen dikuasai Philip Morris (AS).

Basis ketahanan bangsa

Saat peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia, di Bogor, 27 April 1952, Bung Karno kembali menegaskan, ”Pangan adalah urusan hidup-mati bangsa.” Jika pangan dikuasai negara lain, sama saja menggadaikan nasib bangsa. Sebagai basis kehidupan dan ketahanan bangsa, kedaulatan pangan menjadi harga mati. Oleh karena itu, liberalisasi sektor pertanian harus dikontrol.

Gejolak harga pangan di pasar global tampak belum usai. Senada dengan prediksi International Food Policy Research Institute (IFPRI), Departemen Pertanian AS mengonfirmasi bahwa kekeringan yang melanda AS, Rusia, dan Australia mengakibatkan gagal panen sehingga dunia kembali menghadapi lonjakan harga pangan dalam lima tahun terakhir (The Economist, 15 September 2012).

Terpuruknya sektor pertanian kita tak lepas dari absennya regulasi dan kebijakan yang memihak petani, tetapi justru menguntungkan investor kakap. Lebih dari sekadar proteksi dan peningkatan kesejahteraan petani, daya saing sektor pertanian harus digenjot agar tak tergilas dari kompetisi global. Tanpa kemandirian dan kedaulatan pangan, masa depan bangsa sangatlah riskan.

Dengan Swadeshi, Mahatma Gandhi menyarankan bangsa India agar mencintai dan menggunakan produk lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Semangat kemandirian agar tidak bergantung kepada negara lain ditunjukkan dengan memintal benang dan menenun pakaiannya sendiri. Masa depan, menurut Gandhi, tergantung dari apa yang dilakukan sekarang.

Selemah-lemahnya iman, gerakan kemandirian bisa dimulai dari meja makan. Mengonsumsi produk pangan dalam negeri berarti melepas ketergantungan impor. Langkah ini sekaligus memperkuat ekonomi domestik, memberdayakan komunitas lokal, menciptakan lapangan pekerjaan, melindungi produsen dari serbuan asing, sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Kemandirian dari meja makan bisa kita mulai dari sekarang!

Imam Cahyono Aktivis Muda Muhammadiyah; Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Sumber :Kompas Cetak
Editor :Hindra


Sebuah pemikiran yang sangat tepat dan bagus, dan menjadi bahan pemikiran kita bersama.

 :afro: