Saya pikir, kita bisa mempertimbangkan (atau tidak mempertimbangkan) ayat ini guna membuktikan bahwa ‘sesuatu’ yang kita yakini sebagai kebenaran (baca: doktrin dan/atau dogma) adalah sudah final dan infallible ... atau sebaliknya: belum final alias tidak-infallible.
I Kor 13: 9 Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna.
10 Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.
11 Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
12 Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.
BENAR, apa yang kita yakini atau imani (iman itu sendiri) harus diyakini kebenarannya. Kebenaran yang kita yakini itu dirumuskan dalam dogma dan doktrin. Tapi pembedaan antara dogma dengan doktrin telah menjadi indikator bahwa ada kebenaran yang infallible dan ada kebenaran yang tidak infallible.
SELAIN ITU, kebenaran yang disajikan dalam Kitab Suci (DAN JUGA dalam doktrin DAN/ATAU dogma ... ???) bukan hanya untuk konsumsi hati (esoteris) saja, melainkan juga (dalam batas-batas tertentu, yang mungkin bisa subjektif), untuk konsumsi rasio, sehingga ada bentuk-bentuk apologetis di dalam KS.
I Pet 3: 15,16a Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dengan hati nurani yang murni…,
Karena itu ada bagian dari kebenaran yang kita ‘imani’ itu (yaitu kebenaran yang terdapat hanya dalam Kitab Suci saja, atau PLUS dalam doktrin, atau PLUS dalam dogma ??? ) seharusnya layak untuk ‘terbuka’ bagi pengujian-pengujian rasional.
Adalah aneh kalau kita mau masuk dalam For-dis dan berani memberikan penilaian dan stigma terhadap ajaran denom lain, tapi kita sendiri tidak ‘terbuka’ untuk paparan penjelasan pihak yang kita kritik. Bukankah kita harus mengijinkan pihak lain untuk menerapkan I Pet 3:15-16a itu kepada kita?
Pertanyaan berikutnya yang mungkin layak untuk kita renungkan tentang KEMUNGKINAN adanya kebenaran yang masih bisa salah, dan selayaknya terbuka untuk dibuktikan sebagai ‘salah/keliru’:
“Mengapa materi dalam doktrin tidak secepatnya dialihkan menjadi materi dalam dogma agar ada ‘kepastian’ dalam infalibilitasnya?”
“Kalau KEBENARAN TIDAK BOLEH ‘MASIH ADA YANG BISA SALAH’ mengapa ada kategori ‘doktrin’? Mengapa ‘doktin’ itu tidak dihilangkan atau disatukan saja dengan ‘dogma’?”
“Apakah mungkin salah satu alasan mengapa Magisetrium tetap meng-ada-kan ‘doktrin’ adalah karena ayat dalam I Kor 13: 9-13 di atas?”
Kemudian, bicara soal peran Roh Kudus dalam 'diskusi', ayat berikut ini (Kis 15:28):
Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami…,
Berbeda (walaupun tipis-tipis) dengan:
Adalah keputusan kami dan keputusan Roh Kudus…,