Pembajakan Terhadap Tuhan
Jumat, 20 Juli 2012 16:09 WIB
HIDUPKATOLIK.com - Kegelisahan dan penasaran menghantui dirinya. Tak tahan menghadapi itu, ia menimba ilmu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sejak bersekolah di Aliyah, ia sudah membaca buku pemikiran keagamaan dan filsafat. Jalan terbuka baginya membumikan toleransi melalui karya-karyanya.
Namun, tatkala melihat realitas banyak muncul aksi-aksi kekerasan yang kerap bersimbol keagamaan, ia punya penilaian tersendiri. “Menurut saya, itu adalah ‘pembajakan’ terhadap agama dan Tuhan itu sendiri,” ujar Ali Usman, intelektual muda Nahdlatul Ulama yang bergiat di Jemaah Masyarakat Nahdliyin Yogyakarta.
Ali, begitu ia akrab disapa, punya alasan mengapa pelaku kerap menggunakan simbols imbol keagamaan. Padahal, tidak ada agama mana pun menganjurkan umatnya melakukan tindakan kekerasan yang merugikan orang lain.
Indonesia adalah negara yang plural baik suku, agama, ras, etnis, dan antargolongan. Kenyataan ini, menurutnya, hanya tampak indah di permukaan, namun, dalam praktik sepertinya menjadi barang langka. “Saya kira ini adalah persoalan bagaimana kita mestinya bisa ‘mengelola’ perbedaan itu. Sejujurnya, saya menyangsikan konflik atau gesekan yang terjadi di tengah masyarakat murni karena mempermasalahkan perbedaan agama, suku, maupun ras,” jelas Ali.
Ada banyak fakta terungkap kalau konflik seperti di Ambon atau Sambas bermula dari hal sepele. Misalnya, pertentangan antarindividu atau kelompok yang setelah dilacak bermotif ekonomi dan politik.
“Namun, konflik itu terkesan ‘seolah-olah’ konflik agama, etnis, dan ras setelah disusupi kepentingan yang dimainkan mereka yang dengan konflik itu mungkin diuntungkan. Jadi, faktor ‘luar-lah’ yang menyebabkan konflik akhirnya bergejolak. Apalagi, ditambah liputan media yang kurang berimbang,” lanjut Ali.
Dialog
Dialog inter maupun antarpenganut agama, menurut Ali Usman, cukup efektif dalam merawat pluralisme. Sayangnya, dialog kadang terjebak pada acara-acara seremonial-formal.
Artinya, kesadaran dialog terkesan hanya ‘pemanis bibir’ di ruang-ruang seminar dan diskusi kalangan elit agama. Namun, setelah itu tidak ada follow up ke grass root, penganutnya. Dengan ini ia tidak mau mengatakan bahwa diskusi yang mengusung tema dialog agama tidaklah penting.
“Justru yang saya gelisahkan adalah selain tidak ada follow up, acara seremonial-formal lebih berorientasi pada pemenuhan ‘proyek’ yang bersifat pragmatis atau bahkan oportunis demi citra diri di hadapan kelompok lain,” katanya.
Ali juga menyoroti, saat ini terjadi kesenjangan antara pemuka agama dengan umat kalangan bawah. Kondisi ini jelas berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan umat.
Ia memberikan contoh keputusan atau fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, pengharaman facebook oleh salah satu cabang atau wilayah NU atau fatwa haram korupsi yang dikeluarkan MUI.
“Fatwa-fatwa itu ternyata tidak cukup efektif diikuti di internal. Apalagi, berharap diikuti semua kalangan. Kalau komunikasinya baik, otomatis mestinya fatwa-fatwa itu efektif diikuti. Nyatanya, tidak. Ini juga berlaku untuk persoalan-persoalan lain, termasuk dialog inter dan antarpenganut agama,” kritik Ali.
Menurutnya, agama harus dikembalikan pada khittahnya. Meminjam istilah Peter L. Berger, agama sesungguhnya kanopi suci, the secret canopy. Agama ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan.
Tokoh pluralisme
Indonesia memiliki tokoh nasional yang getol membumikan semangat toleransi dan pluralisme. Misalnya, cucu pendiri Nahdlatul Ulama yang juga mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof Dr Nurcholis Madjid (Cak Nur), Prof Dr Ahmad Syafie Maarif, budayawan dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Rembang, KH Dr Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Atau kolumnis, sastrawan, arsitek, dan budawayan penerima Aga Khan Award, Romo Mangunwijaya yang hidup bersama warga di Kali Code, ahli filsafat dan politik Pastor Prof Dr Franz Magnis-Suseno atau Pdt Martin Lukito Sinaga, dan lain-lain. Para tokoh di atas mestinya menjadi teladan dan panutan. Tapi, mengapa kekerasan bernuansa keagamaan masih terjadi? “Mungkin karena tidak semua orang mengagumi tokoh-tokoh pluralis itu,” ujar Ali.
Kebebasan dan kedamaian akhirnya menjadi barang mahal. Namun, menurut Ali, di situ tantangannya. Semua pihak dituntut memperjuangkannya. Ia optimis. Selama masih ada suara-suara kritis dari masyarakat, baik lewat lembaga swadaya masyarakat, ormas keagamaan, dan lain-lain, kebebasan di segala bidang bisa tercapai.
Pengalaman hidup yang mengantarnya menggeluti berbagai isu sosial-kemasyarakatan melalui artikelnya di media massa dan jurnal, berangkat dari hal-hal kecil. Terutama dari lingkup tetangga maupun interaksi dengan rekan-rekan lintas agama. Baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penganut Kepercayaan. Begitu pula dengan sahabat-sahabat para intelektual, entah melalui seminar atau diskusi ilmiah.
”Saat kuliah S-2, banyak dosen Katolik. Mereka mengajar materi HAM dari perspektif Kristen. Saya suka baca buku karya penulis besar seperti St Agustinus, Mahatma Gandhi, Romo Mangun, dan lain-lain,” katanya.
Pengalaman perjumpaan itulah yang ikut mematangkan intelektual muda NU ini melahap berbagai tema, baik politik, pendidikan, sosial, dan budaya melalui analisanya di berbagai media massa dan jurnal.
“Tema pluralisme itu berangkat dari kegelisahan saya. Mengapa banyak orang bertengkar gara-gara perbedaan agama, suku, dan ras? Lantas, jika memang pluralisme itu baik, mengapa masih terjadi kekerasan? Pertanyaan-pertanyan ini terus menggelayut dalam benak saya hingga saat ini,” ujarnya.
Padahal, sikap menghargai perbedaan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, dipraktikkan dengan baik oleh Nabi Muhammad. Nah, mengapa perbedaan itu kerap gagal dipraktikkan di negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim, diakuinya memang problem pelik.
“Menurut saya, hal itu sepertinya disebabkan karena ketidakmampuan sebagian orang menggali akar-akar sejarah keislaman. Banyak yang tidak mampu bahkan enggan melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam masa kini,” tandas Ali, pengagum Gus Dur, tokoh pluralisme dan guru bangsa.
Ali Usman
Lahir : Sumenep, Madura, 20 April 1984
Istri : Lailiyatis
Orangtua : Abd. Rahiem & Ibu Maswiyatun
Saudara : Moh. Zeinudin & Moh. Imamuddin Baharsyah
Pendidikan:
• SDN Kebun Dadap Barat, Sumenep, Sampang, Madura, 1993
• SMP Saronggi, Sumenep, Sampang, Madura, 1999
• Madrasah Al-Ittihad Camplong, Sampang, Madura, 2003
• S-1 Teologi dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003-2007
• S-2 Agama dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008-2010
Organisasi:
• Aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Yogyakarta
• Aktif di NU & bergiat di Jemaah Masyarakat Nahdliyin Yogyakarta
http://www.hidupkatolik.com/2012/07/20/pembajakan-terhadap-Tuhan