Sebenarnya, tidak ada 'hubungannya' antara kekayaan dan kebahagiaan, dan antara kemiskinan dan kesusahan.
Bagi kita yang terbiasa makan ayam goreng, maka saat hari perayaan atau acara khusus, menyantap ayam goreng merupakan penderitaan.
Bagi mereka yang hanya bisa makan tempe goreng dan sambal sehari-hari, dan pada saat khusus menyantap ayam goreng, itu terasa nikmat luar biasa.
Bagi kita yang biasa berlibur ke luar kota saat libur, maka saat khusus (misalnya honeymoon) ke Bali atau ke Bromo adalah membosnkan.
Bagi mereka yang bahkan tidak pernah berekreasi, maka saat khusus mereka pergi ke pesta dangdut atau menonton musik di lapangan sudah terasa menggembirakan.
Kisah nyata.
Adalah kebiasaan saya dulu, untuk mengajak karyawan saya santap mlam menjelang puasa Islam. Tempat makan yang sedikit lebih mewah dari yang biasa mereka santap tentunya. Jadi, sore itu saya sudah katakan, siap siap jam 8, karena resto tutup jam 10.
Saya datang menjemput jam 8, dan mereka ternyata justru berdandan, dan belum siap. Jadi jm 8.30 kami baru mulai jalan, celakanya macet pula, kami tiba di reto menjelang jam 10, sudah saat resto siap siap tutup. Maka, saya langsung mengarah ke resto yang saya anggap mewah, harga masih terjangkau, dan buka hingga larut. Resto di Hotel berbintang.
Apa yang terjadi? Karyawan-karyawan saya justru stress melihat bangunan hotel. Saat duduk di resto hotel yang megah itu, mereka tidak berani bersandar. Tidak berani memilih menu. DAn celakanya saat saya pesankan sate kambing, soto ayam, ayam goreng, yang seharusnya adalah menu yang mereka sukai. Ternyata mereka makan seperti tenggorokan tercekik. Hanya habis setengah dari apa yang saya pesan.
Moral cerita, kemewahan dan kebahagiaan ternyata tidak sejalan, terlebih kalau terjadi tiba tiba, justru menjadi penderitaan.