Pendekatan Pastoral Terhadap Perkawinan IrregularHIDUPKATOLIK.com - Tidak ada perkawinan sempurna, tetapi terdapat banyak perkawinan yang baik. Perkawinan yang baik dibangun dengan susah payah dari hari ke hari. Kadangkala krisispun menimpa keluarga. Yang pasti adalah bahwa kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan karena kebersamaan. Maka egoisme sangat merusak keluarga sebagai komunitas cinta.
Suami-isteri tak boleh melarikan diri dari krisis, tetapi justru harus mencari solusi. Kehadiran anak malahan memacu kreativitas orangtua untuk memberikan pendidikan yang baik. Dengan mendidik anak, orangtuapun semakin berkembang kemanusiaannya. Bagaimana mungkin, anjing piaraan dapat dipelihara dengan baik, sementara anak sendiri terlantar, kurang perawatan dan kasih sayang? Justru kebanggaan orangtua adalah memanusiakan anaknya sendiri. Banyak ayah di kota besar menghabiskan waktu merawat mobil atau motornya, tetapi tidak memeluk, tidak mendekap, tidak mencium, tidak menggendong, tidak memberikan kasih sayang, tidak bermain bersama anaknya sendiri. Anak menjadi besar dalam pelukan pembantu rumah tangga. Tragis memang!
Di antara banyak keluarga yang baik, terdapat pula beberapa perkawinan yang hancur berantakan. Suami menceraikan isteri, meninggalkan anak-anak dipelihara oleh isteri dan selanjutnya suami kawin lagi. Akhirnya isteri pun kawin lagi demi pendidikan anak-anak. Kita tak perlu mencari akar permasalahannya. Tentu rumit sekali. Solusinyapun tidak gampang. Namun, sebagai orang Katolik, berkat Sakramen Baptis, suami-isteri yang bersangkutan, tetaplah anggota Gereja Katolik. Mereka tidak terpisah dari Gereja.
Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Bapa Suci Yohanes Paulus II, no. 84, menegaskan agar suami-isteri yang bersangkutan tetap berpartisipasi dalam hidup menggereja, diajak mendengarkan Sabda Allah, bertekun dalam doa, beramal kasih, dan mengikuti Misa Kudus, walaupun dilarang menerima komuni suci. Paus Benediktus XVI pun menegaskan hal yang sama dalam Sacramentum Caritatis, no. 29, “Tetapi orang-orang yang bercerai dan menikah lagi itu tetap menjadi anggota Gereja; dengan keprihatinan khusus Gereja mendampingi mereka dan mendorong mereka untuk menghayati sepenuh mungkin kehidupan Kristus lewat partisipasi yang teratur dalam misa, meskipun tanpa menyambut komuni, dengan mendengarkan Sabda Allah, melakukan adorasi, doa, partisipasi dalam kehidupan komunitas, dialog dengan tulus dengan imam atau pembimbing rohani, dan mendedikasikan diri pada pelayanan amal, karya tobat dan komitmen kepada pendidikan anak-anak mereka.”
Larangan menerima komuni suci bagi suami-isteri yang bercerai dan kawin lagi ditegaskan pula dalam Kitab Hukum Kanonik, Kanon 915, dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1650, dan dalam Annus Internasionalis, dari Kongregasi Ajaran Iman, 14 September 1994. Sebagai orang Katolik di Indonesia, kita dapat membantu suami-isteri yang bersangkutan dengan memberdayakan potensi yang ada pada keluarga tradisional. Janganlah kita membiarkan suami-isteri yang bersangkutan menanggung beban penderitaannya sendiri. Paham personalisme dan individualisme perlu diwaspadai. Peranan keluarga besar, marga, suku, kasta, dapat membantu meringankan beban suami-isteri yang bercerai dan menikah lagi. “Konsili Vatikan II (GS, 48-52) dan P. Yohanes Paulus II (Familiaris Consortio) banyak berkata tentang spiritualisme dan pastoral perkawinan serta keluarga. Dokumen-dokumen inipun tampaknya terutama berpikir kepada suatu masyarakat agraris-borjuis dan kepada keluarga inti. Kuranglah diperhatikan orang banyak, masyarakat industri, masyarakat modern, dan pasca modern, kemungkinan bahwa bukan keluarga inti kesatuan dasar masyarakat tetapi keluarga besar, seluruh kelompok sanak-saudara.” (C. Groenen, OFM, Perkawinan Sakramental, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 390).
Dalam sistem keluarga besar tradisional, perkawinan menjadi urusan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Maka perceraian dan kegagalan perkawinan pun ditanggung oleh kelompok masyarakat tersebut. Isteri bisa kembali ke kelompok sukunya, dan anak-anak dibesarkan serta dididik oleh paman atau bibinya.Karena bagaimanapun juga anak adalah anak suku/marga, bukan hanya anak dari suami-isteri yang bersangkutan. Potensi keluarga besar tradisional inipun dapat dikembangkan dalam lingkungan-lingkungan sebagai komunitas basis. Karena lingkungan-lingkungan berada dalam paroki-paroki Gereja Katolik di Indonesia, maka menjadi tugas-panggilan umat lingkungan untuk merangkul suami-isteri yang cerai dan kawin lagi, mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan Gereja. Dengan begitu, solusi perkawinan irregular lebih kontekstual. Bukan hanya karena larangan.
Jacobus Tarigan Pr
Pastor paroki, tinggal di Jakarta
http://www.hidupkatolik.com/2012/08/24/pendekatan-pastoral-terhadap-perkawinan-irregular