Memasung Mitos PolitikSenin, 17 September 2012 15:21 WIB
HIDUPKATOLIK.com - Politik itu ada pada area kotor. Siapapun yang mau terjun ke dunia politik, dia harus berkubang pada lumpur kemunafikan yang melahirkan diskriminasi. Inilah mitos politik.
Kita bisa bereaksi dan berkata bahwa siapapun yang percaya pada mitos yang demikian ini, maka dia adalah pribadi yang ‘melayang’, pribadi yang ditentukan oleh sebuah kondisi. Artinya, dia bukannya mengondisikan lingkungannya tetapi justru sebaliknya. Mitos politik yang demikian ini memang muncul dan menggurita sehingga kita seperti menyikapinya sebagai sesuatu yang niscaya (taken for granted).
Kasus-kasus korupsi yang sampai sekarang belum tuntas pengusutannya sebenarnya adalah penampakan dari mitos itu sendiri. Inilah dosa asal politik kita. Pada masa Orde Baru, kita tidak diajarkan bagaimana berpolitik santun. Sense of politic kita sangat kerdil. Yang Orde baru ajarkan adalah bagaimana kita menggadaikan diri dengan politik. Artinya, seorang politisi harus mampu menumpulkan nurani dan akhlaknya sehingga mitos politik bisa diperagakan. Inilah dosa warisan yang sampai sekarang belum berhasil ditepis.
Kalau begitu siapa yang salah? Pertanyaan semacam ini membuka ruang bagi politisi untuk menyalakan warisan sistem. Mungkin ada benarnya juga, tetapi yang perlu dicatat adalah sistem itu sendiri sebenarnya adalah mekanisme kerja yang melibatkan berbagai tatanan dan pertimbangan publik. Maka dari itu, sistem pada dirinya sendiri adalah sebuah entitas bening. Dan karena bening, sistem itu elastis dan tidak memihak. Dan karena ketidakberpihakan inilah maka sistem cenderung dan sering sekali menjadi anak haram dari kebijakan politik. Para politisi memanipulasi sistem dan menempatkan sistem pada ranah mitos dengan selubung epistemologis.
Ketika mitos politik ini diglorifikasi dalam sebuah sistem, yang muncul adalah kekerasan dan marginalisasi. Dalam hemat saya, politik kita di Indonesia sekarang, belum keluar dari lingkaran hitam mitos naïf ini. Artinya, politik di Indonesia diartikan dan direduksi maknanya pada sebuah nadir, bahwa yang hitam dalam dunia politik adalah sebuah kondisi yang harus diterima.
Memasung mitos politik
Aristoteles pernah berkata bahwa tujuan dari politik itu sendiri adalah zoon politikon: demi kesejahteraan bersama. Dengan demikian, politik adalah cerminan sikap solidaritas yang membuat orang mau berkumpul dan hidup bersama. Bidikan zoon politikon adalah kebahagiaan kolektif. Begitu mulianya politik itu sampai-sampai Aristoteles dalam kekagumannya mengatakan bahwa politik adalah seni tertinggi untuk menggapai kebaikan bersama sebagai sebuah negara (comoon and highest good). Semua ilmu lain mengabdi dan dikondisikan oleh ilmu politik. Semua ilmu lain bisa bergerak dan bertumbuh kalau ilmu politik bekerja secara maksimal.
Kemuliaan politik sebenarnya terletak pada keberpihakannya bagi rakyat. Tokoh Nelson Mandela telah menjadi ikon bukan hanya untuk rakyat Afrika Selatan, tetapi juga untuk semua orang yang merindukan figur seorang pemimpin yang berpihak pada rakyat. Ia telah mendapat tempat di hati rakyat Afrika Selatan. Sepanjang pemerintahannya, ia tunduk pada kepentingan rakyat demi menjunjung tinggi semangat demokrasi yang menjadi simpul dari pencapaian kesejahteraan. Demikian pun Presiden Bolivia, Evo Morales, yang memahami politik sebagai ilmu melayani rakyat dan bukan hidup dari rakyat.
Di tanah air kita, Indonesia, Bung Hatta telah menjadi inspirasi bagi para politisi yang mau berpihak pada rakyat, bukan pada diri, kelompok atau golongan tertentu saja. Komitmennya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan rakyat menjadikannya sebagai pemimpin dan pahlawan yang besar dalam sejarah Indonesia. Ia mundur dari wakil presiden ketika ia merasa bahwa posisi itu tidak membuatnya mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bung Hatta telah mewariskan kemuliaan politik dalam memperjuangkan kesejahteraan kolektif.
Baik Nelson Mandela, Evo Morales maupun Bung Hatta adalah figur pemimpin yang tahu diri. Mereka tahu bahwa posisi yang dimiliki bukanlah sebuah kesempatan untuk menggapai cita-cita dan ambisi pribadi. Mereka adalah pemimpin yang punya prinsip, yang teguh memperjuangkan kepentingan rakyat. Politik bagi mereka adalah melayani rakyat. Rakyat adalah kata kunci dalam politik itu sendiri. Mereka telah membuktikan bahwa mitos politik yang demikian itu naïf dan mudah difalsifikasi. Mereka telah memasung mitos politik itu. Sanggupkah kita memasung mitos durhaka ini?
Dony Kleden
Rohaniwan dan mahasiswa Pasca sarjana
Universitas Gajah Mada-Yogyakarta.