Selanjutnya debat teologis berlangsung antara pihak Luther (Luther dan Carlstadt) dan Johann Eck tanggal 27 Juni 1519 dengan membahas topik seperti rahmat Tuhan dan kehendak bebas (grace and freewill) dan hal supremasi kepemimpinan Paus. Tentang topik grace and freewill, Eck tampil sebagai pemenang debat. Tentang supremasi Paus yang ditentang oleh Luther, Eck mengacu kepada bagaimana pandangan serupa oleh Wiclif dan Hus pernah dikecam oleh Konsili di Constance. Pernyataan ini membuat Luther akhirnya menyatakan bahwa konsili dapat salah. Terhadap hal ini Eck berkomentar singkat, “Kalau engkau percaya bahwa konsili yang sah dapat salah dan telah salah, maka bagi saya, kamu adalah seorang pagan dan publikan” (Köstlin-Kawerau, op. cit., I, 243-50). Luther pulang dalam keadaan terpukul atas turnamen yang mengecewakannya ini.
Luther kemudian memperoleh dukungan dari Melancthon, seorang humanist yang menghubungkan Luther dengan komrad bersenjata, Ulrich von Hutten dan Franz von Sickingen, yang memberikan perlindungan kepadanya. Maka selanjutnya Luther tidak takut lagi untuk terus menulis tentang ajaran- ajarannya yang anti klerikal, benci terhadap Roma dan Paus. Beberapa prinsip ajarannya adalah:
- Hanya Kitab Suci sajalah yang menjadi sumber kebenaran (Padahal Gereja mengajarkan sumber kebenaran adalah Kitab Suci dan Tradisi Suci)
- Kodrat manusia telah sama sekali rusak akibat dosa asal; maka manusia tidak lagi punya kehendak bebas. Apapun yang dilakukan apakah itu baik atau buruk bukan merupakan perbuatannya sendiri tetapi perbuatan Tuhan. (Padahal Gereja mengajarkan bahwa biar bagaimanapun manusia diciptakan menurut gambaran Allah, sehingga tetap ada kebaikan dalam diri manusia, walaupun oleh karena akibat dosa, manusia mempunyai kecenderungan berbuat dosa. Oleh karena manusia tidak rusak total, maka ia mempunyai kehendak bebas dan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggungjawaban atas perbuatan kita inilah yang nanti diminta oleh Tuhan pada saat penghakiman terakhir)
- Iman saja yang menyelamatkan dan manusia diselamatkan dengan percaya bahwa Tuhan akan mengampuninya. Iman sedemikian bukan saja mengampuni dosa seluruhnya, tetapi juga menghapus segala akibatnya. (Padahal Gereja mengajarkan bahwa iman tidak boleh dilepaskan dari perbuatan, sehingga tidak dapat dikatakan hanya iman saja, namun iman, perbuatan, baptisan, pertobatan, semua itu diperlukan untuk keselamatan yang diberikan kepada kita karena rahmat Allah. Selanjutnya walaupun Allah mengampuni setiap kesalahan kita, namun ada konsekuensi yang harus kita tanggung akibat pelanggaran kita.)
- Hirarki dan imamat bukan ditetapkan oleh Tuhan dan tidak diperlukan, upacara penyembahan tidak penting dan tidak berguna; pakaian- pakaian gerejawi, ziarah, mati raga, kaul biara, doa bagi orang- orang yang sudah wafat, doa syafaat orang kudus tidak berguna bagi jiwa. (Padahal hal hirarki dan peran imamat jabatan nyata dalam Perjanjian Lama, dan juga dalam Perjanjian Baru, di mana Kristus memilih 12 rasul-Nya untuk melaksanakan misi-Nya)
- Semua sakramen ditolak, kecuali Baptisan, Ekaristi dan Pengakuan Dosa (Gereja mengajarkan adanya 7 sakramen)
- Imamat bersifat universal dan setiap orang Kristen dapat menjadi imam, tidak perlu ditahbiskan (Gereja mengakui adanya imamat bersama, namun juga imamat tertahbis).
- Tidak ada Gereja yang kelihatan atau satu Gereja yang didirikan Tuhan (Gereja berdasarkan Kitab Suci mengajarkan bahwa Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus/ Batu Karang, terlihat sebagai satu kesatuan).
Lalu Luther mengadakan pendekatan kepada Kaisar untuk mengadakan 3 hal: 1) untuk menghancurkan kuasa Paus, 2) untuk merampas hak milik Gereja, 3) untuk meniadakan perayaan- perayaan gerejawi, puasa dan hari libur, untuk menghapuskan Misa arwah, dst.
Di bulan April 1520, Eck ke Roma, dengan membawa tulisan- tulisan ajaran ini yang diterjemahkan dalam bahasa Latin. Hal- hal ini didiskusikan dengan seksama. Tanggal 15 Juli 1520 Paus mengeluarkan Bula “Exsurge Domine” yang secara resmi mengecam 41 proposisi yang disebutkan dalam tulisan- tulisan Luther, dan Luther diperintahkan untuk menghancurkan buku- buku yang memuat kesalahannya dan untuk menarik pernyataannya dalam 60 hari, atau ia menerima sangsi penuh akibat melanggar ketentuan Gereja. Tiga hari kemudian Eck ditunjuk sebagai komisi untuk menerbitkan Bula tersebut di Jerman. Penunjukan ini sesungguhnya tidak bijaksana, sebab sikap Luther kepadanya sudah negatif karena pengalaman sebelumnya. Kedatangan Eck di Jerman disambut protes dan penolakan dari pihak akademisi. Bula tersebut menjadi obyek kemarahan. Namun Bula itu tidak mempengaruhi Luther, malah menariknya lebih jauh, dan memberikan momentum untuk memberontak, “Bagi saya kematian sudah jelas: Saya membenci baik kesukaan ataupun kemarahan Roma; Saya tidak mau berdamai dengan dia, atau bahkan untuk bersekutu dengannya….” (De Wette, op. cit., 466).
Demikianlah, dengan perkataan ini (dan perkataan- perkataan selanjutnya yang menentang Paus) Luther menolak untuk menarik kembali ajaran- ajarannya yang tidak sesuai dengan ajaran yang sejak awal mula diajarkan oleh Gereja, dan dengan demikian ia memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja. Maka dalam hal ini, Luther tidak menanggapi pernyataan dari Bapa Paus “Exsurge Domine“, seperti seharusnya, yaitu dengan memeriksa ajarannya kembali dengan koreksi yang sudah diterimanya dari pihak kepausan. Sebaliknya, ia berkeras dengan ajarannya sendiri yang tidak sesuai dengan apa yang sudah diajarkan selama berabad- abad oleh para Bapa Gereja dan dilestarikan oleh pihak Magisterium.
Namun kemudian sejarah juga mencatat bahwa apa yang dilakukan Luther terhadap Bapa Paus (pihak otoritas) ternyata terjadi pada dirinya sendiri. Banyak dari para pengikutnya akhirnya meninggalkan dia, dan murid- muridnya yang terdekat, seperti Carlstadt dan Zwingli menentangnya, dan memisahkan diri darinya. Luther tidak melihat bahwa posisi mereka sesungguhnya menyerupai posisi dirinya sendiri yang menentang pihak otoritas Paus (Tulloch, “Leaders of the Reformation“, Edinburgh and London, 1883, 171). Ajaran Luther tentang “imamat universal seluruh umat” (tanpa perlunya imam tertahbis), dan bahwa “kongregasi umat sendiri mempunyai otoritas untuk menentukan doktrin/ajaran” kemudian terbukti malah memecah belah pengikutnya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa untuk mendirikan suatu gereja baru, dasar yang teguh diperlukan, dan ini tidak dapat ditentukan sendiri oleh masing- masing kelompok. Otoritas yang mempersatukan diperlukan, dan sesungguhnya peran inilah yang dilaksanakan oleh Bapa Paus dalam Gereja selama ini. Luther, setelah melihat kenyataan akan banyaknya sekte yang terbentuk, akhirnya mengakui bahwa “jumlah sekte- sekte itu hampir sama dengan jumlahnya kepala yang ada (maksudnya jumlah orang)/ “nearly as many sects as there are heads” (De Wette, op. cit., III, 61).
Harus diakui bahwa adanya bermacam gerakan Protestantism tidak terpisahkan dari faktor temperamen Luther, di samping adanya perbedaan doktrin. Sejarah mencatat bahwa terperamen yang buruklah yang membawa Luther semakin terasing dari para pengikutnya. Carlstadt memisahkan diri darinya tahun 1522. Melancthon dengan nada sedih menyebutkan tentang sikap Luther yang kasar, mau menangnya sendiri seperti seorang tiran….. Zwingli, Œcolampadius juga tak luput dari cercaan Luther, yang menyebut mereka sebagai telah dipengaruhi oleh setan (Walch, op. cit., XX, 223). Demikian juga, Luther berseberangan dengan Calvin dalam hal doktrin tentang Ekaristi, dan keduanya tidak mencapai kata sepakat.
..Lanjut dibawah..