Jakarta - Penolakan terhadap Susan Jasmine Zulkifli untuk memimpin Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, karena alasan agama, merupakan bentuk diskriminasi. Tindakan memaksakan diri menolak pimpinan yang berbeda agama itu merupakan ujian dalam menegakkan konstitusi dan nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara.
"Kita melihat ketidakpedulian dan pengabaian terhadap konstitusi pada level menteri dalam kasus Lurah Susan ini. Sebaliknya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakilnya Basuki Tjahaj Purnama telah menyadarkan kita akan pentingnya membela konstitusi agar kita tidak membeda-bedakan semua warga negara berdasarkan agama dan keyakinannya," ujar Direktur Yayasan Denny JA untuk Indonesia, Novriantoni Kahar di Jakarta, Minggu (28/9).
Dikatakan, Indonesia telah mengalami berbagai ketegangan dan konflik serta intoleransi dan diskriminasi setelah Era Reformasi. Di sisi lain, rakyat tidak banyak menyaksikan para pemimpin yang berani dan cakap dalam membela spirit antidiskriminasi.
Yayasan Denny JA, ujar Novriantoni, menilai kebijakan Pemerintah DKI mempertahankan Lurah Susan merupakan salah satu bentuk tindakan menjunjung tinggi konstitusi. Sebaliknya, andai Pemda DKI mengikuti aspirasi diskriminatif terhadap Lurah Susan, itu akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan berkonstitusi.
Berkaitan dengan kasus itu, Yayasan Denny JA untuk Indonesia menyatakan bersimpati dan mendukung Lurah Susan Jasmine Zulkifli secara moral untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Lurah Lenteng Agung. Lurah Susan diharapkan tetap tabah dalam bertugas dan berupaya keras untuk memberi pelayanan terbaik kepada segenap warga Lenteng Agung tanpa kecuali.
"Kami juga mendukung kebijakan Gubernur Jokowi dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama untuk mempertahankan Lurah Susan serta mengimbau keduanya untuk tetap konsisten mempertahankan sikap antidiskriminasi," ujarnya.
Novriantoni juga menyayangkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, yang menyarankan agar Gubernur DKI Jakarta menuruti aspirasi diksriminatif terhadap Lurah Susan. Menurutnya, berdasarkan survei Yayasan Denny JA dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, sebanyak 67,5% publik Indonesia menilai pemerintah memang tidak maksimal dalam melindungi konstitusi yang menjamin kemajemukan Indonesia.
"Karena itu pula, bisa dimengerti bila mayoritas publik (87,6%) sangat merindukan kepemimpinan yang punya semangat antidiskriminasi. Survei kami juga menemukan, mayoritas rakyat Indonesia (88,8 %) tidak menyukai diskriminasi berbasis agama maupun etnik. Karena itu, sikap diskriminatif sesungguhnya bukanlah pilihan sikap yang benar bagi pejabat publik mana pun, ujarnya.
Yayasan Denny JA juga mengimbau Presiden Republik Susilo Bambang Yudhoyono agar bersikap tegas dalam membela konstitusi. Presiden juga harus memberi teguran keras kepada menteri yang tidak sensitif dengan kemajemukan Indonesia, apalagi yang nyata-nyata bersikap diskriminatif, baik dalam ucapan maupun kebijakan.
http://www.beritasatu.com/megapolitan/141158-jokowiahok-sadarkan-pentingnya-penegakan-konstitusi.html