Damai sejahtera Tuhan Yesus Kristus menyertai FIKers sekalian.
Berhubung saya bukan ahli dalam hukum perkawinan dan hukum kanonik dan hukum-hukum lainnya, saya hanya meninjau dari pandangan pribadi saja. Boleh, ya?
Saya pikir, perkawinan antar dua orang berlawanan jenis dapat dilangsungkan jika tidak ada halangan-halangan yang mengganjal. Dari sudut genetika, perkawinan dua individu yang masih sangat dekat kekerabatannya, besar kemungkinan akan menghasilkan keturunan yang cacat, alias mengalami penurunan gradasi genetik.
Jadi, sepanjang tidak ada halangan-halangan yang mengganjal, saya pikir, pastor dapat menyaksikan kedua mempelai saling memberikan sakramen perkawinan satu dengan lainnya.
Pada kasus yang saya kemukakan, ternyata di perjalanan waktu, seorang dari pasangan itu 'tertangkap basah' sedang 'jajan' dengan kelamin sejenisnya (yang kemudian diadukan oleh orang lain ke pihak Gereja dan pasangannya), tetapi mendapat pemaafan dari pasangannya, saya pikir, Gereja tidak dapat berbuat apa-apa atas kasus pasangan itu.
Gereja itu sumber cinta kasih dan pembawa damai, kan? Maksud saya, bila ternyata para pihak yang tadinya sudah mendapat sakramen perkawinan, walaupun ada hal yang tidak terungkap pada saat kanonisasi, dan mencuat setelah seorang darinya 'ketangkap basah' sedang 'jajan', tetapi pasangannya tidak komplen apa-apa, alias memaafkan dengan kebesaran cinta, maka Gereja tidak bisa membatalkan Sakramen Perkawinan yang sudah diberi. Sakramen Perkawinan itu dapat dibatalkan bila salah satu pihak merasa dirugikan dan menuntut pembatalan. Bahkan, pada saat pihak yang memohon pembatalan Sakramen Perkawinan itu datang ke pihak Gereja, saya yakin, Gereja akan mengupayakan rekonsiliasi lebih dahulu. Bila rekonsiliasi tidak berhasil, kemudian pembatalan dapat dilaksanakan.
Tapi. ngomong-ngomong, hendak kemana gerangan trit ini dibawa?
Damai, damai, damai.