Sejarah Gereja Orthodox Syriac dari AntiokiaGereja Syriac Orthodox adalah salah satu Gereja Kristen tertua yang berakar dari Gereja Antiokia. Murid2 Kristus pertama kali disebut “Kristen” di Antiokia (Kis 11 : 26). Petrus pertama kali mendirikan Gereja di Antiokia pada 37 AD, yang sampai saat ini masih dapat ditemukan di Anakya (nama kota Antiokia sekarang), Turki. Setelah kemartiran Rasul Petrus, penerusnya adalah St. Euodius dan St. Ignatius Noorono sebagai gembala jemaat di Antiokia, dan dalam tulisan St. Ignatius lah kita temukan perkembangan struktur gerejawi tentang uskup2 (penerus yang ditahbiskan oleh para rasul untuk meneruskan otoritas spiritual yang mereka terima dari Tuhan Yesus). Keberadaan keuskupan Antiokia dapat dilihat dalam Sinode Ekumenis Nisea (325 AD) sebagai salah satu Ke-patriakh-an Kristen (bersama2 dengan Alexandria dan Roma). Garis suksesi apostoliknya dimulai dari rasul Petrus, yang terus berlangsung hingga saat ini di Gereja Syriac Orthodox.
Antiokia pada jaman Kristus hidup adalah ibukota provinsi romawi Syria dan merupakan pusat perdagangan. Karena kota tersebut banyak dipengaruhi kebudayaan helenisme, bahasa Yunani merupakan bahasa sehari2. Tapi mayoritas penduduk religiusnya, terutama mereka yang tinggal di pinggiran, menggunakan bahasa Syriac - dialek Edessene dari bahasa Aram, bahasa yang digunakan oleh Tuhan kita.
Mudir dari Addai, Mari, Aggai, dan rasul Thomas, dipercaya menyebarkan Injil di daerah Tenggara Antiokia: Edessa (urhoy) dan Nisibis, dan lebih jauh ke bagian utara dari dataran Mesopotamia antara sungai Tigris dan Euprates. Doktrin Syria: Addai, mengajarkan bahwa Kristus mengutus Adday, salah satu dari ketujuh puluh murid, kepada raja Abgar dari Edessa. Dipercaya bahwa rasul Thomas juga merambah ke timus sampai ke India di 52 AD. Banyak kepentingan dan pengaruh dari orang2 kristen berbahasa Syriac di kota2 seperti Edessa (Urhoy), Adiabene (hadyab), dan Nisibis (Nsibin). Antiokia merupakan takhta keuskupan, sedangkan Edessa sering dianggap sebagai pusat kekristenan Syriac.
Gereja Antiokia memainkan peranan penting dalam sejarah awal kekristenan. Gereja Antiokia berperan penting dalam tiga Sinode pertama di Nisea (325), Constantinople (381), dan Efesus (431), yang menghasilkan rumusan dan interpretasi awal doktrin2 kristen. Pada 451 AD, konsili Kalsedon dan rumusan Kristologinya mengakibatkan skisma yang memisahkan jemaat di bawah Tahkta Keuskupan Antiokia menjadi dua: salah satunya yg dikenal saat ini sebagai ”idto suryoyto treeysath shubho” (Gereja Orthodox Syriac/Syrian), dan satunya adalah Gereja Orthodox Timur Antiokia. Gereja Orthodox Timur Antiokia mendapat dukungan dari Kaisar Byzantine: Justinian, yang memanggil konsili Kalsedon. Dalam beberapa tahun berikutnya terjadi pergumulan atas tahkta apostolik, di mana kedua uskup (Gereja Orthodox Syrian dan Gereja Orthodox Antiokia) ”memperebutkan” posisi patriakh Antiokia. Pada 518, Patriakh St. Severus diasingkan dari Antiokia. Kursi kepatriakhan Gereja Orthodox Syriac berpindah2 tempat termasuk Quartmin, Qenneshrin (Chalkis, di dekan Aleppo), Malatya, dan Amid (Diyarbakir), dan akhirnya pada 1293 menetap di Dayro d-Mor Hananyo (juga dikenal sebagai Kurkmo Dayro dalam bahasa Syriac dan Deir Zafaran dalam bahasa Arab) di Mardin. Kursi kepatriakhan menetap di sana sampai 1933 ketika keadaan politik memaksa untuk pindah ke Homs, Syria, dan akhirnya ke Damaskus di 1959.
Pusat Gereja Orthodox Syriac juga muncul di bekas wilayah Persia, yang dikenal sebagai Easterners (Madnehoyo dalam bahasa Syriac). Komunitas Orthodox Syriac di sana sebagian merupakan korban penculikan penduduk Syrian oleh Persia selama perang denganBizantium dan dipaksa untuk tinggal di wilayah Persia, dan sebagian lainnya merupakan orang2 kristen di Persia yang bereaksi atas tekanan politik mengenai doktrin Gereja Timur. Di jaman Sassanids, para Easterners oleh alasan praktis, mendirikan organisasi gerejawi sendiri, dan memilih metropolitan Tagrit di sungai Tigris sebagai pemimpin mereka pada 629. Kemudian di abad ke11, gelar ini dikenal sebagai Maphryono (yang berarti “yang menghasilkan buah” atau “penyuci”). Maphryono ini dipilih oleh uskup timur, sama seperti patriarch dipilih oleh Barat, tapi ditahbiskan oleh Patriakh. Di kemudian hari, jabatan ini memegang peranan penting, yaitu Maphryonos menahbiskan Patriakh, dan pada saat yg bersamaan Maphryono tidak lagi dipilih dan mulai 793 (dengan Maphryono Sarbelios) mereka diinominasikan oleh Patriakh. Para Maphryonos di antaranya adalah penulis terkenal Mor Gregorius Bar ‘Ebroyo (1226-186). Dayro d-Mor Mattay di Mosul merupakan tempat kursi Maphryono, sampai akhirnya Maphryono tinggal di kepatriakhan di Mardin. Maphryono terakhir meninggal di 1848 dan sejak saat itu posisi ini menjadi tidak berfungsi.
Sejarah Gereja Orthodox Syriac diwarnai oleh keadaaan2 sulit. Tekanan dari pemerintah Bizantine di abad ke6 dan ke7 dan diikuti oleh Perang Salib di abad ke11 dan ke12, lalu kehancuran oleh tangan bangsa Mongolia yang dipimpin oleh Tamerlane (1336-1405) di sekitar tahun 1400, lalu larangan keras di bawah regime Ottoman Sultanate. Perkembangan nasionalisme di awal pemerintahan Ottoman Sultanate memicu pembantaian massal sekitar 25 000 jiwa di daerah yang sekarang ini adalah bagian tenggara Turki pada 1895-96. Peristiwa yang lebih tragis terjadi di 1915, terukir dalam memori komunitas Orthodox Syriac sebagai Sayfo (Tahun Pedang), menewaskan 90 314 orang (termasuk 154 imam) dari 13 350 keluarga di 346 desa yang mewakili sekitar sepertiga dari penduduk Syria Orthodox di wilayah tersebut (menurut catatan Patriakh Aphrem I). Kesedihan selanjutnya datang bersamaan dengan pemberontakan Kurdish di 1925-26, ketika tentara Kurdis menggunakan biara Mor Malke dan Dayro da-Slibo, dan gereja di Basibrin dan di dekat Hbob sebagai markas mereka. Penderitaan dan kerusakan yang parah sejak 1985 dan seterusnya mengakibatkan perubahan dalam demografi komunitas dan imigrasi massal ke daerah di Timur Tengah, terutama Siria, ke Amerika Utara dan Selatan, ke berbagai daerah di Eropa, dan juga ke Australia.
Di tengah2 semua kesulitan2 ini, Gereja menghasilkan beberapa santo/santa yang cemerlang, yang hidup dan hasil karyanya memiliki dampak yang besar, bukan hanya pada tradisi Syriac tapi juga pada kekristenan. Warisan liturgi yang kaya dari Gereja Orthodox Syriac merupakan warisan terbesar mereka. Cendekiawan Gereja seperti Mor Ya’qub dari Edessa, George uskup dari Arabians, dan Moses Bar Kepha memainkan peranan penting dalam meneruskan pengetahuan Yunani mereka kepada dunia Arab. Banyak penulis Orthodox Syriac juga mencatat berbagai catatan sejarah penting. Di antaranya adalah ”Sejarah Gereja” oleh Yohanes dari Efesus, Kisah Jacob dari Edessa, Kisah Zuqnin (yg salah-kaprah diasosiasikan dengan Patriakh Dionysius dari Tel-Mahre), Kisah Patriakh Mihayel Rebo, Kronologis dan Sejarah Gereja Maphryono Gregorius Bar ’Ebroyo.
Banyak peristiwa2 sejarah yang dicatat dalam bahasa Inggris ditulis oleh penulis2 yang dari Gereja Katolik dan Gereja Inggris (i.e. Anglican). Meskipun banyak dari karya tulis ini memberikan informasi yang mudah dipahami bagi pembaca berbahasa Inggris, tapi kerancuan denominasi banyak ditemukan dalam tulisan2 ini.
Berikut ini adalah adalah referensi2 berbahasa Inggris yang ditulis oleh Kepatriakhan Orthodox Syriac dari Antiokia.
(terjemahan bebas dari:
http://sor.cua.edu/History/index.htmlOleh Jenova, 02/08/2012)