Ha ha ha ha, apa yang bisa saya curhatkan? Karena dalam banyak hal saya biasanya sudah menyampaikan peristiwa peristiwa yang saya alami.
Tetapi, saya coba, sesuai dengan apa yang saya tulis di atas.
Saya dilahirkan bukan dari keluarga kaya. Saya merupakan putra pertama dari tiga adik saya (dua laki dan satu perempuan). Masa kecil saya bukanlah masa kecil yang penuh suka cita, karena walaupun orang tua memperhatikan kami, tetapi disiplin ayah dan ibu kepada kami, terutama kepada saya sangat keras. Kalau saya melakukan kesalahan atau kenakalan, hukuman yang diberikan bukan hanya verbal, tetapi sudah termasuk hukuman fisik, bisa tamparan, pukulan, dan sering dengan rotan. Sistem hukuman fisik, saya akui merenggangkan hubungan antara anak anak dan orang tua, walau tidak membuat anak anak, terutama saya, membenci orang tua.
Dalam hal mainan, saya sangat beruntung, karena dulu ayah saya mengirim berbagai mainan kepada paman saya di luar kota. Sehingga saya selalu mendapat mainan yang sangat bagus bagus. Bahkan tergolong mewah bagi anak anak saat itu. Kebiasaan saya dalam merawat dan menyimpan mainan ini hancur berantakan ketika adik adik saya mulai bisa ikut bermain. Sebagian besar mainan itu mulai rusak satu persatu ketika dimainkan oleh adik saya. Padahal, jenis mainan itu sekarang ini merupakan collection items. he he he.
Saat ayah saya keluar dari pekerjaannya, kami memiliki toko yang menjual berbagai macam makanan. Diawali oleh ibu saya, yang orangtuanya memiliki restoran di Jawa Timur, maka kami membuat semacam warung makan jawa timur, gagal. Diganti dengan berdagang berbagai makanan kaleng, dan terkena penggusuran. Ukuran toko dari 3 X 8 meter, dipotong menjadi 3 X 4 meter, dan dipotong lagi menjadi 3 X 1.5 meter ! Sehingga seluruh dagangan harus dijual dengan beratapkan tenda. Dan seperti juga yang terjadi pada pedagang kaki lima, karena kami dianggap melanggar, karena berdagang menggunakan tenda. Setiap saat satpol PP merazia, dagangan kami diobrak abrik, kadang dengan tendangan dan merusak dagangan kami. Tetapi, karena itulah satu satunya sumber penghasilan kami, kami tetap harus berdagang. Hingga akhirnya kami berhasil menyewa toko yang cukup baik di daerah yang tergolong baik, berukuran 5 X 10 meter.
Satu hal yang saya selalu lakukan setiap hari sejak kelas 4 SD adalah membantu di toko kecil kami itu. Setiap pulang sekolah, masih bercelana pendek, melepas baju seragam, dan hanya mengenakan kaus, saya menggantikan ayah saya, agar ayah saya bisa beristirahat siang, dan sore hari saat ayah saya kembali, barulah saya pulang untuk mandi, istirahat, membuat PR, ataupun belajar. Bermain ke luar? Jarang, walaupun saya bisa juga terkadang bersepeda ke tempat teman dan bermain di rumahnya seharian. Kebiasaan menggantikan menjaga toko ini tetap saya lakukan hingga saat saya kuliah, dan baru terpaksa saya hentikan ketika saya mulai bekerja. Saya bekerja saat baru lulus sarjana muda, dan saya tetap melanjutkan kuliah sambil bekerja.
Seperti saya kisahkan di atas, saat kami pindah toko, dan toko kami dirobohkan oleh buldozer oleh satpol PP, kami pindah ke toko yang baru di daerah yang lumayan jauh dari rumah kami. Sehigga kami tidak bisa berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Nah, disaat ekonomi kami baru mulai beranjak membaik, adik perempuan saya satu satunya, terkena leukemia. Dan hanya bertahan 5 bulan sejak dinaytakan mengidap penyakit itu oleh dokter. Hal ini, selain memukul ekonomi keluarga kami, juga sangat membuat ayah dan ibu kami sangat berduka. Saat itu saya duduk di kelas 2 SMP.
Satu hal yang sangat saya syukuri adalah kemampuan saya dalam pelajaran sekolah. Saya tidak pernah berada pada ranking lebih buruk dari 4. Biasanya ranking 1 atau 2. Sehingga, walaupun di lingkungan teman teman, ekonomi saya termasuk kelas buruk (saya akui masih ada yang lebih buruk dari ekonomi kami), pergaulan saya tidak diasingkan oleh teman teman, karena saya selalu berada pada golongan elite dalam nilai. Dan kemampuan saya dalam menggambar, selalu terbaik sejak SMP hingga SMA, baik gambar bebas (termasuk cat minyak) hingga gambar teknik.
Mengenai gadget, walaupun keluarga kami tidak tergolong kaya, tetapi percayakah kalau kami telah memiliki televisi sejak TVRI belum mengudara? Ha ah ha, jadi saat TVRI mengawali siarannya yang pertama, ortu saya termasuk yang menyaksikannya di saat awal itu. Saya masih ingat kalau malam minggu tetangga berkumpul di rumah kami untuk menonton film akhir pekan. Saat itu masih jarang yang memiliki pesawat televisi. Tetapi, hingga era televisi berwarna, kami masih tetap menonton pesawat televisi kami yang 17 inchi dan hitam putih itu. Baru belakangan saat semua orang sudah menonton televisi berwarna, barulah kami memiliki televisi berwarna. Begitu juga dengan radio, ayah kami memiliki raio merek philips yang di bagian atasnya bisa dibuka dan menjadi alat pemutar piringan hitam. Itu bertahan terus hingga kemudian kami, tepatnya saya, minta diganti tape dengan amplifier dan speaker, he he he. Camera, saya termasuk yang paling awal menggunakan camera, mulai dari camera merk Mocba 5 ayah saya, yang hingga sekarang masih saya simpan. dan camera jenis prosumer merk fujica, camera slr fujica, hingga terakhir camera semi pro merk canon. Jadi, diantara kawan kawan SMP higga SMA, saya selalu populer karena termasuk yang mahir memotret.
Kira kira seperti itu untuk sementara ini, apa yang bisa saya sampaikan.
Dari kisah saya, bagi sebagian orang tentu tidak bisa melihat hal hal yang bisa disyukuri. Tetapi bagi saya, saya bisa melihat dan merasakan hal hal yang patut saya syukuri.
Karena, Tuhan memang tidak pernah menjanjikan hidup penuh sukacita tanpa duka bagi kita, tetapi Dia menjanjikan penyertaan pada setiap langkah hidup kita, terutama pada saat saat tersulit.
Syaom