@bruceKisah di Alkitab adalah kisah yang memang ada agar kita percaya. Pahami dulu itu, bro. Jadi menggunakan kisah di Alkitab untuk menggambarkan kehidupan nyata kita, bukan tidak boleh, tetapi kurang real.
Kemudian, silahkan kembali ke dunia nyata.
Coba anda gambarkan bagaimana 'prosesnya' seorang yang tidak tahu dan tidak percaya kepada Kristus bisa mengawalinya dengan iman? Itu saja yang saya harapkan anda kisahkan, atau sampaikan pada kami.
Bro bruce, terus terang saya kaget membaca respon bro bruce tsb. Mengapa bro bruce berkata seperti itu? Sewaktu saya membacanya saya merasa seolah-olah bro bruce sedang mengatakan bahwa kisah Lazarus dan Saulus tidak nyata. Mudah-mudahan perasaan saya ini keliru.
Tapi baiklah, saya coba membuat gambaran dari dunia yang dapat bro bruce terima sebagai “nyata”. Untuk itu, saya quote langsung cerita yang dibuat bro bruce di depan.
Seorang nonKristen melihat temannya yang Kristen selalu bersikap santun, menjauhi maksiat, tidak pernah berkata kasar, rajin dan kelihatan selalu damai. Ia kemudian bertanya apa yang diajar dalam agama Kristen, siapa yang disembah, dsb. Si teman Kristen bercerita panjang lebar tentang agamanya. Si nonKristen tertarik, dan mau ikut katekisasi, selanjutnya imannya mulai tumbuh, setelah imannya tumbuh, ia semakin tertarik untuk belajar lebh banyak tentang Kristen, dst.....
Bagaimana saya menjelaskan “proses keselamatan” yang terjadi pada tokoh kita yg non-Kristen di atas dari perspektif pemahaman saya?
Pertama: Tokoh kita tertarik akan buah-buah dari keimanan temannya yg adalah orang Kristen (sopan santun, menjauhi maksiat, tutur kata lemah lembut, rajin, damai, dll). Namun, kita tahu bahwa buah-buah tsb tidak eksklusif Kristen karena buah-buah semacam itu juga dapat dihasilkan oleh orang-orang non-Kristen. Tapi, tokoh kita tidak tertarik dengan yang non-Kristen itu.
Kedua: tokoh kita bertanya perihal agama Kristen. Di tahap ini saya melihat realita dari pekerjaan Allah, yaitu menarik orang untuk datang kepada Yesus (Yoh 6:44). Tokoh kita ditarik oleh Allah sehingga ia terdorong untuk bertanya-tanya perihal agama Kristen, bukan agama lain yang notabene juga menghasilkan buah-buah seperti di atas.
Ketiga: tokoh kita tertarik dan mau ikut katekisasi hingga imannya pun tumbuh. Sekali lagi saya melihat bagaimana Allah menariknya untuk semakin lebih dekat kepada Yesus, bukan kepada yang lain. Mengapa? Karena setelah dia diberi informasi oleh teman Kristennya perihal kekristenan, ia percaya bahwa temannya itu tidak sedang memberinya cerita fiksi. Bayangkan ketika temannya bercerita ttg Yesus yang adalah manusia dan Allah. Bayangkan ketika temannya bercerita ttg Yesus yang mati dan bangkit dan naik surga. Ada kemungkinan besar tokoh kita menertawakan cerita-cerita semacam itu dan menganggap orang Kristen itu gila. Lagipula, bila ketertarikannya hanya sebatas pada buah-buah seperti di atas, tokoh kita punya lebih banyak alasan untuk mempertimbangkan agama lain (lebih “real”, tidak ”fantastis”, tidak “problematis”, dst, dst). Namun, alasan-alasan itu adalah alasan2 daging, sementara ketertarikan tokoh kita bukan ketertarikan daging, melainkan ketertarikan roh. Ini saya lihat sebagai proses kelahiran kembali seperti yg diceritakan Yesus kepada Nikodemus. Ketertarikan daging dilahirkan dari daging (kehendak manusia, pemikiran manusia,...), tetapi ketertarikan roh dilahirkan dari Roh (Allah).
Begitu cara saya menggambarkan bagaimana orang non-Kristen bisa beriman. Tidak ada peran kehendak di situ karena ini memang bukan “wilayah kerja” kehendak, melainkan “wilayah kerja” percaya. Dan, tokoh kita percaya karena Allah menariknya.
@phooeyKalau Allah memang kasih dan pilihannya hanya keselamatan, mengapa harus ada pilihan kejatuhan manusia.
Apakah Allah tidak berdaulat dan kasihnya tidak sempurna sehingga ada pilihan bagi manusia untuk taat atau jatuh?
Saya harus berterimakasih pada bro phooey karena telah mendorong saya untuk menggumuli keimanan saya pada aspek-aspek yg lebih luas lagi. Kalo bro phooey nggak pernah tanya ttg hal ini, mungkin hal ini nggak akan pernah kepikiran oleh saya.
Kalau Allah itu Kasih, mengapa Allah membiarkan Adam dan Hawa memutuskan sendiri untuk mentaati atau melanggar laranganNya? Jawab saya:
karena Allah menciptakan dan memperlakukan Adam dan Hawa sebagai mahluk yg berkehendak. Itu tidak bertentangan dengan sifat Allah yang adalah Kasih, kan?
Allah memang membiarkan Adam dan Hawa menghendaki dosa, tapi Allah tidak membiarkan dosa memusnahkan mereka dan keturunannya (manusia). Di sini Allah mengekspresikan kedaulatanNya sebagai Allah. Allah menginterferensi tuntutan dosa. Atas tuntutan dosa, Adam dan Hawa seharusnya musnah pada saat itu juga. Tapi Allah, atas kedaulatanNya, menyelamatkan mereka dari tuntutan dosa itu (Allah tidak langsung mengutuk mereka, melainkan mengutuk tanah). Allah, atas kedaulatanNya, mau memperbaiki mereka yang sudah rusak oleh dosa karena salah memakai kehendak. Caranya? Dengan proyek besar Yesus Kristus.
Setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa dan semua manusia keturunan mereka mati (secara daging dan rohani). Seharusnya sih musnah, tapi karena Allah kasihan, mereka masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup di bumi beberapa waktu lamanya. Namun, secara rohani, mereka sudah menjadi budak dosa. Pola pikir dan pola kehendak mereka diperbudak oleh dosa.
Nah,
karena tahu bahwa manusia dalam kondisi seperti itu, maka Allah tidak melakukan tawaran keselamatan/ketidakselamatan. Jadi, ada perbedaan antara apa yang Allah lakukan pada manusia sebelum jatuh dalam dosa, dan apa yg Allah lakukan pada manusia setelah jatuh dama dosa. Sebenarnya ini sudah saya terangkan di post saya yang panjang itu ketika saya berbicara soal Saulus.
(Joh 11:25-27 ITB)
Kalau memang tidak ada pilihan, mengapa Allah selalu berdialog dengan manusia yang menekankan "percayalah".
25 Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,
26 dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?"
27 Jawab Marta: "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia."
(Act 9:4-6 ITB)
4 Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?"
5 Jawab Saulus: "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu.
6 Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat."
Dalam perenungan saya, pada contoh2 diatas, Allah dengan segala keMaha-kuasaanNya, dalam proses keselamatan tetap melibatkan kehendak bebas manusia.
Saya kok tidak melihat adanya peran kehendak manusia di dua kutipan Alkitab itu, ya?
Di kutipan pertama, Yesus hanya memberi informasi kepada Marta dan bertanya apakah Marta mempercayai informasi tsb.
Di kutipan kedua, Allah juga hanya memberi informasi kepada Saulus ttg siapa diriNya.
Dialog Allah dng manusia dalam dua kutipan tsb juga bukan dialog transaksional (memberikan tawaran), melainkan dialog tanya-jawab.
Lalu, bagaimana bro phooey bisa menyimpulkan bahwa dua kutipan tsb menunjukan adanya peran kehendak manusia?
Saya melihat ada semacam "loncatan" di cara bro phooey mengambil kesimpulan dari dua kutipan tsb. Dan, saya tidak bisa mengelak dari asumsi bahwa "loncatan" itu dilakukan demi mengalkitabiahkan logika filosofi "Kehendak Bebas". Mudah-mudahan asumsi saya keliru. (Sebab, saya rasa, filosofi "Kehendak Bebas" tidak lahir dari pengertian yang benar akan Allah, melainkan dari suatu hasrat primordial manusia untuk jadi Allah).
Salam