Lanjut:
Part II
Penggalian-penggalian arkeologis telah menemukan banyak gereja-gereja milik jemaat Kristiani awal berdampingan dengan sinagoga-sinagoga Yahudi.
(Penggalian di Dura Europos, lihat Jack Finergan - Light from the Ancient Past, Princeton, N.J: Princeton University,1946—403.
Dalam desain dan dekorasi, keduanya mirip satu sama lain. Jemaat Kristen awal mempertahankan kathedra sebagai suatu perabot permanen dalam tempat-tempat ibadah mereka.
(Kemiripan rumah ibadah Kristiani dan Yahudi, lihat Rodney Stark, The Rise of Christianity – San Francisco: HarperCollins,1997—68-69)
Kursi ini diduduki oleh uskup; tahta ini mengungkapkan wewenangnya untuk mengajar, memimpin dan menguduskan. Sepanjang masa para Bapa Gereja—dan malah di seluruh dunia Kristiani—Uskup berkotbah tidak dari mimbar, tetapi dari kathedra-nya; di sana, selama berkotbah, ia tetap duduk. Dalam bahasa Latin ditulis cathedra dan tetap dipertahankan untuk mengungkapkan jabatan uskup dan wewenangnya dan (tentu saja) untuk menyebut gerejanya, yakni katedral, gereja dimana biasanya ia menyampaikan ajaran, kotbah dan berkat liturgis.
(Mengenai kursi kehormatan dalam kedua rumah ibadat: sinagoga dan gereja, lihat Steven J. Schloeder, Architecture in Communion – San Francisco: Ignatius, 1998—86. Lihat juga Louis Bouyer, Liturgy and Architecture – Notre Dame: Notre Dame University Press,1967—25-26, 32-34, 43-45.
Pemahaman Gereja mengenai tugas Uskup sudah mantap sejak masa yang sangat awal. Masa hidup St. Ignatius sebagian bersamaan dengan masa hidup para rasul. Ia adalah pengganti St. Petrus, yang kedua atau yang ketiga sebagai Uskup Anthiokia dan tradisi meyakini bahwa ia adalah muris St. Yohanes Rasul. Karena memiliki hubungan yang begitu dekat dengan para rasul, St. Ignatius merasa wajib menjaga dan membela keluhuran tugas rasuli yang ia emban.
"Hendaknya kita memandang uskup seperti kita memandang Tuhan sendiri” – St. Ignatius, Surat kepada jemaat di Efesus, no. 6
Kalau Uskup berdiri di tempat Tuhan, maka orang-orang Kristiani hendaknya berdiri bersama dia, “karena semua yang menjadi milik Allah dan milik Yesus Kristus juga menjadi milik uskup” – St. Ignatius, Surat kepada jemaat di Filadelfia, no. 3
Di dalam gereja uskup, jemaat berdiri di dekat dia, biasanya di depan kathedra-nya. Pada masa St. Ignatius, uskuplah pelayan yang lazim untuk sakramen-sakramen. Di lingkungan Gereja Anthiokia, para imam (=presbyteroi, Yun; priest, Ing) dan para diakon (=diakonoi, Yun; deacon, Ing) mengemban peran yang menonjol seperti dalam Gereja Perjanjian Baru pada zaman para rasul. Tetapi, kalau para imam dan para diakon itu memimpin perayaan sakramen, mereka selalu bertindak sebagai delegatus/utusan uskup.
“ Dalam kaitan dengan Gereja, janganlah seorangpun melakukan sesuatu tanpa uskup. Suatu perayaan Ekaristi hanya dianggap sah kalau dipimpin oleh uskup atau oleh orang yang diserahi tugas itu oleh uskup. Dimanapun uskup tampil, disana hendaknya berhimpun jemaat – sama seperti dimana Yesus Kristus hadir, disitu hadir juga Gereja Katholik. Tanpa persetujuan uskup, tidaklah sah menyelenggarakan pembaptisan atau agape. Sebaliknya, apapun yang disahkan oleh uskup berkenan pada Allah. “
St. Ignatius, Surat kepada jemaat di Smyrna, no. 8
Sudah menjadi kebiasaan bagi uskup untuk merayakan liturgi Gereja setempat dibantu oleh semua klerusnya, dan dikelilingi oleh jemaat kaum beriman yang sudah dibaptis di kota itu. Perayaan seperti ini, oleh Ignatius disebut “harmoni ilahi.”, sebab di istu tertata rapi ketiga jenjang klerus:
1. “Uskupmu duduk di tahta Allah,
2. dan para imammu duduk di kursi dewan para rasul,
3. didampingi oleh para diakonmu”
Perayaan ini merupakan peristiwa “ilahi”, sebab ia mencerminkan apa yang terjadi di surga. Sudah lama para komentator mencatat kemiripan antara liturgi yang dilukiskan oleh St. Iganatius dan pemandangan yang dilukiskan oleh St. Yohanes Rasul dalam kitab Wahyu. Dalam penglihatan St. Yohanes Rasul, ia menyaksikan dua puluh empat tua-tua (=presbyteroi, priest, imam) berdiri dalam barisan setengah lingkaran mengelilingi tahta Allah, dan bersama mereka bergabung juga banyak makhluk saleh yang melambungkan pujian, “ Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah segala Kuasa”
(Why 4: bk. Dom Gregory Dix, The Shape of the Liturgy—New York: Seabury,1982—28f. Lihat juga Didascalia Apostolorum: “Dan untuk para imam hendaknya disediakan tempat khusus di sisi timur rumah ibadat, dan di tengah mereka hendaknya ditempatkan kursi uskup”. Didascalia Apostolorum dalam bahasa Syria, edisi dan terjemahan A. Voobus—Louvain: CSCO,1979—no. 130-131. Lihat juga Scott Hahn, The Lamb’s Supper—New York: Doubleday,1999. Terjemahan Indonesia: Perjamuan Anak Domba, Malang: Dioma, 2007)
Jadi, sebagaimana Allah memimpin liturgi di surga, dikelilingi oleh para rasul dan para kudusNya, demikian pula uskup memimpini di bumi dengan duduk “di tahta Allah”, dikelilingi oleh para klerus dan jemaatnya.
Bagi St. Ignatius dan St. Yohanes, tidak ada dua liturgi tapi hanya ada satu liturgi. Ini merupakan ajaran penting yang membedakan kekristenan awal dari Yudaisme zaman Bait Allah kedua dan agama Israel awal. Umat Israel kuno memandang liturgi mereka yang di bumi sebagai tiruan liturgi surgawi yang diilhamkan oleh Allah.
Baik Musa maupun Salomo membangun tempat kediaman Allah di bumi—kemah suci dan Bait Allah—seturut pola dasar surgawi yang diwahyukan oleh Allah sendiri (Kel 25:8-9, 1Taw 28:19, Keb9:8). Keyakinan ini diungkapkan oleh para nabi secara mistik, ketika mereka melukiskan bagaimana para malaikat beribadat di tengah nyanyian dan pujian yang terdengar jelas datang dari Bait Allah di Yerusalem (Yes 6:1-7). Madah yang dilambungkan oleh para malaikat adalah nyanyian yang sama yang dilagukan oleh para Lewi di depan ruang mahakudus di bumi. Apa yang dilakukan oleh para imam di ruang mahakudus Bait Allah di bumi adalah tiruan atas apa yang dilakukan oleh para malaikat di surga.
Tetapi, ibadat di bumi itu hanyalah bayangan dari ibadat para malaikat—dan hanyalah bayangan dari ibadat yagn akan disahkan pada zaman Mesias.
Dengan menggunakan tubuh insani, Putra Allah yang kekal telah membawa surga turun ke bumi. Umat Allah tidak lagi beribadat dengan meniru ibadat para malaikat. Dalam liturgi PB, Kristus sendiri yang memimpin liturgi itu, kita tidak hanya meniru para malaikat, tetapi bersama mereka, kita ambil bagian dalam liturgi surgawi.
Inilah yang dilihat St. Ignatius dari kathedra di dalam Gerejanya di Anthiokia dan inilah yang ia lukiskan dalam Surat kepada Jemaat di Magnesia. Dan lebih dari itu, itulah yang dilaksanakan oleh para uskup dewasa ini apabila mereka memimpin dengan duduk “di tahta Allah” dalam liturgi surga dan bumi.
Uskup Agung Wina, Kardinal Christoph Schonborn, menulis: “ Dalam perayaan Ekaristi, surga turun ke bumi, dan Gereja di bumi menengadah, membuka diri kea rah rumah surgawinya”
(Living the Catechism of the Catholic Church, jilid 2: The Sacraments, terjemahan John Saward—San Francisco: Ignatius, 2000—100)