Ini saya tulis untuk memuaskan rasa ingin tahu seorang pasangan diskusi yang cukup hangat, di mana dia menduga orang tua saya adalah penganut Islam. Sebenarnya, di suatu forum, secara garis besar, kisah perjalanan ini sudah pernah saya
posting. Karna masih tetap merasa muda, saya upayakan tidak menyebut tahun.
Saya dilahirkan sebagai anak kedua putra pertama dari enam bersaudara, tiga cap pentung dan tiga cap mangkok. Kami punya empat saudara angkat, tiga cap mangkok dan satu cap pentung. Ayah kami seorang serdadu angkatan darat kroco pilek, hanya berpangkat bintara saat pensiun. Ibu kami adalah ibu RT sejati. Ayah kami semasa tentara aktif, sempat menjadi kepala desa (seperti cita-cita Ebiet G Ade ya?).
Pernikahan orang tua kami diberkati di gereja protestan beraroma kesukuan. Sampai kakak, saya, dan adik perempuan lahir, kami masih beribadat di sana. Ketika berumur 4 tahun, kami pindah. Namanya masih di desa, jarak ke gereja semakin jauh. Ketika saya berusia 5 tahun, ayah kami terpilih menjadi Kepala Desa yang diselenggarakan secara LUBER. Populasi warga desa kami kira-kira 55% Muslim, 40% Kristen (Katolik + Protestan), dan 5% lain-lain (Hindu, Budha, dan Kepercayaan kepada YME).
Kerukunan beragama di desa kami sangat dapat dibanggakan. Tampak pada hari-hari besar perayaan keagamaan, seluruh warga cukup guyub saling bantu. Karena jarak dari rumah ke gereja sekitar 6 km melalui jalan desa tanpa perkerasan, menjadikan malas beribadat. Sampai pada suatu ketika, seorang kandidat yang kalah pada pemilihan Kepala Desa yang lalu, mengerahkan demonstrasi, menuding bahwa Kepala Desa Terpilih (ayah kami) orang Atheis, yang condong ke komunis.
Sapta Marga di dada ayah kami tergetar dituduh Atheis nan condong ke komunis. Karena kakak kami sudah diterima di Katolik (Roma), kami sekeluarga beribadat ke Katolik, meski belum terdaftar sebagai warga Katolik. Pada saat saya berusia 12 tahun, kami sekeluarga resmi dicatat sebagai warga Katolik (Roma), dan tidak melakukan baptisan ulang. Jadi, pada waktu itu, yang dibaptis adalah tiga adik-adik dan seorang saudara angkat.
Karena kekosongan kegiatan keagamaan, saya sempat memperhatikan teman-teman sebaya sehabis ngaji. Ada yang kejar-kejaran, ada yang ngobrol, ada bernyanyi-nyanyi, wah, pokoknya suasananya menyenangkan. Orang-orang dewasa Muslim saya perhatikan cukup teratur menjalankan ibadatnya. Dan sebelum saya mengerti arti
wudhu, saya kira mereka harus mandi lebih dahulu sebelum sembahyang. Kadang, sisi jidat dan rambutnya belum kering sempurna,
sholatnya sudah selesai.
Karena tertarik pada kedisiplinan melakukan
sholat, saya mencoba tanya-tanya bagaimana peribadatan Muslim. Semakin tertarik, ternyata tokoh-tokoh yang dipercayai banyak yang mirip. Abraham mirip Ibrahim. Maria mirip Maryam, Ishak mirip Iskak, dll. Ada niat menganut Islam. Kertika mengajukan keinginan hati ingin ke Islam, orang tua tidak merestui. Jadilah, menjadi warga Katolik (Roma).
Ketika berusia 15 tahun, karena dinilai bandel oleh orang tua, saya 'dipenjarakan' di persekolahan Adventist. Saya diasramakan. Pagi berdoa, kemudian baca Alkitab, selanjutnya mandi, sarapan ke sekolah. Siang berdoa. Sore setelah makan, ibadat penunggu malam. Setelah itu, baca Alkitab lagi, kalau tidak mengerjakan PR. Begitu sehari-hari.
Di sana saya dicekoki dengan 'Daftar Dosa' Katolik, khususnya Roma yang sedang saya anut. Dulu sempat saya lupakan, namun setelah
surfing di dunia maya, saya duga-duga, itulah yang disebut 95 tesis Martin Luther itu. Kepada saya diberitahu
Kitab Imamat yang memuat hewan halal-haram. Juga tentang pengudusan Sabat. Bagaimana ibadat Penunggu Pagi, Penunggu Malam, dll. Saya jadi tertarik, ingin menjadi warga Adventist. Karena Adventist tidak mengakui baptis percik sebagai baptisan Kristus, sekali lagi saya minta pada orang tua agar saya diijinkan menjadi warga Adventist. Ditolak mentah-mentah. "Kalau kamu sudah tidak menetek pada orang tua, kamu merdeka mau pilih agamamu. Selama dengan orang tua, ikuti kami," katanya.
Selama SMA, tidak ada gejolak berarti pada perjalanan keagamaan yang saya anut. Masih tetap rada malas beribadat. Namun, kegiatan organisasi kepemudaan gereja, selalu aktif, banyak ceweknya sih, ya? Selesai SMA, saya harus pindah ke kota untuk bisa kuliah.
Menjalani perkuliahan, saya
in the cost di rumah seorang perwira polisi yang memiliki perpustakaan keluarga. Dari sekian banyak buku koleksinya, ada yang lumayan tebal,
Al Qur'an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama tahun 1966. Minat menganut Islam muncul lagi. Saya baca-baca, weh... tidak tertarik. Penuh dendam, kebencian, kekerasan, dan yang paling membuat saya kecewa adalah Kata Pengantarnya secara terang-terangan mendiskreditkan Kristen, yang disebut Nasrani. Wuh...
mosok agama yang gudangnya kebaikan itu dinodai dengan kebencian dan penghinaan pada kaum lain?
Singkat cerita, saya tetap memilih Katolik karena:
1. Di syahadatnya ada bilang begini, "Saya percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampuna dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal, Amen."
2. Gereja yang garis kepemimpinannya bisa ditelusur sampai kepada Petrus si Kefas itu, sampai ke Tuhan Jesus Kristus.
3. Administrasinya cukup rapih menurut saya, karena tidak dimungkinkan menikah lagi kalau tidak ada surat baptis yang diperbaharui, sementara ketika memperbaharui surat baptis, ketahuan sudah menikah ato belum, sebab dibaharuinya harus di mana pertama sekali didaftar sebagai warga Katolik.
Itulah ringkasnya,
kurang menarik ya? Ini saya ceritakan untuk memuaskan rasa ingin tahu pasangan diskusi itu.