Banyaknya pertanda perestroika dan perubahan politik menandai perjalananku ke Kiev di tahun 1990. Sekalipun demikian, setelah mendengar berbagai kisah penganiayaan terhadap Kekristenan di Uni Sovyet, aku merasa terkejut sekaligus senang mendapatkan sebuah salib kecil dari batu amber yang dijual ditengah kumpulan berbagai souvenir di lobby hotel. Harganya murah, jadi aku membelinya dan menggantungkannya pada kalung emas yang kukenakan. Segera aku melupakan hal itu.
Dua hari kemudian, aku diundang oleh seorang gadis Rusia untuk mengunjungi sebuah biara kecil di dekat situ. Gadis itu ingin belajar bahasa Inggris, dan aku ingin juga sekaligus berjalan-jalan melihat apapun yang bisa kulihat, jadi kamui pergi berdua. Saat itu sudah menjelang sore, dan saat kami masuk ke kapel yang remang-remang, aku mendapati diriku sendirian diantara sejumlah besar ikon, yang dikelilingi oleh bunga-bunga taman dan lilin yang menyala terang.
Segera seorang perempuan tua mendekatiku, seorang biarawati Orthodox bertubuh kecil, yang jelas tinggal disitu. Ia dengan sabar bercerita kepadaku, entah dalam bahasa Russia atau Ukraina. Setiap beberapa kata ia menunjuk ke salib kecil di leherku. Dan tampaknya ia tidak begitu senang dengan hal itu.
Aku menggelengkan kepala. Ia menggelengkan kepalanya, dengan kening yang makin berkerut.
Dengan rasa malu dan menduga jangan-jangan aku, entah dengan cara bagaimana, telah menimbulkan insiden internasional, mencari di tempat itu si “penerjemah”ku. Tentunya ia tidak kutemukan disitu.
Sementara itu, sang biarawati tampaknya mengulang-ulang perkataannya sendiri. Dia tampak sedikit frustrasi. Aku menggelengkan kepalaku lagi dan menaikkan bahuku tanda tak mengerti. Tak dapat kubayangkan apa yang begitu mengganggunya.
Akhirnya, ia menggandeng lenganku melintasi kapel ke sebuah triptych, yang tingginya sekitar 2 kaki (60 cm). Ada Yesus tergantung di salib, dengan Maria Ibu Nya berdiri di sebelah kanan dan Yohanes Pembaptis di sebelah kiri.
Aku melihat ke icon tersebut, pada bunga yang wangi semerbak yang dengan indahnya diletakkan di sampingnya, dan ke lilin-lilin yang mewakili doa orang beriman. Segera aku mengerti. Biarawati tua itu – yang, sudah setua itu, telah bertahan selama 70 tahun hidup dalam pemerintahan ateisme Soviet – tidak ingin melihatku memakai salib itu tanpa mengerti dengan jelas maknanya. Icon tersebut, baginya, adalah sekilas pandangan kepada realitas pengorbanan Kristus bagi dosa manusia. Anak Allah telah menderita dan mati baginya, bagiku, dan bagi seluruh dunia. Mengertikah aku akan hal itu?
Sebelumnya, sepanjang jalan menuju kapel, aku telah belajar mengatakan “Yesus hidup” dalam bahasa Rusia. Aku mengangguk, meletakkan tangan di dadaku, dan membisikkan kata-kata dalam bahasa Rusia itu: “Yesus Zhiv”
Untuk pertama kalinya, senyuman merekah di wajah biarawati itu. Ia mengangguk, menggenggam kedua tanganku dan meremasnya pelahan, dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata, merasa puas karena aku cukup mengerti tentang Injil untuk mengenakan sebuah salib kecil di leherku.
Windows to Heaven
Elizabeth Zelensky & Lela Gilbert