memang segala peraturan manusia yang bagaiman sempurnanya sekalipun , akan mempunyai sisi positif dan sisi negatifnya, punya nilai plus dan punya nilai minusnya , dan itu semua juga sangat relatif tergantaung dari sudut mana menilainya atau kepada mana pandangan seseorang berpihak.
Contoh tentang "Selibat" mungkin baik untuk melayani Tuhan dan perlayanan
karena akan terfokus kesitu tanpa harus memikirkan bagaimana makan anak -istri dan kasih perhatian keluarga.
tapi bagaimana pandangan dari keluarganya sendiri ???
dan kalau saja semua orang melakukan Selibat maka akan punahlah manusia dan akan punahlah umat katholik, akan punahlah orang yang dilayani dan yang melayani dan berahirlah perlayanan itu sendiri.
Tuhan Yesus Memberkati
Han
Dear om Han,
Setuju dengan poin selibat untuk biarawan dan perbedaannya dengan keluarga..
Adapun sebenarnya berkeluarga adalah salah satu bentuk panggilan...
Membiara selibat, Awam yang membiara, Volunteer (biasanya tinggal seperti di suatu 'center'.. mereka jadi seperti tinggal di komunitas rohani dengan keluarganya dan melakukan pelayanan full-time), Awam sekuler yang berkeluarga dan melayani maupun yang sebagai umat biasa.. semuanya itu adalah panggilan dan pilihan...
dan semuanya tentu saling melengkapi apabila dilihat dari gambaran besarnya...
Konteks "pelayan" dalam Gereja Katolik itu dan kaitannya dengan panggilan hidup sungguh lebih kaya daripada hanya membiara selibat (yang sering terlihat)...
Pelayanan kepada Gereja dan komunitasnya diharapkan tidak berarti mengesampingkan keluarga dan peran utama di masyarakat...
karena bekerja dan berkeluarga termasuk sebagai pelayanan juga..semua untuk kemuliaan Tuhan..
Jujur saya pastinya tidak memahami apa sih sebenarnya inti masalah kenapa pelayanan di sisi tante itu seakan lebih diberatkan yang terlihat dari sisi om Han
Itu another thing yang perlu dikontemplasikan lebih lanjut oleh om dan tante..
Saya sharing apa yang saya alami saja ya.. Biar lebih fair dalam hal penilaian
Pada awal2 saya kenal pelayanan pun juga menggebu-gebu... Hal lain di luar pelayanan itu seakan kalah prioritas lah...
Dan itu terjadi ketika saya di masa SMA dulu. Mari bayangkan di posisi tersebut. Seorang anak SMA yang seharusnya tugas utamanya belajar malah "kecanduan" pelayanan. Anak SMA yang seharusnya mulai menunjukkan bakti kepada keluarga sebagai pribadi yang mulai belajar dewasa, malah ya "kecanduan" tadi itu om.. Untung nilai termasuk ya amanlah untuk menggapai predikat lulus.. namun sempat turun karena kecanduan itu.. hubungan dengan keluarga juga ya dibilang so far so good... alias kalau acara keluarga yang saya nilai kurang penting/ ga asik untuk anak SMA, akan kalah prioritas dengan pelayanan... Dan pelayanan jaman SMA itu sudah mulai ada komitmen yang harus saya ucapkan dan diperbaharui setiap tahunnya (selalu diawali dengan rekoleksi dan konseling dgn pelayan senior yang biasanya volunteer; sebelum pengucapan komitmen)... Dan nilai rapot itu juga dipantau terus, bisa dikatakan mereka berperan seperti kakak dalam rohani..
Di tahun kedua tepat ketika nilai saya turun, seorang pelayan senior yang membimbing saya memberikan konseling sebelum tanggal pengucapan pembaharuan komitmen..
Intinya dia bertanya bagaimana sekolah dan keluarga ? Kenapa nilai saya menurun ? Bagaimana dengan keharmonisan di rumah ?
Selanjutnya dia bertanya apa sih motivasi saya melayani ? Apa karena saya lebih mencari perhatian/pujian/pengakuan di pelayanan (waktu itu saya melayani di multimedia) ? Apa karena saya bete dengan kondisi keluarga ?
Setelah itu saya diberi waktu 3 hari sebelum pembaharuan janji.. Untuk berpikir apakah motivasi saya melayani sudah murni sehingga saya lanjut atau tidak memperbaharui komitmen..
Waktu itu,saya hampir berhenti dan berkeinginan mundur sebagai pelayan siswa.
Setelah doa dan merenung, ternyata ada loh motivasi tidak murni dalam diri saya.. Ya saya senang diperhatikan,dipuji, diakui keahlian saya selama saya melayani.. Dulu,saya senang dipandang orang...Di sisi lainnya, yang namanya anak remaja ya mostly harusnya merasakan bete ya ketika orangtua mulai menasehati poin A sampai Z yang sebetulnya untuk kebaikan saya sendiri.. motivasi saya belum sepenuhnya karena saya mau melayani Tuhan..
Di hari ketika saya janjian dengan pelayan senior tersebut untuk konseling ulang... Saya utarakan apa yang saya kontemplasikan dan refleksikan.. Pelayan senior tsb memberikan 2 saran sbb :
1. Tidak memperbaharui komitmen, totally stop
2. Saya lanjut perbaharui komitmen TAPI harus mau memurnikan motivasi saya melayani ;dengan cara mencoba memperbaiki arah pelayanan ya untuk Tuhan, bukan untuk saya (bila untuk saya, itu namanya saya mencuri kemuliaan Tuhan)...di lain pihak, saya harus mau belajar dan berusaha memperbaiki hubungan yang agak jauh dengan keluarga.. Pelayan senior tsb sampai memberikan urutan prioritas : 1. Tuhan (doa pribadi + misa) , 2.Keluarga, 3.Sekolah, 4.Pelayanan
...dan saya mengambil pilihan ke 2.. apa yang terjadi ?secara frekuensi pelayanan di komunitas memang berkurang.. saya balik.. saya pasti datang ke acara pelayanan di mana memang ada tanggungjawab yang berani saya ambil (contoh : panitia event) ... dan saya mulai membatasi tanggungjawab itu..
Saya mulai serius belajar.. dan memperbaiki hubungan di keluarga.. ke Gereja mulai bareng keluarga... Pertemuan keluarga besar mulai sering saya ikuti..
Secara tidak sadar, pelan-pelan memang orang lain memuliakan Tuhan secara tidak langsung.. orang melihat cara hidup yang saya lakukan... ya ga perfect2 banget sih om.. ga langsung jadi ada lingkaran suci gitu di atas kepala
Dalam 2 tahun berikutnya, saya mendapatkan berkat melimpah dari sisi hardskill , kehidupan sekolah, maupun keluarga.. orangtua mulai rela membiarkan saya pergi pelayanan, bahkan di tahun terakhir mulai mendukung..
...Sejak saat itu, dalam setiap pelayanan di komunitas yang Tuhan utus.. motivasi saya hanya satu.. biarkan orang lain memuliakan dan memuji Tuhan dengan mulut, pikiran, dan hati mereka. Jangan sampai yang dipuji ketika melayani adalah saya..
Itu om Han.. yang saya maksud... komitmen membutuhkan prioritas seperti halnya pelayanan pasti membutuhkan pengorbanan... Pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan diri sendiri, bukan mengorbankan pihak lain.
Contoh kaitan komitmen, prioritas, pelayanan, dan pengorbanan :
Ketika Sabtu saya mempunyai waktu kosong untuk berleha-leha di dalam kamar dan saya dalam kondisi fit (tidak sakit).. Saya lebih memilih untuk datang ke pertemuan doa..
Akan beda ceritanya bila pada Sabtu tertentu tiba-tiba ada acara keluarga besar atau fisik saya drop... Pertemuan doa akan turun prioritasnya (saya akan datang ke acara keluarga besar atau beristirahat di rumah untuk pemulihan kesehatan)...
Tuhan memberkati juga