nah, poinnya di sini, Mas.
Katolik --> mengakui penafsiran Magisterium sebagai acuan
Protestan --> memandang Magisterium tetaplah kumpulan manusia yang bisa salah dalam menafsir. jadi mereka tetap berhimpun untuk saling berbagi dan menguatkan
sampai kapanpun tetap saja tidak ada kata sepakat..
Benar juga.
Sebagai tambahan bahan pemikiran. Pada saat Jesus Kristus masih bersama para muridNya, dalam kondisi sudah ada pengikut selain yang 12 orang itu, sudah ada simpatisan yang kadang ikut ngumpul kadang bolos, ternyata kewenangan mengajar tidak disampaikan kepada seluruhnya (murid + pengikut + simpatisan). Kewenangan mengajar disampaikan kepada muridNya saja. Dan kepada seorang dari murid tersebut diperintahkan, "Gembalakanlah domba-dombaKu".
Nah, menurut pemahaman saya, jika kumpulan orang yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus, ternyata mengabaikan fakta penyampaian kewenangan mengajar tersebut, lhaaa... benar akan terjadi ketidaksepakatan yang permanen. Sebaliknya, jika masing-masing menyadari fakta penyampaian kewenangan mengajar tersebut disampaikan kepada kalangan terbatas saja, saya pikir, idealnya, ada kata sepakat. Meskipun pikiran individual tidak akan teradopsi 100%, namun dalam batas-batas toleransi akan diupayakan diadopsi.
Menurut hemat saya, justru masalahnya terpulang kepada ego masing-masing. Si terpilih sebagai bahagian dari Magisterium tidak mau kompromi, sementara yang tidak terpilih sebagai bahagian dari Megisterium memandang si terpilih 'kurang pas' karena berbagai alasan, maka akan timbul penolakan atas kepemimpinan si terpilih. Sepanjang penolakan tersebut tidak digalang dengan menularkan kepenolakan tersebut kepada individu lain, saya pikir akan damai saja. Tetapi jika semangat kepenolakan tersebut, karena egoisme pribadi, digalang dengan mencoba menularkannya kepada individu lain, maka akan terbentuk kelompok oposisi. Jadilah, ketidaksepakatan akan permanen sampai akhir jaman.
Nah, bagi kita, yang hidup di saat sekarang ini, dimana arus informasi sudah sedemikian lancarnya, menurut saya dapat menimbang-nimbang, dengan membandingkan dengan acuan yang ada, bisa memilih alur pikir mana yang paling obyektif. Karena sejak semula kita dicipta bebas, saat ini pun kita merdeka menentukan pilihan.
Damai, damai, damai.