Kalau gitu tolong dijabarkan di sini hukum syariat untuk kasus perkosaan.
Bagaimana caranya seseorang wanita melaporkan dirinya telah diperkosa.
Umpamanya indonesia berlaku hukum syariat.
Nurlela adik anda yg perempuan berumur 10 tahun diperkosa oleh seseorang lelaki tetangga sebelah
Ngga ada yg melihat tindak perkosaan itu.
Lalu si nurlela dibawa ke dokter untuk mendapat visum
Bagaimana si nurlela mendapat keadilan?
sayangnya contoh kasus saya merasa KEBERATAN jika dianalogikan dengan kerabat saya, maka saya akan menghilangkan Subjeknya saja hanya menjadi "NURLELA".
penanganan Kasus Kejahatan seperti contoh perkosaan hampir sama dengan UU yang sekarang, Korban melaporkan kepada mahkamah Syariah yang lalu diadakan penyelidikan dengan mengadakan PERSIDANGAN, dalam persidangan Syariah semua bukti tetap bisa dipakai sebagai alat bukti yang dianggap sah.
Visum dokter
saksi pelapor
saksi lain (yang menyaksikan, yang mendengar, yang mengetahui, dll)
kesaksian terduga
dst sehingga penyelidikan selesai
setelah pertimbangan tersebut barulah menuju kepada keputusan hakim dimana hakim juga memutuskan sesuai dengan dari hasil penyelidikan. ketika hasil memutuskan bahwa pelaku sacar meyakinkan bersalah maka dijatuhi hukuman sesuai syariat islam.
Perkosaan tidaklah sama dengan perzinahan, meski kedua-duanya mempunyai konsekwensi
yang sama di dalam adanya hukuman bagi pelakunya. Perkosaan pastilah harus lebih berat
hukumanya karena dalam perkosaan ada tindak kekerasan, pemaksaan yang disertai
ancaman sekaligus perzinahan itu sendiri. Syariat Islam membagi kejahatan dalam tiga bentuk:
qishas, hudud dan ta`zir. Qishas merupakan pembalasan setimpal terhadap kejahatan
pembunuhan, penganiayaan dan usaha melukai dengan sengaja. Hudud adalah kejahatan
yang jenis pelanggaran dan hukumannya ditentukan oleh wahyu Allah Swt. Sedangkan ta’zir
merupakan hukuman terhadap suatu kejahatan tertentu yang bentuk dan jenisnya diserahkan
pada pertimbangan hakim. Berdasarkan konsep ini ulama fiqh sepakat bahwa pelaku
pemerkosaan dan kekerasan dikenakan hukuman ganda; pertama, hukuman atas perzinahan
yaitu cambukan 100 kali atau dirajam dihadapan umum. Kedua, hukuman atas penganiayaan
atau qishas, dibalas sebanding atas perbuatanya.
Pada masa Nabi, pernah terjadi peristiwa perkosaan sebagaimana dipaparkan oleh riwayat
hadits Imam Turmudzi dan Abu Dawud, dari sohabat Wail bin Hujr ra:
“Dari Wail bin Hajar berkata: “Bahwa ada seorang perempuan yang diperkosa pada masa
Rasulullah Saw, maka ia dilepas dari ancaman hukuman perzinahan, sementara pelakunya
dikenakan hukuman had. Atturmudzi berkata: Hal ini diamalkan para ulama dari sahabat Nabi
Saw dan lainnya, bahwa perempuan diperkosa tidak dikenai had.”
(HR. Imam At-Turmudzi)
Sejatinya teks hadits di atas mendiskripkan sebuah perlindungan kepada korban dalam bentuk
pembebasan hukuman sebagai orang yang dipaksa melakukan tindak kejahatan. Sementara
pelaku tidak bisa lepas dari jerat hukum. Dalam fiqh, korban tidaklah dikenai hukum dosa dan
sanksi perzinahan, karena ia sebagai mukroh (yang dipaksa). Ini sejalan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dari Abu Dzar Al-Ghiffari Ra, berkata bahwa Rasulullah
bersabda; ”Sesungguhnya Allah mengangkat dari umat ini (dosa dan tuntutan hukum) karena
tiga hal, ketidaksengajaan, lupa, dan karena dipaksa orang lain” (Hadits Riwayat Ibnu Majah).
Di lingkungan keagamaan, saatnya menciptakan fiqh yang berorientasi keadilan dan
pembelaan terhadap korban, dalam hal ini adalah perempuan. Paradigma yang tidak
menyudutkan perempuan dan menganggap sensualitas perempuan seba-gai sumber terjadinya
perkosaan. Dalam tataran ini apabila telah terbentuk paradigma baru dalam masyarakat, maka diharapkan korban berani mengadukan kasusnya, juga ibu-ibu tidak lagi ragu di dalam menjerat
pelaku inses atau perkosaan dibawah umur. Di samping itu, madrasah, sekolah hingga halaqoh
turut serta memberi nuansa kajian fiqh yang memunculkan etika perlindungan, pelayanan dan
pendampingan terhadap semua tindak kekerasan.
Ketika adanya keterpaduan penanganan perkosaan ditingkat aparat, korban, ahli-ahli
keagamaan serta masyarakat setempat, bukan tidak mustahil apa yang kita harapkan dapat
terwujud, yaitu minimnya angka–angka perkosaan dalam statistik dan adanya penghormatan
terhadap perempuan bukan lagi sebatas impian.
di sini:
Hukum negara melanggar salah satu hukum agama yg dianut warga negaranya.
Analogi biar jelas:
Hukum sebuahy negara X :Setiap orang yg korupsi harus di hukum mati.
Hukum agama A di negara X: setiap orang, yang bersalah sekalipun wajib mendapatkan kesempatan kedua.
Joni warga negara X dan beragama A bekerja sebagai Hakim.
Suatu saat joni harus menjalankan hukum negara yg BERTENTANGAN dengan hukum agamanya.
mas bro yang namanya hukum Syariat itu, mengikuti Hukum yang di adopsi dari salah satu HUKUM yang ada didunia ini sama ketika kita mengadopsi HUKUM dari kolonial belanda. ketika Hukum tersebut dipakai TIDAK MUSTAHIL bahwa hukum itu akan bertentangan dengan salah satu hukum kelompok lain namun dimanapun HUKUM itu berdiri maka HUKUM tersebut sesuai dengan OBJEK.
kasus hukuman mati yang bertentangan dengan hukum agama tertentu nyatanya anda tidak memprotes pemerintah Indonesia dengan DASAR TERSEBUT?? lalu dengan dasar apa ketika pemeluk agama menjalankan hukum yang bertentangan dengan ajaran agama sang objek kena hukum itu memprotes?? bukankah dalam bermasyarakat maka HUKUM yang dipakai sesuai dengan kesepakatan maka itulah yang diterapkan. jadi ketika Hukum Syariat ditetapkan maka SEMUA warga negara harus tunduk dan patuh kepada hukum tersebut tanpa terkecuali sama seperti yang SEKARANG kita dibawah hukum NKRI.
Potong cerita (sekedar curious).
Apakah menurut anda poligami itu bagus ???
ya tentu saja bagus, dan BAGUS tersebut tentunya dengan melalui standart yang diperbolehkan agar mencapai Tujuan yang tidak menyimpang.