Halo FIKers, saya ingin pendapat teman-teman tentang budaya dan pariwisata dalam kaitannya dengan kekristenan. Memang kita tahu bahwa sejarah kekristenan beberapa menghasilkan budaya dan pariwisata. Misalnya daerah-daerah yang saat ini jadi tempat pilgrimmate bagi kekristenan, bukit kasih, lourdes, dll.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana jika tempat wisata atau budaya itu adalah tradisi pagan, okultisme dan sebagainya. Bagaimana kita menyikapi, seandainya kita menjadi pemimpin atau punya otoritas terhadap keberadaan budaya-budaya tersebut. Kita tahu bahwa kebudayaan-kebudayaan tersebut yang justru menarik para wisatawan untuk berkunjung.
Shalom Aleikhem
Namanya berpendapat, bebas saja, bukan? Mau dianggap benar, ato salah, terserah saja. Menurut saya, begini.
Tanpa disadari, banyak budaya, dimana-mana, sudah diketahui bahwa ternyata ada kekuatan super di luar kekuatan manusia. Pemahaman seperti itu, mendorong manusia mencari bentuk, atau sistem, atau format, atau apapun istilahnya, utnuk sedikit bisa mempengaruhi kekuatan yang super itu, yahh... untung-untung kalao lantas jadi bisa dimintain tolong untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Dengan demikian, pikiran ato pola pikir mengenai 'sesuatu berkekuatan supra natural' itu tertanam atau tersublimasi pada kebudyaan.
Maka, lazim saja apabila menemukan suatu budaya yang menggambarkan pemujaan kepada 'sesutu' yang berkemampuan supra natural, walaupun tidak diketahui namanya. Seperti kepercayaan Yunani yang bahkan memberikan persembahan kepada Dewa Asing, ato Dewan Yang Tidak Dikenal. Hal seperti itu sudah berurat berakar di sanubari manusia, termasuk leluhur Indonesia. Dan ketika membentuk suatu tempat pemujaan, misalnya, maka nilai-nilai budaya untuk menghormati atau memuja kekuatan supra natural itu terbawa, atau tersublimasi pada format peujaan atau ritual budaya.
Nah, setelah datangnya agama, masyarakat domestik menjadi tahu tentang dewa, tentang Sidaharta, tentang Allah, tentang Jesus Kristus. Bagi sebagian masyarakat, mengetahui bahwa kekuatan supra natural yang dikenalnya sebelum kedatangan agama, mungkin itulah yang dikenalkan oleh agama. Dengan demikian, maka sangat dimungkinkan suatu tempat pemujaan, ternyata berasal dari pemujaan sesuai format non agama, dalam arti, mungkin pagan, mungkin baal, mungkin dewa, dll, dll.
Nah, pertanyaan Dantono, tentu yang begitu itu, bukan? Jika pada suatu kurun waktu tertentu, masyarakat (kita) tidak tahu bahwa format dan tempat pemujaan tertentu adalah tempat pemujaan bukan Tuhan (misalkan saja,
gondoruwo). Kalau saya menangkap pertanyaan Dantono, pertanyaannya ialah, bagaimana dengan masyarakat (kita) yang sudah menjadi tahu bahwa tempat pemujaan masyarakat (kita) sekarang ini, adalah trempat pemujaan
gondoruwo?
Menurut saya pribadi, tidak masalah. Sebab, Tuhan adalah maha segalanya, tetapi Tuhan tidak berbuat apa-apa. Sepanjang pada saat ibadah disadari sepenuhnya bahwa yang dipuja adalah Tuhan, menjadi tidak mulus. Kalau tidak salah, Apostel Paulus pernah mengkaitkannya dengan makanan yang sudah dipersembahakan kepada berhala.
Manfaatkan sebaik-baiknya.
Damai, damai, dmai.