O ya, ngomong2 soal anggur yg ga boleh diganti (harus anggur fermentasi asli) utk ekaristi menurut iman katolik dan orthodox, bagaimana jika ada org yg memiliki kelainan medis seperti alergi alkohol?
Ini kasus nyata lho, aku sendiri sebetulnya alergi alkohol, kalo minum 1 teguk minuman beralkohol saja, maka kepala lgsg pusing, kulit jd merah. Kalo dosisnya dinaikkan, bisa2 sekujur tubuh gatal2 semua.
Bagaimana dgn kasus yg lebih extrem, yg ga bs meminum anggur sama sekali, apakah sarana anggur itu boleh dikompromi?
Mumpung ada dua suhu di sini, bro onde ama bro rod, mohon dibahas sekalian dong...
wkwkwkw.. suhu jenova yth,
saya jadi ingat, kemarin saya menemani romo dari pekanbaru untuk menyepuhkan piala tempat hosti dan anggur, juga sibori dan petena nya di yogyakarta.. menyepuhnya menggunakan emas..
lalu saya tanya pada romo, apakah harus pake emas untuk piala? kata romo: "saya sendiri tidak tau kenapa, tapi Itu sudah tradisi dari jaman dulu, Gereja tidak berani merubahnya.. saya kira mungkin masalah kepatutan saja".
nah, kalau tempatnya saja Gereja tidak berani mengganti aturan, apalagi materi intinya? saya kira tidak akan pernah bisa diganti. dan tidak akan ada dispensasi.
kalau seperti kasus yg suhu jeno ungkapkan, maka jika dalam situasi misa umum (hari minggu atau hari raya) tentu saja umat tidak perlu meminum anggur.. umat menerima sakramen ekaristi satu rupa. jadi ga ada masalah kan?
kalau misa khusus, misalnya misa untuk midodareni.. umat dengan alergi alkohol tersebut juga tidak perlu menerima ekaristi dengan dua rupa, toh esensinya sama saja.
artinya, materi misa ridak perlu dikorbankan, karena masih ada solusi yang lebih bijak, yaitu komuni satu rupa.
nah, lain lagi kalau yang alergi itu adalah seorang imam... mungkin saja akan lebih baik orang tersebut tidak menjadi imam deosesan, atau tidak memimpin misa.. menjadi imam biarawan saja, atau menjadi bruder. walaupun kasus ini kayaknya hampir nol.
saya berpendapat kalau anggur dan hosti tak dapat digantikan..,
no compromise..
bahkan setau saya anggurnya pun harus mempunyai standar kualitas tertentu, bukan sekedar anggur merah seperti cap ortu itu..
karena disesuaikan dengan keimanan akan transubstansi, maka kitapun punya norma kelayakan juga terhadap roti dan anggur.
ada share tentang penggunaan roti dan anggur dalam ekaristi,
Pertama, penggunaan roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi adalah untuk mengikuti teladan Kristus ketika melakukan perjamuan malam terakhir. Roti dan anggur inilah yang diubah, melalui perkataan Yesus Kristus dan permohonan kepada Roh Kudus, menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Dalam Perjanjian Lama, roti dan anggur dipersembahkan di antara buah-buah sulung. Roti dan anggur adalah simbol persembahan seluruh ”usaha manusia” yang dikaruniakan Tuhan melalui ”hasil dari bumi” dan ”pokok anggur.” Gereja melihat di dalam tindakan Melkisedek, raja dan imam, yang membawa ”roti dan anggur” (Kej 14:18), satu pratanda persembahannya sendiri (KGK 1333).
Kedua, roti itu sendiri juga sarat akan makna kenangan akan karya Tuhan. Roti yang digunakan adalah roti tak beragi, tanpa campuran apa pun. Karena itu terasa hambar. Roti tak beragi mengingatkan akan peristiwa keluaran dari Mesir (Kel 12:8). Demikian juga roti itu mengarahkan pada kenangan akan manna di padang gurun, yang selalu mengingatkan Israel bahwa ia hidup dari roti Sabda Allah (Ul 8:3). Roti sebagai makanan sehari-hari juga merupakan buah tanah terjanji, tanda jaminan kesetiaan Allah.
Sedangkan anggur adalah minuman untuk hari raya, bukan minuman sehari-hari. Anggur mengingatkan pada kegembiraan pesta anggur pada akhir zaman. Perubahan air menjadi anggur di Kana menunjukkan kemuliaan Yesus. Perjamuan Anak Domba disempurnakan dengan meminum anggur baru, yakni darah Kristus (Mrk 14:25).
Yesus telah menciptakan Ekaristi-Nya dengan memberikan satu arti baru dan definitif kepada pemberkatan roti dan anggur (KGK 1334).
Ketiga, karakter sarat-makna yang diemban oleh roti dan anggur menunjukkan bahwa roti dan anggur tidak bisa disamakan begitu saja dengan makan sehari-hari, yang kemudian disejajarkan dengan ubi dan tuak. Gereja melihat roti dan anggur sebagai bagian dari ”inti dari sakramen” (substantia sacramentis), sehingga Gereja merasa tidak berhak untuk mengubahnya. Gereja mau melanjutkan tradisi yang sudah dilakukan oleh Yesus.
salam hormat suhu...