Sulit diaturSaat saya SMA dulu, selain memiliki anjing campuran gembala jerman seperti kisah di atas, saya pun memiliki beberapa hewan peliharaan lain lagi, ada burung berbagai jenis, dan ada monyet.
Monyet ini diberikan kepada saya oleh seorang teman ayah saya, aslinya adalah jenis monyet ekor panjang. Tetapi ekornya yang panjang sudah dipotong, tersisa sekitar 10 cm saja. Giginyapun sepertinya sudah dikikir, sehingga tidak tajam lagi.
Monyet ini sudah termasuk jinak, tetapi kami rantai juga dengan rantai kecil dan berujung pada sebuah batang besi yang tertanam di luar jendela ruang duduk kami. Kadang saya gemar menyaksikan perilaku monyet ini, cukup menggemaskan. Kadang rantai yang terikat di pinggangnya dipergunakannya sebagai sarana bermain, berayun ayun dengan menjejakkan kakinya ke dinding. Kadang dia duduk di jendela ruang tamu, dan mau di belai belai. Kalau sudah begitu, manjanya keluar, sambil menggumankan sesuatu, dan berbunyi nyem nyem nyem, dengan jarinya yang kecil kecil itu, dia mencari 'kutu' di lengan saya.
Sering pula tanpa sebab, perilakunya menjadi agresif, berteriak teriak dan menyeringai menunjukan giginya. Walau lebih sering monyet lucu ini bersikap tenang. Kacang, dan buah buahan memang menjadi kesukaannya. Saya teringat bagaimana serakahnya si monyet ini, jika diberi kacang, segera dimasukannya ke dalam mulut, diberi lagi, dimasukan lagi, hingga pipinya menggelembung penuh dengan makanan (kacang atau apapun).
Karena tampaknya jinak dan penurut, suatu kali saya ingin membiasakannya untuk tinggal di dalam rumah. Jadi, saya lepas rantai pengikatnya dari batang besi. Dan mengajaknya masuk ke rumah. Kebetulan anjing saya sudah mengenalnya, jadi resiko untuk diterkam bisa dihindari, disamping saya percaya anjing saya patuh pada perintah/larangan kami.
Ketika masuk ke dalam rumah, si monyet itu segera mengamati situasi rumah, mata serta kepalanya berputar kesana kemari, dan mulai menyeringai serta menunjukan giginya kepada anjing saya, yang acuh saja melihat polah si moye ini.
Tiba tiba, tanpa disangka siapapun, si monyet ini melompat ke punggung anjing saya, yang segerea bereaksi membalikan badan hendak menggigit monyet di punggungnya. Belum sempat kami berteriak, si monyet lompat ke atas lemari, lompat ke lampu gantung, dan terus berlompatan serta berteriak teriak mengacaukan seisi rumah. Anjing sayapun mulai merasa bahwa pengacau harus ditaklukan, dan mulai menggonggong serta mengancam.
Untunglah, sebelum semua menjadi berantakan, rantai yang masih terikat di pinggang monyet itu, berhasil dijangkau, dan saya tarik untuk memaksanya turun dari atas lemari. Petualangan monyet liar ini berakhir kembali pada batang besi di luar jendela yang memang menjadi habitatnya selama ini. Dan seminggu kemudian, kami berikan monyet ini kepada kebun binatang.
Satu pelajaran yang saya petik adalah, kadang apa yang kita anggap baik bagi orang lain, belum tentu baik bagi orang itu. Kadang orang yang memang pada dasarnya liar, justru merasa ketertiban tidaklah nyaman. Bagi mereka yang terbiasa liar suasana tertib dan teratur menjadi kungkungan. Bagi mereka yang liar, memang tersedia tempat yang memang lebih cocok baginya, di alam liar.