@hello kitty, bruce, odading, dulmatin oye
Apakah manusia punya peran dalam keselamatannya? Sekarang saya yakin: tidak. Sebab, kondisi manusia setelah jatuh dalam dosa adalah mati, dan tentu saja orang mati tidak bisa apa-apa. Mati di sini boleh diartikan mati secara fisik (biologis) maupun mati secara metafisik (rohani). Secara fisik, manusia lahir, hidup dan ujung-ujungnya mati. Kelahirannya, kehidupannya dengan segala aspirasi, pengalaman, dan suka-dukanya akan ditutup oleh kematian. Secara metafisik, manusia sudah mati karena sudah tidak sesuai lagi dengan rancangan Allah (manusia telah jatuh dalam dosa dan hanya bisa berkubang dalam dosa).
Kisah Lazarus saudara Maria, menurut saya, dapat dilihat sebagai miniatur sejarah kehidupan orang Kristen. Lazarus adalah manusia yang dicintai Allah. Lazarus mati. Namun, karena Allah mencintainya maka Allah membangkitkannya. Dalam proses kebangkitannya, Lazarus tidak berperan apa-apa. Adalah kasih Yesus saja yang berperan, yakni dengan memerintahkan Lazarus untuk keluar dari kuburnya. Lazarus tidak bangkit karena ia memilih untuk bangkit dan Yesus juga tidak memberi sebuah tawaran untuk bangkit atau tidak bangkit.
Ambil contoh lagi: Saulus. Saulus adalah orang Yahudi terpelajar (Farisi) yang terbaik dan tergiat dalam membasmi jemaat Allah. Pada suatu hari, Allah menghampirinya dan pada saat itu juga Saulus diselamatkan. Saulus menjadi buta, tetapi kini ia berdoa kepada Allah yang Benar. Setelah itu, diceritakan bagaimana Allah mengatur pentahbisan Saulus.
Ketika menghampiri Saulus, Allah tidak memberikan tawaran kepada Saulus. Yang diberikan Allah adalah informasi ttg Kebenaran (bahwa Yesus adalah Allah). Setelah mengetahui Kebenaran itu, respon Saulus adalah bertanya ttg apa yang Allah mau ia lakukan, sebuah respon iman/percaya. Jadi, yg terjadi bukan proses pilih-memilih, melainkan dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak percaya menjadi percaya.
Namun, mari kita berandai-andai. Apakah Saulus bisa memilih untuk tidak percaya? Saya yakin tidak. Setelah dihampiri Allah, mustahil bagi Saulus untuk tidak percaya. Mengapa? Karena Kebenaran itu sendiri yang menghampiri Saulus. Ini sudah berbeda dengan apa yang dialami Adam dan Hawa. Kepada Adam dan Hawa, Allah tidak memberikan informasi ttg Kebenaran, seperti yang dilakukanNya kepada Saulus. Kepada Adam dan Hawa, Allah memberikan larangan, dan ini berarti Allah memperlakukan Adam dan Hawa sebagai orang2 yg punya kemampuan atau kehendak untuk memilih. Sementara itu, dengan langsung memberitahukan Kebenaran (bahwa Yesus adalah sebenarnya Allah yang selama ini ia sembah sekaligus yang ia aniaya), Allah memperlakukan Saulus sebagai manusia yang tidak punya kemampuan untuk memilih Kebenaran.Oleh sebab itu, Saulus tidak mungkin tidak percaya karena ia memang tidak punya pilihan lain yang bisa ia percayai sebagai kebenaran.
Lantas, apakah ketika Allah tidak memberikan pilihan kepada Saulus maka itu berarti Allah “memaksa” Saulus? Tidak. Sebab, konsep “memaksa” berlaku ketika obyek yang dipaksa terlebih dahulu menghadapi pilihan-pilihan dan telah menentukan pilihannya. Lalu, ketika pilihannya tidak sesuai dengan kemauan si pemaksa, maka si pemaksa pun memaksa. Nah, bagaimana Allah bisa dikatakan memaksa bila dari awal Allah memang tidak memberikan pilihan?
Allah tidak mungkin memberikan keselamatan sebagai tawaran pilihan karena hal itu bertentangan dng sifat Allah sendiri yang adalah Kasih. Sebab, kalau keselamatan adalah sebuah atwaran pilihan, maka ada dua pilihan keselamatan atau ketidakselamatan. Bagaimana mungkin Allah yang adalah Kasih menawarkan ketidakselamatan?
Kemudian, apakah apabila Allah memberikan keselamatan kepada seseorang bukan sebagai tawaran yang bisa diterima atau ditolak oleh orang tsb maka Allah berarti tidak menunjukan kasihNya kepada orang tsb? Tidak juga. Justru sebaliknya, apabila Allah memberikan keselamatan sebagai tawaran yang bisa ditolak maka Allah tidak menunjukan kesempurnaan dalam KasihNya. Sebab, bukankah Allah tahu apakah seseorang akan menerima atau menolak tawaran tsb? Bila Allah tahu dan Allah membiarkannya, maka Allah telah membiarkan Kesalahan terjadi. Jelas, ini bertentangan dengan sifat Allah. Jadi, ketika keselamatan itu diberikan bukan sebagai tawaran pilihan, maka Allah sedang menunjukan kesempurnaan KasihNya.
Di atas, saya hanya memberikan dua contoh: Lazarus dan Saulus. Tapi, saya yakin, dua contoh itu menjelaskan bagaimana "skenario" keselamatan manusia: Allah mencintai orang-orang yang dicintaiNya dan membenci orang-orang yang dibenciNya. Allah membangkitkan (melahir-barukan) orang-orang yang dicintaiNya sehingga mereka bisa percaya bahwa Yesus adalah Allah dan Juruselamat. Allah memelihara orang-orang yang dicintaiNya (pendampingan Roh Kudus). Allah menjadi Pengacara bagi orang-orang yang dicintaiNya di kala Penghakiman Terakhir. Allah akan berpesta dng orang-orang yang dicintaiNya di Surga untuk selamanya.
Bagaimana dng orang2 yang tidak dicintaiNya? Apakah mungkin bahwa Allah yang adalah Kasih membenci orang-orang?
Pasti mungkin. Dari Alkitab, kita bisa membaca bagaimana Allah mengekspresikan kebencianNya. Persembahan Kain tidak diterima, orang-orang di jaman Nuh ditenggelamkanNya dalam Air Bah, Allah mencintai Yakub (yang penipu dan pengecut) dan membenci Esau, Firaun di jaman Musa dikeraskan hatinya, bangsa Kanaan digempurNya, dst, dst. Bukankah kisah-kisah itu membuktikan bahwa Sang Kasih juga membenci? Dan, bukti yang paling mutakhir Allah yang adalah Kasih menciptakan Neraka.
Secara logis, kita pun tahu bahwa kasih bisa terekspresikan oleh tindakan mengasihi dan membenci. Misal: kalau kita mengasihi Kebenaran maka kita membenci Kelaliman, Allah membenci dosa yang dilakukan Daud sang Biji MataNya, Allah membenci Setan, dst, dst. Jadi, kita jangan sampai keliru: Allah itu Kasih, tapi kasih bukan Allah.
(bersambung di bawah ya....ga cukup nih)