Damai bagimu Budi.
Halo bro husada,
Dari pst bro husada yg di atas, saya menemukan beberapa tanda lagi (yg saya tebali). Tanda-tanda tsb menunjukan otoritas bro husada, yaitu bro husadalah yg membuat semuanya itu sah dan benar.
Sampai sejauh ini, apa yang Budi simpulkan bahwa Husada dengan otoritas yang dimilikinya (menginterpretasi, mengartikan, menerjemahkan atas nats topik) ada benarnya. Sebab, dalam hal itu memang demikianlah pemahaman Husada atas Mat 28:20 itu. Dalam hal itu, Husada tidak memaksudkan untuk mengajar Budi tentang nats itu, melainkan untuk berbagi pengertian. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pengertian seperti yang saya berikan itu masih berbeda dari pengertian yang seharusnya, yaitu pengertian yang diajarkan oleh Jesus Kristus kepada murid perdanaNya.
Kalau Budi mengemukakan pengertian yang Budi peroleh atas nats tersebut, mungkin kita akan dapat mencari perbedaannya. Kalau sudah sama, tidak masalah. Tapi kalau berbeda, maka rujukan yang harus kita ambil ialah pengertian menurut pemegang otoritas mengajar. Mengapa? Karena kepada pemegang otoritas mengajar itulah diberikan oleh Jesus Kristus kompetensi mengajar seluruh apa yang diperintahkan oleh Jesus Kristus. Sepanjang Budi tidak mengemukakan pemahaman yang Budi tarik dari membaca nats tersebut, saya kira, tidak ada masalah.
Di atas, bro husada menunjukan dan menjelaskan Mat 28:20 untuk menunjukan kepada saya bahwa bro husada bukan pemegang otoritas mengajar. Apa yg bro husada lakukan adalah membaca, memikirkan, dan sekarang mengajarkan kepada saya. Bro husada adalah subyek pelaku hal-hal tsb. Bila saya terima/tolak penjelasan bro husada atas Mat 28:20 tsb, maka apa yang saya terima/tolak bukan Mat 28:20 melainkan otoritas bro husada atas Mat 28:20.
Menjadi agak sulit membedakan antara mengajar dan membagikan pengertian, ya? Kalau saya memaknainya, dalam forum begini, tidak dapat dikatakan
mengajar, meskipun substansinya ya mengajar juga. Para partisipan di forum ini, saya pikir, layak dikategorikan sebagai saling mengajar. Tetapi, mengajar secara tidak formal. Paling pas menurut saya, adalah saling berinteraksi.
Tidak ada kekuatan di dunia ini yang bisa menginterupsi hubungan prifat ini (teks dan pembaca).
Saya setuju.
Katakanlah, bro husada kemudian mengatakan bahwa interpretasi di atas sebenarnya didapatkan dari pengajaran suatu gereja/lembaga tertentu.
Tidak. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang saya sampikan itu saya dapat dari Ajaran Gereja, karena seingat saya, Gereja tidak mengajar saya khusus mengenai nats itu. Tetapi, jika diartikan bahwa
saya menarik simpulan seperti itu atas nats itu berlandaskan kepada seluruh ajaran Gereja yang saya terima, MUNGKIN. Jadi, sampainya saya pada pemaknaan seperti itu, tentu karena berlandaskan pada seluruh Ajaran Gereja yang saya terima, meskipun tidak khusus membahas nats tersebut.
Bukankah itu berarti otoritas ada pada gereja tsb? Tidak juga. Otoritas tetap ada pada bro husada sebab supaya dapat diterima dan "tinggal" dalam hati dan pikiran, pengajaran gereja tsb harus di"approve" dulu oleh bro husada sendiri.
Untuk ini, ingin saya beri komentar, Ajaran Gereja yang saya terima sepanjang ini, belum bertentangan dengan apa yang saya simpulkan. Seandainya, sekali lagi seandainya, Ajaran Gereja menyampaikan bahwa pemaknaan nats itu bukan seperti yang saya maknai itu, maka pemaknaan saya harus diafiliasikan ke pemaknaan Gereja, sebab, yang mendapat otoritas mengajar adalah Gereja. Dalam hal itu, bila saya tidak dapat mengafiliasi pemaknaan saya sesuai ke pemaknaan oleh Gereja, maka saya yang harus memisahkan diri dari Gereja. Sebab, Gereja yang diberi kompetensi dan otoritas mengajar oleh Jesus Kristus, tetapi saya membentuk pemaknaan sesuai pemahaman saya, itu artinya bahwa saya tidak menerima Ajaran Gereja, lebih lanjut, saya di luar Gereja.
Kalo nggak di"approve" ya paling cuma masuk ke telinga kiri dan keluar di telinga kanan.
Substansi dari
masuk ke telinga kiri dan keluar di telinga kanan adalah bahwa saya bukan bagian dari Gereja.
Saya tebali kata "wajib" di atas karena di baliknya ada yg "mewajibkan", atau "membuat hal tsb menjadi sebuah kewajiban". Ini sudah merupakan pemaknaan pembaca (bro husada). Jadi, kalo saya terima, apa yang saya terima adalah otoritas bro husada atas teks Mat 28:20 tsb.
Dan saya tidak berharap agar Budi menerima itu karena otoritas Husada. Sebelum kitas bicarakan nats tersebut, saya yakin bahwa Budi (atau siapa saja) yang membaca nats itu, akan memiliki pemahaman sendiri berdasarkan otoritasnya, yaitu sejauh yang mampu dipikirkannya. Bila ternyata pemahaman Budi terhadap nats itu sudah mempunyai substansi yang sama dengan yang saya sampaikan, saya kira, dalam hal seperti itu, Budi bukan menerimanya karena otoritas Husada, melainkan karena otoritas Budi. Kalau ada perbedaan pemaknaan oleh kita berdua, tentu kita berdua akan saling berargumen bahwa pemaknaan kitalah yang lebih pas sesuai dengan maksud nats bahasan. Bila ternyata berbeda, maka kita harus mencari Ajaran dari pemegang komptensi/otoritas mengajar, dan kita harus mengafiliasikan pemaknaan kepada Ajaran Gereja, kalau kita masih bagian dari Gereja. Jika kita tidak berkenan mangafiliasikan pemaknaan kita, artinya, kita berada di luar Gereja.
Saya beri warna merah frasa "Mat 28:20 memberikan.." karena frasa itu bersifat metaforis. Mat 28:20 itu teks dan teks tidak memberikan. Yang memberikan adalah pembaca. Dengan kata lain, "Mat 28:20 memberikan..." sebenarnya adalah kamuflase dari "Saya mengartikan Mat 28:20 sebagai bukti bahwa hak mengajar .....".
Saya kira bukan kamuflase. Saya menyampaikan demikian itu, seperti saya katakan di atas, adalah dari simpulan saya berlandaskan kumpulan Ajaran Gereja yang saya terima selama ini, meskipun saya belum pernah menerima Ajaran Gereja yang khusus membahas nats itu. Budi, sebagai
partner diskusi, kita bebas dan merdeka kalau mau menerima tau menolak penjelasan pasangan diskusi. Tetapi, untuk lebih bermanfaat, ada baiknya, kalau Budi tidak sependapat, disampaikan dalam hal apa ketidaksepakatan itu.
Kasus ini sering saya jumpai di gereja-gereja (both katholik and protestant). Orang yang bicara di mimbar2 itu sering berkata "Alkitab mengatakan...", "Alkitab membuktikan...". Padahal, teks tidak mengatakan, teks tidak membuktikan. Yang mengatakan dan membuktikan adalah pembacanya. Hal semacam ini bisa dilakukan (retorika) dan dilakukan karena ada tujuan-tujuan praksis tertentu yang ingin dicapai.
Dengan paragraf ini, dikaitkan dengan judul trit, saya menyimpulkan bahwa Budi juga sudah menemukan bahwa
Sola Scriptura tidak mungkin menghidupkan dinamika Gereja. Tentang seringnya Budi jumpai kasus yang sama atau mirip, saya akan
no comment.
Namun, rasanya perlu menyampaikan lagi, bahwa saya tidak bermaksud beretorika menyampaikan yang begitu. Saya hanya menyampaikan pemahaman saya. Kita bebas merdeka untuk menerima karena memang sependapat meskipun beda redaksional, atau menolak karena secara substansial bertentangan dengan pengertian, ato interpretasi, ato penjelasan yang telah kita peroleh sebelumnya.
Salam
Damai, damai, damai.