Author Topic: Electric-Man: Lahirnya The Crime Buster  (Read 1246 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Electric-Man: Lahirnya The Crime Buster
« on: August 31, 2013, 07:03:25 PM »

Sampul Utama Novel Electric-Man

Electric-Man (E-Man) atau Manusia Listrik adalah sebuah judul novel tentang kisah kepahlawanan seorang manusia listrik.

Cerita ini ditulis oleh B. Marada Hutagalung di Tarutung, dimulai pada tahun 2001, dan selesai pada tahun 2013.

Cerita ini adalah cerita fiksi yang dihiasi oleh kisah percintaan dan persahabatan, dan diterbitkan secara gratis dan tidak diperjual-belikan (kalangan sendiri), yang dapat dilihat dan diunduh di blog penulis di http://maradahtgalung.blogspot.com/2013/03/Electric-Man.html atau langsung membaca cerita secara online, klik ElectricmanStory.wordpress.com.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Pengantar
« Reply #1 on: August 31, 2013, 07:04:27 PM »
Mohon maaf, apa bila ada nama dan lokasi yang sama dengan dalam cerita ini semuanya itu hanya kebetulan saja dan kisah ini hanyalah fiksi belaka.

Cerita ini dibuat untuk mengapresiasikan situasi listrik di Indonesia yang sering mati, dan berharap ada tokoh yang bisa memperjuangkan teknologi listrik demi kemajuan bangsa Indonesia.

- B. Marada Hutagalung

Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan karena atas kasih dan anugerahnyalah cerita ini dapat diselesaikan dengan baik dan sederhana.

Sekilas tentang kronologi pembuatan cerita ini dimulai pada masa penulis masih mahasiswa jurusan teologia di STAKPN Tarutung pada tahun 2003. Pada waktu itu penulis masih membuat kerangka dan ide cerita mentah tentang E-Man/Electric-Man (Manusia Listrik). Membuat dan mencari ide dalam membuat cerita memakan waktu yang cukup lama. Penulisan ini beberapa menghadapi berbagai macam hambatan dan halangan, itu disebabkan berbagai kesibukan penulis sendiri dan disertai kurangnya fasilitas untuk menuliskan cerita. Setelah menikah pada tahun 2013, penulis kembali melanjutkan cerita E-Man dan memperbaiki beberapa kata-kata yang kurang layak dituliskan. Cerita ini sudah pernah dibuat orang lain, namun isi cerita ini tidak sama dengan kisah cerita yang dibuat penulis.

Cerita ini dibuat untuk mengapresiasikan situasi arus listrik di Indonesia yang sering mati, dan berharap ada tokoh yang bisa memperjuangkan teknologi listrik Indonesia, dan cerita tidaklah diperjual-belikan, karena cerita ini dibuat untuk menghibur para pembaca sekalian, hanya untuk kalangan sendiri.

Saya sebagai penulis bersedia menerima saran dan kritik dari pembaca demi kemajuan penulis cerita Indonesia.

Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembaca. Sekian dan terima kasih.

Tarutung, Maret 2013
Penulis,

B. Marada Hutagalung

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/Pengantar

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Tokoh
« Reply #2 on: August 31, 2013, 07:10:24 PM »
Tokoh-tokoh dalam cerita Fiksi E-Man:

  • Mario Jacquino alias E-Man
  • Roy (sahabat dekat Mario)
  • Jenny (teman Mario)
  • Andi (teman Mario)
  • Boby (teman Mario)
  • Ani (teman Mario), pacar Boby
  • Christine (Kekasih Rogan/gadis yang membuat Mario Jatuh Hati)
  • Ayah Christine
  • Supir dan Kernek Bus ke Tapanuli Selatan
  • Para penumpang
  • Natan (Malaikat Halilintar)
  • Daro (setan Petir)
  • Si brewok (si bos) dan dua anak buahnya
  • Ayah Christine
  • Pak Anto (wira usaha E-Man)
  • Istri pak Anto
  • Bapak Kepala Desa dan Masyarakat
  • Roselina (teman, sekaligus yang dicintai Mario)
  • Ricky (teman Mario dan tidak senang dengan Mario)
  • Ayah dan Ibu Roselina
  • Jarot (Ketua Rojan Gan’k)
  • Rogan (anggota Rojan Gan’k)
  • Letnan Parto (anggota Polisi, sekaligus anak angkat Jarot)
  • Janus (anggota Rojan Gan’k; ahli di bidang persenjataan)
  • Kapten Rian (anggota Kepolisian Wilayah Kota Tarutung)
  • Letnan Dido (anggota Kepolisian Wilayah Kota Tarutung)
  • Jacob (Direktur/pemilik Diamond Tapanuli Hotel)
  • Dua orang anak buah Jarot ahli komputer.
  • Kapten Posman (anggota Kepolisian Wilayah Kota Tarutung)
  • Kolonel Yanto (Kepala Kepolisian Wilayah Kota Tarutung)
  • Berbagai Media Pers
  • Bonapit TV
  • Walikota Tarutung
  • Komandan Tim Kopasus TNI-AD
  • Komandan Tim PIN
  • Orang-orang di sekitar jalan tol.
  • Pria berkemeja putih
  • Pria berkaos oblong warna merah
  • Eva (teman Christine)
  • Pria yang memakai jas warna abu-abu (sandera)
  • Dua anggota Rojan Gan’k menjaga sandera
  • Dua orang teroris penembak jitu (anggota Jarot)
  • 5 anggota Rojan Gan’k (satu orang memakai Bazooka)
  • 10 anggota Rojan Gan’k (menjaga lantai 1)
  • Beberapa penumpang Anduhur Airways
  • Juru Foto (salah satu penumpang Anduhur Airways)
  • Beberapa tamu di warung kedai kopi (desa Hutagalung)
  • Meliyanti (pembaca berita dari Tarutung TV)
  • Satu tukang loper koran.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/Tokoh

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 1
« Reply #3 on: August 31, 2013, 07:11:06 PM »
Pagi begitu cerah membuat para rekan Mario bersemangat menaiki sebuah bus, sebab mereka akan mengadakan reuni di kampung halaman Roselina yang telah mereka sepakat sebelumnya.

“Ukh..., ke mana sih si Mario”, gerutu Roy yang dari tadi melirik jam tangannya seraya melihat jalan raya.

“Udahlah bang. ini sudah jam delapan! Kita berangkat aja ya, mungkin dia berangkat duluan”, hibur Jenny.

“Come on friend! Ngapaian kita tunggu-tunggu Mario, „kan kita udah sepakat berkumpul di sini sekitar jam tengah delapan dan go on jam delapan lewat”, sambung Andi merasa kesal dengan Mario.

“Ayolah..., ngapain ditunggu-tunggu, dari dulu dia sudah begitu”, Ucap Boby dari kaca bus sambil membelai ramput Ani pacarnya yang sudah lama duduk di jok tengah bus.

“Ukh....”, makin gusar, lalu menaiki bus. “Oke, kita berangkat”, Akhirnya Roy mengalah dengan hati berat dan kecewa. Maklum saja dia gusar karena Mario adalah sahabatnya sejak SMU dulu.

Mobil akhirnya dipanasin oleh sang supir dan beberapa detik kemudian bus pun berangkat menembus jalan raya. Namun dari kejauhan Mario turun dari mini bus dan berteriak.

“Oi..., tunggu aku...! Sialan...”, gerutu Mario

Dengan penuh kesal ia berdiri di pinggir jalan raya sambil melihat-lihat bus lain yang mungkin saja berangkat ke jurusan yang sama. Alhasil, bus yang diharapkan didapatinya setelah dia melambaikan tangannya.

“Stop pak! Apa bus bapak ke Tapanuli Utara”, tanya Mario

“Bukan Cuma itu pak, tapi kebetulan lewat situ karena bus ini akan ke arah Tapanuli Selatan”, Jawab Kernek sambil mengisap rokoknya.

Tanpa basa-basi Mario pun masuk ke bus, dan bus pun berangkat ke tujuannya dengan laju yang tidak terlalu kencang atau lambat.

Mario duduk di jok belakang yang di sampingnya duduk seorang gadis yang lebih muda darinya, begitu cantik dan berambut panjang yang anggun.

“Hai, mau ke mana de”, tanya Mario membuka pembicaraan, kagum atas kecantikannya.

“Oh..., saya mau pulang ke Balige, bang”, jawab gadis tersebut dengan setengah terkejut dari lamunannya.

Tampaknya Mario bisa akrab dengan Christine yang sudah diketahui identitasnya melalui pembicaraan mereka. Sampai-sampai mereka tukar nomor seluler. Namun pembicaraan mereka terhenti karena jurusan yang dituju Christine telah sampai. Bus sudah berhenti tepat pada pukul 10.30 WIB.

“Oke, para penumpang sekalian, siapa yang turun di sini”, tanya kernek yang berdiri di pintu kedua bus.

“Bang, aku duluan ya..”, Christine mohon pamit.

“Ya.., hati di jalan ya”. “Ya..., bang”.

Christine dan penumpang lainnya turun dari bus, dan bus pun berangkat. Para penumpang yang masih di dalam dan juga kernek keheranan melihat keakraban Mario dengan Christine yang seolah-olah sudah lama kenal, padahal baru saja kenal.

Lain dengan Mario, dia cuek saja tapi sedikit agak kesal karena Christine sudah tidak ada di sampingnya.

“Ah..., cepat banget dia turun! Oh..., „kan ada nomor HP-nya samaku”, akhirnya Mario lega karena masih ada nomor seluler Christine disimpannya. Entah bagaimana caranya dia mendapatkan nomor itu.

Di perjalanan Mario melamun dan malah lamunannya mengarah ke Christine. Soalnya Christine itu ramah, baik, dan cantik lagi. Namun ia teringat kembali dengan Roselina yang tak kunjung berhasil didapatinya.

“Duar...! Ciit...”, Bus berhenti tiba-tiba membuat para penumpang berteriak histeris tak terkecuali Mario. Namun mereka lega kembali karena mereka tidak mengalami kecelakaan, tapi bus tidak dapat berangkat karena ban depan bagian kirinya pecah akibat menggilas batu-batu yang sangat keras dan runcing.

Para penumpang pun turun dari bus, termasuk Mario untuk melihat apa yang terjadi terhadap bus tersebut.

“Wah..., kempes”, seru salah seorang penumpang.

“Bukan kempes lagi, tapi pecah”, jelas kernek. “Pake ban serap aja, mas”, kata penumpang yang berlogat jawa.

“Ban serap! Ban serap sudah tidak ada”, jawab sang supir kesal.

“Lho, kenapa”, tanya Mario penasaran.

“Memang sudah kami persiapkan dua, tapi kami kecolongan waktu di Medan”, sang supir menjelaskan dengan penuh rasa khawatir.

Para penumpang semakin lama semakin gusar dan menggerutu.

“Bang, gimana ni..., di sekitar sini nggak ada tambal ban, mana lagi kita jauh dari perkotaan”, tanya kernek pada supir.

“Gini aja deh, bus kan banyak lewat dari sini”, jawabnya “Gimana, apa kalian mau menumpang dari bus lain? Ya...tolonglah mengerti dengan situasi seperti ini”, sang supir memelas pada penumpang.

“Kami sih mau, tapi gimana dengan ongkos yang sudah kami bayar? „Kan tanggung”, tanya penumpang wanita yang sudah separoh baya.

“Baik, kami ganti”.

Akhirnya sang supir mengambil tas dari bus dan membagikan ongkos yang tanggung kepada para penumpang.

Para penumpang kembali lega sebab ada bus lain berhenti sendiri setelah melihat banyak para penumpang melambaikan tangan. Para penumpang pun masuk ke bus, namun sangat disayangkan bagi Mario karena sudah padat diisi oleh penumpang baru yang sebelumnya sudah diisi penumpang lain.

Dengan kesal Mario berjalan menelusuri jalan raya sambil menengok ke belakang kemungkinan ada bus lain. Matahari pun mulai tenggelam.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/1

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 2
« Reply #4 on: August 31, 2013, 07:11:36 PM »
Di tempat lain, di kampung halaman Roselina yang dihiasi langit merah tampak Roy dan teman-temannya sedang melakukan kegiatan masing-masing yang sebelumnya mereka sudah tiba pada pukul 14.07 WIB.

“Mario, di mana kau? Ada apa, koq kamu tidak ikut? Padahal kamu sudah berjanji untuk ikut”, Gumam Roy dalam hati yang duduk dekat api unggun.

Demikian juga dengan Roselina, hatinya merasa tidak tenang karena salah satu temannya tidak ikut ke kampung halamannya.

“Mario, kenapa dia tidak ikut, ya...”, tanya dalam hati sambil memperhatikan teman-temannya yang sedang kejar-kejaran.

“Hei...! Melamun, ya...”, tiba-tiba Ricky mengejutkannya.

“Ah..., aku tidak melamun. Cuma aku merasa tidak enak, soalnya kawan-kawan kita tidak lengkap”, jelas Roselina nyaris terkejut.

“Maksudmu, Mario...”.

“Iya..., kenapa”.

“Eh..., jangan-jangan kamu naksir sama dia”, kata Ricky dengan agak cemburu.

“Ah..., kamu ini! Aku hanya kepikiran kenapa dia nggak ikut. Itu aja. Jadi aku nggak ada hubungan perasaan dengan dia”, sanggah Roselina dengan penjelasannya.

Acara demi acara yang mereka lakukan berjalan dengan lancar dengan penuh suka cita meski tanpa Mario. Semua teman-teman Roy bersenandung ria kecuali Roy dan Roselina yang masih memikirkan ketidakhadiran Mario.

Malam pun tiba dengan cuaca yang sangat mendukung kegiatan tersebut. Lain di tempat di mana Mario menunggu kedatangan bus. Cuaca sangat menjengkelkan bagi Mario sampai-sampai dia kedinginan.

“Wah...! Hujan mau turun. Mau balik ke bus tadi tak mungkin. Aku sudah terlalu jauh berjalan”, merasa bingung dan gusar.

Beberapa detik kemudian hujan mengguyur bumi tempat berpijak Mario yang sedang kesulitan mencari tempat teduh. Dengan basah kuyub akhirnya dia menemukan sebatang pohon yang rindang untuk berteduh, dekat dengan tiang listrik yang. Suara petir pun menggelegar bersahut-sahutan dan tak ayal petir pun menghantam-hantam tanah dan pohon lain di sekitar Mario.

Mario tercengang dan menganga atas kejadian tersebut membuat bulu kuduknya berdiri.

“Oh my God, belum pernah kulihat kejadian seperti ini”, gumam Mario ketakutan. “Tuhan, jangan biarkan aku dalam marabahaya! Tuhan, aku mohon dengan sangat...”, dengan penuh ketakutan ia memohon kepada Yang Maha Kuasa.

Aneh dan sangat mengherankan, Mario tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia hanya bisa melihat dengan kasat mata. Namun di balik semua itu ada dua makhluk yang sedang bertarung, dan tak satu pun manusia biasa yang bisa melihat. Pertarungan tersebut sangat mempengaruhi cuaca dan menghasilkan aliran listrik serta menghantam sekitarnya.

“Natan...! Sekali pun kau malaikat Halilintar aku tidak takut dan menyerah! Karena bukan hanya kau sendiri yang memiliki kekuatan petir..! Ya, aku si Daro, setan petir. Kamulah yang harus tunduk kepada saya”, serunya kepada Natan dengan mata yang berwarna merah menyala-nyala dan kepala bertanduk dua layaknya seperti banteng.

“Tidak, aku tidak mau tunduk kepadamu, karena aku ditugaskan oleh pimpinan Malaikat untuk mencegah perbuatanmu dan sekaligus menangkapmu...”, balas Natan, sang Malaikat Halilintar pada Daro yang berwajah sama dengan manusia biasa.

“Baiklah, kalau kamu tidak mau, akan kuberi pelajaran lagi bagimu, rasakanlah ini...” kembali Daro membalas ucapan Natan dengan disertai serangan jarak jauh.

Sinar api halilintar keluar dari tangannya dan menggulung-gulung mengarah kepada Natan. Namun Natan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan sinar tersebut mengarah kepadanya.

“Wess..., zerrr...! Busssshhh...!”

Sinar tersbut menghantam Natan, dan tidak terjadi apa-apa pada tubuh Natan. Hal ini membuat Daro, Setan Petir spontan terkejut. Masalahnya, pada awal pertarungan Natan hanya mengelak dan menghindar dari sinar api halilintar Daro, akan tetapi kali ini berbeda.

“Kenapa, kamu terkejut ya...”, kata Natan dengan seyum.

“Bagaimana mungkin kamu tahan dengan benturan sinar api halilintar saya...”, Daro penasaran.

“O...itu, aku kan Malaikat yang dipercayakan untuk mengendalikan halilintar. Tidak seperti kamu. Kamu menjadi Setan Petir itu karena keinginan hati kamu yang ingin menguasai dunia dan mengganggu hidup manusia”, jelasnya kepada Daro.

Mario terkejut setengah mati. Dia penasaran melihat sinar halilintar tersebut yang menghantam apa saja yang ada di sekitarnya.

“Busyeet...! Dari mana datangnya halilintar tadi? Koq bukan dari langit”, Mario semakin heran dan penasaran.

Daro mulai mundur perlahan-lahan dan mencoba untuk megeluarkan sinar api halilintarnya. Hal itu diketahui Natan.

“Mau coba lagi...? Silahkan”.

“Wess..., zerrr...! Busssshhh...!”

Sama seperti sebelumnya, Natan tidak merasakan apa-apa setelah bertubrukan dengan sinar tersebut.

“Ukh...! Sial”, kecewa atas kegagalannya “Eh.., ada manusia di sana”, Daro melihat Mario yang berada di bawah pohon rindang yang sedang ketakutan.

Daro pun mengangkat tangannya dan siap mengeluarkan seberkas sinar dari tangannya yang seolah-olah menyerang Natan, namun Daro mengarahkan tangannya ke Mario.

“Wess..., zerrr...! Busssshhh...!”

“Akhh....”, Mario tak dapat mengelak karena tidak tahu dari mana datangnya sinar tersebut.

Tiang listrik yang berada dekat pohon tersebut ikut tumbang akibat percikan dan getaran sinar tersebut. Kabel-kabel pun berputusan dan terpental mengarah Mario.

“Aaaakhhh......,” Mario menjerit keras karena kesakitan akibat hantaman sinar dari Daro dan juga kabel-kabel yang menghantamnya, Mario sekarat dan terkapar ke tanah.

Melihat kejadian itu, dengan segera Natan mengangkat tangannya dan mengeluarkan seberkas sinar biru ke arah Mario. Sinar itu dikerahkan untuk menetralisir tubrukan sinar api halilintar Daro pada tubuh Mario yang mengandung aliran listrik yang bisa membunuh Mario.

“Serrr.....! Beshhh...!”

Sinar tersebut menyelimuti tubuh Mario yang sudah terkapar di atas tanah dan menyelimuti seluruh tubuh Mario.

Di saat Natan sedang menetralisir Mario, Daro si Setan Petir langsung kabur ke langit. Ternyata tindakan Daro hanya sebagai umpan saja agar bisa kabur dari Natan.

Setelah selesai menetralisir, Natan langsung mengejar Daro ke langit.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/2

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 3
« Reply #5 on: August 31, 2013, 07:12:08 PM »
Mario pun siuman, dan bangkit berdiri. Dia memperhatikan seluruh tubuhnya. Aneh, dia tidak merasakan apa-apa kendati seluruh pakaian yang dikenakannya hangus terbakar.

“Wah..., koq aku masih hidup. Apa ini mimpi”, ia mencubit tangannya. “Auh..., sakit.! Ternyata aku tidak bermimpi”.

Dia melihat tasnya yang tidak jauh darinya. Ia buka tas dan mengganti seluruh pakiannya yang sudah hangus.

Cuaca buruk pun tidak dirasakannya lagi. Lalu kaki dilangkahkan menelusuri jalan raya. Mario merasakan ada yang aneh dalam tubuhnya. Dia rasakan tubuhnya sangat ringan dan tidak merasakan capek.

“Koq badanku ringan sekali? Seharusnya aku capek dan lelah. Ah, aku coba dulu berlari apa badanku tetap ringan...”.

Mario pun berlari menelusuri jalan raya, dan ternyata benar, badannya sangat ringan. Bahkan ia mencoba melompat setinggi mungkin. Lompatannya ternyata melampaui batas lompatan manusia biasa.

“Euy...,” takjub.

“Yuhuuiii....! Lompatan tinggi...”, seru Mario kegirangan.

Akhirnya dia menghentikan kegiatan tersebut. Dia melihat jurang yang terjal dan dalam. Dia ingin mencoba apakah dia bisa melompat melewati jurang tersebut ke daratan yang sama tingginya dengan tempat perpijakannya. Jarak antara perpijakannya dengan daratan tersebut yang dipisah oleh jurang ada sekitar 500 meter, dan ke dalaman jurang sekitar 1000 meter. Sebelum dia melompat, Mario terlebih dahulu berdoa kepada Tuhan.

“Tuhan, semoga ini bukan ajalku...”, ucapnya dengan jantung berdebar, lalu melompat.

“Hiaaat....”

Lompatannya bagaikan peluru yang dimuntahkan dari moncong meriam. Namun, lompatannya tidak sampai. Malah ia jatuh ke jurang dan menabrak pohon-pohon yang tinggi. Dan sebelum sampai kedaratan ia melentangkan tangannya dan menutup mata. Namun pendaratan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung sampai malah badannya nyaris menyentuh tanah.

“Lho, koq aku nggak nyampai ke darat”, ia buka matanya. “Waw..., badanku bisa tertahan di udara yang hampir menyentuh tanah”, katanya sambil memperhatikan tubuhnya.

“Bup...”, akhirnya tubuhnya mendarat menabrak tanah.

“Aduh..., sakit juga”, meringis kesakitan meski tak seberapa.

Ia bangkit berdiri dan membersihkan tanah dari tubuhnya. Sedikit ia merasa heran, dan berpikir sejenak sambil memandang ke atas.

“Aku rasa aku bisa terbang. Coba dulu, ah...”, gumamnya dalam hati sambil melihat-lihat langit. Dia pun mencoba untuk terbang.

“Satu, dua, tiga...! Huup....”, akhirnya ia bisa terbang melayang tinggi di udara. “Waaw..., aku bisa terbang....! Aku bisa terbang....! Yuhuu...”, serunya sambil mengudara menembus awan-awan di langit.

“Aku rasa mungkin masih ada kekuatan lain dalam tubuhku...”, kembali ia penasaran dengan kekuatan dalam tubuhnya. Dan dia pun mencoba mendarat. Hasil pendaratannya berjalan dengan mulus.

“Eh..., aku bisa melihat pada malam hari tanpa bantuan cahaya lain”, dia sadar bahwa penglihatannya dapat menembus ruang gelap. Tidak hanya itu saja, pendengarannya pun cukup tajam sampai-sampai ia bisa mendengar ular di belakangnya yang siap menyerang.

“Sisshhh.....”,

“Hup...”, ia berhasil menangkap kepala ular tersebut dan meremasnya dengan sekuat tenaga. “Hahh, koq bisa pecah...”, Mario terkejut melihat hasil remasannya.

“Jangan-jangan aku bisa mengangkat batu sebesar itu atau juga menendangnnya”, Mario pun mendekati batu yang besar di hadapannya lalu mengangkatnya. Ternyata batu besar itu dapat diangkat kemudian diturunkan tanpa merasa keberatan. Lalu ia mencoba meninju batu itu. Batu pun hancur meski tak seluruhnya. Namun ia masih juga penasaran apakah ada kekuatan yang lain lagi.

“Apakah aku bisa menghancurkan batu itu tanpa harus menyentuh”, tanyanya dalam hati. “Aku coba dulu ah...”.

Dia mengerahkan tenaganya sambil mengangkat tangan kanannya dan diarahkan ke batu yang lain.

“Ah..., ternyata tidak ada apa-apa”, sedikit kesal sambil menggoyangkan tangan kanannya ke berbagai arah.

Tanpa disadarinya tiba-tiba tangannya mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru dan menghantam sekitarnya dan cahayanya menerangi sekitarnya seketika.

“Zrrrr...! Bus...! Zrr....! Bus...”.

“Ha...”, Mario spontan terkejut atas kejadian tersebut. “Koq bisa, jangan-jangan aku kurang bisa tadi mengendalikannya. Coba lagi, ah...”.

Dengan penuh konsentrasi, dia coba kembali mengeluarkan sinar dari tangannya.

“Zrrrr...! Pis...”, berhasil dilakukan tetapi tidak mengena pada batu. Lalu dicoba lagi.

“Zrrr...! Pis...”, batu pun dihujam seberkas sinar dari tangan kanannya tapi batu tidak hancur. Kembali ia mencoba.

“Zrrr...! Duaarr...”, batu hancur berkeping-keping dan percikan sinar biru itu merusak dedaunan sekitarnya.

“Waow..., keren...”, tersenyum setelah mengetahui hasil usahanya. “Hmmm, berarti sinar tadi bisa dikendalikan sesuai dengan keinginanku”, ia berpikir dalam hati bahwa pukulan jarak jauhnya juga dapat dikendalikan sesuai dengan tingkatan yang diinginkannya.

“Oh..., aku rasa aku bisa ikut dalam perlombaan. Mungkin aku bisa jadi atlit lari, lompat atau lainnya...”, sembari ia duduk di bawah pohon ia terbayang akan olahraga yang dapat menghasilkan juara dan uang banyak.

“Tidak...! Aku tidak mau melakukan itu kalau hanya karena keinginan belaka saja”, ia menyanggah keinginannya. “Lebih baik aku gunakan kekuatanku untuk membela kebenaran dan menumpas kejahatan”, ucapnya dalam hati sambil mengepalkan tangan kanannya.

Sambil garut-garut kepala, Mario bangkit berdiri lalu berpikir nama samaran apa yang akan digunakannya untuk meumpas kejahatan.

“Blackman...! Bukan...! Superman...! Bukan juga...! Powerman...! Itu juga tidak...”, bingung memikirkan nama samaran.

Dengan melangkahkan kakinya ia kembali ke jalan semula dan tak diduga tiba-tiba angin kencang menghempas kabel-kabel listrik yang sudah putus lama putus serta merta kabel-kabel tersebut terhempas ke arah Mario bagaikan cambuk yang akan menghantamnya.

“Hup...”, dengan sigap ia tangan kanannya menangkap ujung kabel tersebut dan demikian juga tangan kirinya menangkap kabel lain.

Mario merasakan ada sentakan arus di tangannya tapi tidak merasakan apa-apa.

“Wah..., yang kutangkap ‘kan ujung kabel yang masih ada arusnya. Koq aku tidak merasakan apa-apa...”, keheranan atas peristiwa tersebut.

Kedua kabel yang masih memiliki arus ditempelkannya ke lehernya. Mario mersakan sentakan listrik dari kabel-kabel tersebut tetapi tidak juga merasakan apa-apa. Lehernya tetap seperti keadaan semula.

“Electric-Man..., atau E-Man aja...”, akhirnya ia menemukan samaran yang pas baginya. “Bagaimana dengan kostumnya, ya..? Nanti saja deh...”, tukasnya dalam hati sambil menyatukan kabel-kabel listrik tadi dan menegakkan tiang listrik yang sudah tumbang.

“Oh..., Roselina...”, ia teringat akan gadis yang dicintainya. “Aku harus segera ke tempatnya...”, tanpa pikir panjang ia pun terbang menembus langit gelap.

Di saat mengudara Mario berkata-kata dalam hati : “Aku tidak tahu dari mana kekuatan ini datang. Ah..., aku yakinkan saja diriku bahwa kekuatan ini datang dari Tuhan atau suruhan Tuhan. Terima kasih Tuhan...!”

Kekuatan yang didapatnya sebernarnya berasal dari Natan, Malaikat Halilintar. Natan hanya ingin menyelamatkan Mario dari sengatan Api Halilintar Daro dan juga sengatan arus listrik. Dia sebenarnya hanya mencoba untuk menetralisir tubuh Mario dari sengatan sinar dan listrik tersebut Daro. Natan merasa khawatir melihat Mario yang nyaris tak bernyawa, maka dia meningkatkan tenaganya agar Mario bisa sembuh dan tetap Hidup. Namun akibat kekuatan yang dikerahkan Natan telah melebihi kapasitas sehingga Mario mendapatkan kekuatan yang luar biasa dan tak satu pun manusia yang memiliki kekuatan seperti itu, sekali pun manusia itu adalah paranormal.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/3

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 4
« Reply #6 on: August 31, 2013, 07:12:50 PM »
Malam mulai menunjukkan pukul 10.30 WIB, dari kejauhan terdengar suara wanita minta tolong. Mario bisa mendengarkannya dan mencoba mengikuti arah suara tersebut, dan akhirnya Mario menemukannya.

“Wah..., ini pekerjaan pertamaku, sekalian latihan beladiri. Tapi aku belum punya kostum...”, ia masih di udara tepat di atas para pria bejat yang sedang mengejar dan akan memperkosa wanita itu. Untung saja tidak ada orang melihat Mario melayang-layang di udara, apalagi didukung malam yang gelap.

Akhirnya ia menemukan pendaratan yang cocok yang tidak diketahui orang. Ia tidak mau menunjukkan kehebatannya dengan terang-terangan tanpa kostum.

“Dapat juga kamu nona manis...”, seorang pria berhasil menangkap wanita cantik itu dan memeluk wanita dengan erat.

Dia mencoba untuk melawan tapi tak bisa, pelukan si Bos sangat kuat. Ia hanya bisa berteriak minta tolong.

“Eh..., kalian dua! Pegang tangannya...”, perintahnya kepada anak buahnya sambil menindih tubuh yang indah tersebut.

Kedua temannya pun membantu dia untuk memegang kedua tangan si gadis. Dan satu lagi merebahkan tubuh wanita itu ke tanah secara paksa.

Sebelum dia menikmati kegadisan wanita, dengan penuh nafsu ia menyentuh daerah-daerah yang sensitif pada tubuh gadis tersebut.

Gadis tersebut pasrah, yang bisa dilakukannya hanya merintih akibat sentuhan kasar tersebut dan memohon dengan suara lemah : “Jangan...! Jangan lakukan itu...!”

Si Bos malah bertambah nafsu mendengar suaranya, ia mulai melucuti semua pakaian wanita tersebut dan siap menikmati kegadisannya.

“Bukhh..! Gedebugggg...! Pak..! Bughhh....”.

“Akhh......”, Si Bos terlempar menghempas pohon dan meringis Kesakitan, sama halnya dengan kedua anak buahnya.

“Mario...”.

“Christine...”.

Ternyata keduanya sudah saling mengenal, dan perkenalan itu terjadi pada waktu keduanya berada di bus tadi siang.

“Bah..., bocah ingusan rupanya yang sudah saling kenal”, ia marah dan bangkit berdiri. “Kamu sudah menggangu kegiatan kami. Akan kuberi kau pelajaran keras, ya...”, ancam si brewok pun sambil memberi kode untuk menyerang kepada anak buahnya.

“Kegiatan apaan..., itu namanya tindakan jahat yang merusak hak orang lain...”, balas Mario dengan geram.

“Aku tidak perduli...! Hiaat...rasakan pukulanku ini...”, si Bos dan anak buahnya pun menyerang dengan membabi buta.

Mario tetap pada tempatnya, tidak mundur atau pun maju. Seketika pukulan tangan kanan si Bos ditangkisnya dengan tangan kiri dan juga tendangan kaki anak buahnya ditepis dengan tangan kanan. Dan satu lagi dari belakang mencoba untuk memukul pundak Mario. Tapi dapat dielakkannya. Mario masih tetap di tempat, malahan secara tiba-tiba dia memberikan masing-masing tendangan pelak dengan cara berputar.

“Bug...”.

“Aduh...”.

“Gedebugh...! Bugghhh...”.

“Akhhh...”.

Mereka tidak hanya mendapatkan tendangan saja, tetapi hasil tendangan itu membuat mereka terlempar ke belakang

Sambil memperbaiki pakaiannya, Christine terkagum-kagum melihat kelihaian Mario dalam beladiri.

Tak hanya sampai di situ saja, si Brewok dan anak buahnya kembali menyerang. Kali ini si Bos mengeluarkan pisau cutter dari saku depan celana jeans-nya. Dan anak buahnya mengambil kayu balok dari tanah.

Christine merasa khawatir melihat serangan balik si Brewok dan anak buahnya karena menggunakan alat untuk menyerang.

Ia tetap berdiri di tempat, tetapi tetap siaga dan tidak menganggap lawan enteng. Mereka pun menyerang Mario. Namun Mario lebih dulu menahan serangan yang lebih dekat dengannya. Dengan cekatan ia menangkap kayu yang anak buah satu dari serangan kanan dan juga menangkap kayu dari kiri yang mencoba menghantamnya kendati kayu masih dipegang erat. Kemudian Mario menyilangkan kedua kayu itu di depannya untuk menahan serangan pisau ke arah perutnya. Pisau pun tertahan, dan kaki kiri Mario menyiku perut si Bos. Lalu kayu itu ditarik berlawanan arah dan memukulkannya ke kepala anak buah tersebut.

Tak ayal lagi, keduanya terlempar ke belakang dan meringis kesakitan. Melihat pertarungan yang tidak seimbang si Bos memberi kode.

“Ayo..., lari...”, si Bos dan kedua anak buahnya melarikan diri dengan kucar-kacir, dan masuk ke mobil Jeep tua berwarna hitam. Dan berangkat...

Christine merasa lega karena Mario dapat mengatasinya. Kemudian Mario mendekatinya.

“Dik...! Kamu koq bisa ada di sini”, tanya Mario penasaran sembari memperhatikan seluruh tubuh yang ditutupi pakaian yang sudah lusuh. “Hampir saja kau diperkosa oleh mereka”, sambungnya.

Christine merasa malu, dan menutup baju bagian atas yang sudah tidak memiliki kancing lagi. Mario sempat melihat bagian atasnya tanpa pembalut pada saat Mario menyerang para penjahat tersebut. Hal itulah yang membuat Christine lebih malu lagi. Mario pun memalingkan perhatiannya.

“Sekitar pukul 20.26 WIB Aku dan papaku berangkat dengan mobil pribadi dari Balige...”, jawab Christine tertunduk.

“Lalu...”, lanjut Mario.

“Lalu, setiba kami di jalan raya sana kami di cegat oleh mereka dengan mobil jeep...”, sambung Christine dengan tangan menunjuk mobil kijang kapsul warna hitam di jalan raya.

“Bagaimana dengan papamu...”, kembali bertanya.

“Aku tidak tahu..., kita liat aja keadaannya di mobil”, ia tiba-tiba teringat dengan keadaan ayahnya.

Christine pun berlari ke arah mobil kijang, dan Mario mengikutinya. Pintu depan mobil bagian kiri dibuka. Tampak pria setengah baya tergeletak di jok mobil.

“Papa.., bangun pa...”, dia membangunkan ayahnya dengan terisak.

“Ukh...apa yang terjadi”, ayahnya siuman dan bertanya.

“Panjang ceritanya pa...”, jawab Christine sambil membantu ayahnya untuk duduk dan membalut tangan kanan ayahnya dengan kain kasa dari kotak P3K. Tangan kanan ayah Christine tergores akibat pisau si brewok.

“Lha.., ini siapa...”, tanya ayah dengan penuh curiga.

“Oh, iya...! Ini Mario, pa...”. “Mario, pak...”, Mario memperkenalkan diri sambil menyalam Ayah Christine.

“Lalu..., di mana orang-orang jahat itu”, sambung Ayah Christine bertanya.

“Babak belur dihajar bang Mario, habis itu mereka kabur...”, jelas Christine dengan senyum dan melirik Mario.

“Oh...ya...”, kagum. “Terima kasih, nak. Kalau tidak ada kamu nak, hidup kami akan sengsara”.

“Ah..., bapak tidak perlu berkata-kata seperti itu! Itu karena Tuhan masih memperhatikan Bapak dan puteri Bapak...”, potong Mario sambil melirik jam tangannya.

“Bang..., terima kasih ya...”, Christine berterima kasih pada Mario.

“Sama-sama, dik...”, balas Mario. “Aku berangkat dulu, ya...”, mohon pamit. “Lho, mau ke mana...”, tanya Ayah Christine.

“Iya, abang mau ke mana...”, sambung Christine.

“Aku mau ke sana, mau ke rumah nenek saya...”, Jawab Mario dengan menunjukkan jalan lain di samping kanan mobil kijang.

“Baiklah..., nak. Hati-hati ya...”, balas Ayah Christine.

“Ya...pak...”. “Bang..., thanks...ya”, sambung Christine sambil menutup pintu mobil.

“Ya..., sama-sama...”, balas Mario dengan melangkahkan kakinya.

Kijang pun dihidupkan, dan siap-siap untuk berangkat.

“Pa..., sebentar pa...”, Christine meminta Ayahnya untuk tidak menjalankan mobil.

“Ada apa...”.

Christine tidak berbicara, malah pintu mobil langsung dibuka lalu mengejar Mario yang sudah agak jauh berjalan.

“Bang...., bang Mario”, panggilnya ke Mario dengan ngos-ngosan. “Tunggu sebentar bang...”.

Mario menoleh ke belakang dan menghentikan langkahnya, yang dari tadi melangkah lurus ke depan.

“Ada apa...”, sambutnya dengan membalikan badannya ke arah Christine. Sedikit Merasa heran.

Christine baru menghentikan langkahnya dan memandang Mario.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/4

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 5
« Reply #7 on: August 31, 2013, 07:13:29 PM »
“Aku..., aku...sulit untuk melupakan kebaikanmu padaku...”, jawabnya agak terpatah-terpatah. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membalas kebaikanmu...”, sambungnya dengan mata berair, Christine merasa berutang budi terhadap Mario.

“Ah..., aku menolongmu bukan karena dilatarbelakangi oleh pamrih. Tapi aku menolongmu karena memang patut untuk ditolong...”, sambung Mario merasa tidak ingin penghargaan yang berlebihan.

Tanpa diduga Mario, Christine mendekat dan memeluk Mario dan menyandarkan kepalanya ke dada Mario dengan mata berair.

Jantung Mario berdebar-debar merasakan dekapan Christine. Apalagi Mario merasa baru pertama kali ia dipeluk gadis secantik Christine. Mario tidak mau kalah, ia malah menyambut pelukannya dengan membelai rambut Christine yang panjang dan anggun. Lalu kedua tangan Mario memegang kepala Christine dan mengusap air mata Christine.

“Adik Chris..., kamu tidak perlu berlebihan seperti ini. Kamu tidak perlu khawatir bagaimana cara kamu membalas perbuatanmu. Kamu bilang terima kasih aja aku sudah senang. Kalau kamu tidak dapat membalas, ‘kan ada Tuhan yang membalas...”, Mario menghibur Christine sembari memandang wajah Christine dengan seyuman

“Terima kasih..., bang”, Balasnya kepada Mario dan dia mencoba untuk menjinjit kakinya serta mencium bibir Mario.

Mario kelabakan atas perbuatan Christine, tapi ia malah membiarkannya dan anehnya malah disambut baik oleh Mario. Kegiatan tersebut agak berlangsung lama.

Mario melepaskan ciuman Christine dan memegang pundaknya dan berkata : “Pulanglah, ayahmu sudah lama menunggu di mobil!”

“Iya...bang, aku akan mengenangmu selama hidupku...”, jawabnya dengan lembut dan mulai melangkahkan kakinya menuju kijang.

Christine pun menjauh dari Mario, kini dia sudah di dalam Mobil yang beberapa menit kemudian melaju menelusuri jalan utama. Christine pun menghayal.

“Mario..., sejak dari awal aku sudah tertarik dan jatuh cinta padamu...tapi...”, Ujarnya dalam hati, sebenarnya dia ingin menyatakan isi hatinya tapi dia tidak bisa melakukannya karena dia masih terikat dengan Kekasihnya yang bernama Rogan.

Jam Mario menunjukkan 11.20 WIB, namun masih berjalan menelusuri jalan raya sambil melihat-lihat toko yang masih buka. Tempat itu sunyi tak satu pun toko yang buka.

“Bah, tak ada satu pun yang buka”, ucapnya dalam hati sambil melihat-lihat kembali. “Hei..., apa itu...”, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah rumah dengan di atasnya terpasang sebuah patung kayu mengenakan pakaian karet.

Ia melihat tulisan di bawah patung tersebut. Tulisan itu terpampang pada sebuah papan yang berisi : E–MAN (ELECTRIC–MAN); dan di bawahnya lagi pada sebuah papan pamplet tertulis : AHLI/TUKANG INSTALASI LISTRIK. Akhirnya Mario mengerti bahwa Electric-Man itu bukan Manusia Listrik, tapi Ahli/Tukang Instalasi Listrik yang seharusnya ditulis Expert of Electric Instalation. Mario berpikir mungkin itu dibuat supaya keren dilihat dan dibaca orang meski sebenarnya bukan itu yang maksudnya.

“Hehehe, ada-ada aja orang sekarang ya....”, tertawa setelah membaca tulisan tersebut.

Tanpa pikir panjang, Mario melihat sekelilingnya apa kira-kira ada orang. Setelah merasa aman dia langsung melompat ke atap lalu mendekati patung tersebut. Ia tarik patung tersebut dengan hati-hati agar tidak merusak papan pamplet sekaligus tidak mengganggu tidur orang yang punya rumah dan juga orang di sekitarnya. Patung pun dapat ditarik dan dipegang lalu mendarat ke halaman rumah. Kemudian ia meletakan patung itu sementara, lalu ia mengambil pulpen dan secarik kertas dari tasnya.

Ia menulis surat dengan isi :

Sipoholon, .... Juni 2007
Kepada Yth. :
Pimpinan Usaha E-Man
(Ahli/Tukang Instalasi Listrik)
Di Tempat.

Salam sejahtera,

Mohon maaf kepada Bapak, karena saya telah mengambil patung Bapak tanpa permisi atau izin dari Bapak. Saya sangat menginginkan kostum patung itu demi misi menumpas kejahatan. Saya tidak tahu berapa harganya, tapi meski demikian saya akan ganti dengan materi yang bisa saya berikan. Mohon maaf kepada Bapak jika materi itu tidak sesuai dengan harganya. Kiranya Bapak dapat memaklumi saya, sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan terima kasih.

Tertanda,

E–MAN

Electric–Man

(Manusia Listrik)

Mario selesai menulis, kemudian ia merogoh kantongnya untuk mengambil uang seberas seratus lima puluh ribu rupiah dan menyelipkannya dalam lipatan surat tersebut. Lalu Mario memasukkan surat itu ke bawah pintu depan rumah tersebut.

Setelah Mario memasukkan surat, ia bergegas mengambil pantung dan siap untuk terbang. Sebelum ia mengudara ia kepergok beberapa orang dan berteriak.

“Maling...! Maling...”, teriak salah seorang dengan berlari mendekati Mario.

“Maling...! Tangkap...”.

Melihat situasi tidak aman Mario langsung terbang ke langit dan terus lurus ke langit agar orang tersebut tidak bisa menangkapnya. Akibat dari teriakan tersebut seketika orang-orang terbangun dan ke luar dari rumah menuju jalan sampai orang berhamburan.

“Mana malingnya...”, tanya pak tua.

“Udah pada kabur...”, jawab saksi.

“Ke mana kabur...”, sambung Bapak Kepala Desa yang baru saja ke luar dari rumah.

“Ke langit...”, jawab saksi berikutnya sambil menunjuk ke langit.

“Ke langit...”, semua orang serentak terkejut.

“Maksud anda, dia terbang...”, tanya Bapak Kepala Desa semakin penasaran.

“Jangan ngaco...”, seru seseorang dari belakang karena tidak yakin dengan penjelasan mereka.

“Maling apaan bisa terbang...”, sambung warga yang lain.

“Sumpah, pak...! Kami ada lima orang melihatnya”, saksi berusaha meyakinkan Bapak Kepala Desa.

“Iya pak, dia bawa patung dari atap rumah pak Anto”, sambung saksi lain meyakinkan dengan menunjuk rumah pak Anto.

“Patung...”, seorang bapak-bapak yang tidak terlalu tua terperanjat mendengar penjelasan saksi tersebut. Dia langsung ke halaman rumahnya.

“Ha..., patungku diambil...”, spontan terkejut setelah melihat patungnya tidak ada di situ.

Akhirnya semua orang percaya : “Tapi maling yang koq bisa terbang...”, tanya Pak Anto keheranan.

“Kalian masih ingat dengan wajahnya...”, tanya Bapak Kepala Desa kepada saksi-saksi tersebut.

“Kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena suasana lokasi ini sangat gelap...”, jawab si saksi dengan penjelasannya.

“Hmm..., pak Anto! Ngomong-ngomong berapa harga patungmu itu ditempah...”, Bapak Kepala Desa bertanya kepada Pak Anto.

“Sembilan puluh ribu rupiah pak, itu pun diskon...”, jawab Pak Anto dengan sedih.

“Pak...! Pak..., ada surat saya temukan di pintu rumah kita...”, istrinya berseru sambil menunjukkan sebuah surat dan memberikannya kepada Pak Anto.

Pak Anto membuka surat tanpa amplop itu dan dibacanya dengan keras. Bapak Kepala Desa pun mencoba mendekatinya untuk melihat surat itu.

“E-Man...? Dia meniru nama usaha Bapak...”, seru saksi.

“Misi Menumpas Kejahatan...? Wow...! Jangan-jangan itu hanya akal-akalan aja...”, sambung yang lain dengan berteriak.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/5

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 6
« Reply #8 on: August 31, 2013, 07:14:09 PM »
Hati Pak Anto sedikit agak lega, ternyata patungnya diganti dengan uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah.

“Sudah...sudah, kita tidak perlu lagi membahas itu. Ternyata dia menggantinya dengan duit sebesar seratus lima puluh ribu rupiah...”, seru Pak Anto kepada orang-orang sambil menunjukkan uang.

“Dia memang sudah minta maaf, tapi dia hanya menulis E-Man atau Electric-Man alias Manusia Listrik...”, sambung Bapak kepala Desa.

“Aha..., aku baru ingat. Kemarin aku bermimpi ada orang memakai kostum patungku. Dia menyelamatkan aku. Ia memiliki kekuatan listrik dan bisa terbang”, Pak Anto menceritakan mimpinya kemarin.

“Ah..., ada-ada aja bapak ini...”, celetuk istrinya kepada Pak Anto.

“Bisa jadi, tapi apa bapak ingat wajah si E-Man dalam mimpi bapak”, tanya Bapak Kepala Desa seolah-olah ia peramal mimpi.

“Tidak, pak...! Soalnya dalam mimpiku dia sudah memakai topeng dan kostum patungku...”, jawab Pak Anto.

“Apa bapak masih mempersoalkan patung itu lagi...”, Bapak kepala Desa mencoba menggubris patung yang sudah hilang tersebut.

“Sudahlah pak, nggak usah dipikirin. Dia sudah minta maaf dan sudah menggantinya. Mana tahu mimpiku bisa kenyataan...”, katanya dengan hati senang.

“Baik..., para warga sekalian, kita bubar dan kembali ke rumah masing...”, Bapak Kepala Desa memberi perintah bubar kepada warganya.

Seketika itu juga mereka bubar dan masuk ke rumah masing-masing. Tempat itu pun kembali sunyi dan hening seperti semula.

Di tempat lain, Mario sedang mengudara di melewati awan-awan dingin menuju kampung halaman Roselina.

“Pas banget topeng ini. Bajunya apalagi...! He...he...he...”, gumamnya dengan hati senang. “Yuhhuuu....”, E-Man alias Electric-Man, si Manusia Listrik melaju kecepatan terbangnya.

Sekitar jam 00.30 WIB E-Man tiba di permukaan rumah Roselina. Sambil melayang-layang ia melihat teman-temannya di bawah sedang bernyanyi-nyanyi mengitari api unggun. Tak luput dari perhatiannya, ia melihat Roselina sedang duduk bersama Ricky sambil berpegangan tangan. Mario cemburu karena Ricky tidak hanya duduk bersama saja tapi dia menggandeng Roselina.

“Oh...sial...”, E-Man alias Mario menggerutu.

Dia memperhatikan daratan sambil mencari tempat yang aman untuk mendarat agar tidak mengejutkan mereka. Pendaratan pun berjalan dengan mulus tanpa ada yang melihat. Ia bisa menapakkan kakinya di tanah yang tidak terlalu jauh dari kawasan rumah Roselina. Lalu ia menukarkan pakaiannya dengan sekejap. Beberapa menit kemudian ia berjalan menuju pelataran rumah Roselina.

“Hai kawan-kawan semuanya..., saya datang ni”, sapa Mario kepada teman-temannya.

“Mario...”, semua orang di sekitar tempat itu terkejut termasuk Roy dan Roselina.

Roy segera mendekati Mario dan Roselina melepaskan tangan Ricky dan melangkah menuju Mario.

“Hey..., friend! Aku pikir kamu nggak datang”, sambut Roy dengan menyalaminya dan menepuk-nepuk punggung Mario.

“Thanks God, ternyata Mario datang juga...”, Roselina juga menyambutnya dengan menyalaminya dan menggaet tangannya sehingga Ricky menjadi geram dan cemburu.

“Dari mana aja kamu..., sampe-sampe Roy resah...”, tanya Andi.

“Roselina juga memikirkanmu lho...”, sambung Ani memancing Roselina.

“Plok...plok...plok...”, semua serentak bertepuk tangan dengan riuh.

“Ah..., kamu ini...”, wajah Roselina berwarna merah jambu.

Dari dalam rumah Ayah dan Ibu Roselina keluar, seketika itu juga Roselina memperkenalkan Mario kepada kedua orang tuanya.

“Mario, kenalkan! Ini orang tuaku”.

“Oh...saya Mario, pak...bu...”, Mario pun menyalami kedua orang tua Roselina.

“Lha..., kamu koq belakangan datangnya, nak Mario”, tanya Ayah Roselina.

“Ada kerjaan, ya...”, sambung Ibu Roselina bertanya.

“Iya...bu. Jadi merepotkan teman-teman”, jawab Mario malu-malu karena temannya di belakang membisikkan bahwa orang tua Roselina sebagai calon mertuanya.

“Oh, anak-anak sekalian...kami duluan tidur ya...”, Ayah Roselina mohon pamit untuk istirahat.

“Iya, soalnya nggak enak rasanya kalau nggak permisi dulu untuk tidur...”, sambung Ibu Roselina. “Maklumlah, udah tua”.

“Nggak apa-apa, bu...pa...! ‘Kan, kami masih muda nih”, pungkas Boby.

“Nanti kalau kami sudah letih kami akan beristrihat...”, sambung Roy.

“Jangan khawatir ma..., kami bisa koq menjaga suasana”, kata Roselina sembari mendekati Ibunya dan merangkul tangan kanannya.

“Baiklah..., kami tidur dulu ya...”, Pinta Ayah Roselina kembali.

“Ya...pak...”, teman-teman Roselina serentak menjawab.

Kedua orang tua Roselina akhirnya melangkahkan kakinya menuju pintu depan rumah, dan semua teman-teman Roselina kembali mengitari api unggun, kecuali Mario, Roselina dan Ricky.

Kemudian Ricky mendekati Roselina, akan tetapi Roselina lebih dulu menggandeng Mario dan mengajaknya ke pinggir kolam ikan yang berada tidak jauh dari api unggun. Kelihatannya Roselina tidak peduli dengan Ricky. Ricky pun kesal, cemburu, lalu pergi menuju api unggun.

Kedua pasangan itu pun duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan sambil bercerita-cerita dengan santainya.

“Ros..., tumben kamu ngajak aku berduaan. Ada apa”, bisiknya pada Roselina dengan hati yang tak karuan.

“Emang kenapa? Ngakk bisa...”, hati Roselina tergugah dengan pertanyaan Mario dan melepaskan rangkulan tangannya dari lengan kanan Mario.

“Bukan nggak bisa, tapi nggak biasanya kamu seperti ini...”, jelas Mario mencoba untuk melegakan hatinya. “Malah aku berterima kasih kepadamu karena kamu telah mengajak aku ke sini...”.

“Ah..., kamu ini...! Kirain nggak mau, tau-taunya mau...”, Hatinya Roselina pun kembali dan tersenyum sambil mencubit tangan kanan Mario.

“Aduh..., sakit...”.

“Masa segitu aja dibilang sakit, padahal pengen”.

“Tau aja...., hehehe...”, Mario merasa bahagia.

Ternyata adegan ini yang kelihatan mesra, dan terlihat oleh Ricky dari api unggun Hal membuat hatinya semakin panas dan benci kepada Mario.

“Mario, kurang ajar kau...”, gumam Ricky dalam hati dengan kesal bercampur kecewa. Ia mulai merencanakan sesuatu agar bisa mendapatkan Roselina.

Tak terasa waktu pun menunjukkan pukul 01.13 WIB, sementara teman-teman Roselina bergegas untuk istirahat, sedangkan Mario dan Roselina masih bercerita tentang masa lalu mereka ketika mereka masih duduk di bangku SD.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/6

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 7
« Reply #9 on: August 31, 2013, 07:14:49 PM »
Roselina merasa senang atas kehadiran Mario duduk di sampingya, dan ia pun merebahkan kepalanya ke bahu kanan Mario yang semakin lama semakin menjadi-jadi, jantungnya berdebar-debar keras. Mario pun mencoba menenangkan dirinya dengan membelai rambut Roselina.

“Oh...Tuhan, inikah gadis yang Engkau tunjukkan padaku...”, bisiknya dalam hati, dan Roselina mulai tertidur karena belaian tangannya.

“E-hem, e-hem...”, Roy datang mendekat.

Seketika itu juga mereka berdua nyaris terkejut dan bergegas melepaskan rangkulannya masing-masing.

“Maaf, mengganggu..., apa kalian belum tidur”, tanya Roy sambil menggaruk-garuk kepala, pura-pura tidak tahu apa yang ia lihat.

“E..., sebentar lagi kami akan tidur”, jawab Mario dengan ragu.

“Emang uda jam berapa ni...”, Roselina malah bertanya.

“Jam satu non...”, jawab Roy.

“Jam satu...”, keduanya serentak terkejut.

Mario kemudian mengajak Roselina untuk beristirahat, dan ketiganya pun masuk ke dalam rumah. Mario dan Roy tidur di ruang tamu yang sudah berisi dengan laki-laki yang telah pulas tidur. Sedangkan Roselina bergabung dengan wanita lainnya di kamar sebelah yang agak luas.

Suasana pun hening, tak satu pun suara manusia yang terdengar kecuali dengkur ayah Roselina, Andi dan suara-suara binatang malam.

Namun di tempat lain yang agak jauh dari kampung halaman Roselina, yang berada di pinggir Kota Tarutung terdapat sepuluh orang dari beberapa golongan usia, berjenis kelamin pria sedang mengadakan sebuah rencana besar. Semuanya rata-rata mengunakan jaket hitam.

Mereka duduk di kursi mengitari meja panjang segi empat, yang telah berisi berbagai kulit kacang, minuman alkohol, rokok dan lain sebagainya.

“Para anak buahku sekalian, maaf aku terlambat karena aku tadi ada urusan dengan pimpinan mafia dari Malaysia”, katanya yang baru saja datang dan duduk di kursi di lebaran meja segi empat tersebut.

“Kita punya rencana besok, maksudku nanti pagi”, sambungnya dengan meralat ucapannya sambil menghidupkan sigaret kreteknya.

“Omong-omong apa rencana kita nanti bos”, tanya anak buah yang paling muda.

“Kami jadi penasaran...bos”, sambung temannya.

“Kalian belum tahu ya...! Begini, Diamond Tapanuli Hotel tidak memberikan setoran kepada kita”, papar pimpinan mafia tersebut. “Hanya hotel itulah yang belum memberikan upeti kepada kita”, lanjutnya sambil menikmati sigaretnya.

“Jadi, apa yang harus kami lakukan...”, tanya anak buahnya yang lebih dekat duduknya.

“Buat kerusuhan di sana....”, kata si pimpinan dengan membayangkan Diamond Tapanuli Hotel hancur porak poranda.

“Caranya gimana, bos...”.

“Iya, apalagi hotel itu banyak dijaga polisi”, sambung yang paling muda.

“Saya sebagai Jarot pimpinan Rojan Gan’k harus bisa membuat hancur hotel itu, kalau tidak jangan anggap kalian Jarot sebagai bos dan bersiap-siaplah untuk mendapatkan hadiah yang menyakitkan dariku. Bagaimana menurut kalian...”, paparnya sambil berdiri dengan memegang sisi meja sambil memandang anak buahnya satu per satu.

Semuanya tertunduk dan terdiam. Jantung mereka berdegup keras dan tak tahan membalas pandangan bosnya, si Jarot yang penuh dengan kebengisan dan kebencian.

“Rogan...”, panggil Jarot dengan keras.

“Ya..., bos...”, anak buahnya yang paling muda bernama Rogan tersentak kaget dan semakin menunduk.

“Kamu saya tugaskan memimpin misi ini...”.

“Siap, bos. Tapi, gimana dengan polisinya”, jawabnya dengan ketakutan.

“g***ok banget..”, Jarot marah membuat yang lainnya tersentak. “‘Kan ada Letnan Parto yang akan mem-backing kalian...”, ia menunjuk salah satu anak buahnya yang duduk dekat dengannya yang juga seorang perwira polisi.

“Parto...! Bagaimana dengan kamu”, Jarot bertanya pada perwira tersebut. “Apa kamu bisa ikut ambil bagian”, sambungnya kembali dan juga kembali duduk.

“Saya bisa melakukan itu bos. Jangan khawatir, akan saya lakukan semaksimal mungkin”, jawabnya dengan mencoba menenangkan dirinya.

Parto memang satu-satunya polisi yang menjadi anggota Rojan Gan’k. Sejak kecil ia sudah yatim piatu. Entah kenapa Jarot berbaik hati membesarkannya sampai ia bisa mengikuti pendidikan perwira kepolisian. Aneh, penjahat melahirkan polisi yang akhirnya menjadi polisi yang berjiwa penjahat.

“Bagus...”, pujinya. “Sekarang kita ke mobil...”, perintahnya kepada anak buahnya.

“Baik bos...”, jawab anak buahnya serentak.

Pimpinan mafia dan anak buahnya keluar dari ruangan menuju mobil colt diesel berwarna hitam yang mirip dengan model Suzuki APV. Mereka berhenti setiba di samping kiri mobil hitam tersebut.

“Janus..., buka pintu”, perintah Jarot, lalu Janus membuka pintu. “Beritahu apa-apa saja yang akan dipakai untuk melakukan misi ini”, sambungnya kembali.

Lalu Janus mengeluarkan kotak besar dan panjang berbentuk balok dibantu oleh dua orang temannya. Kemudian ia mengambil tas rangsel dan meletakkannya di tanah.

Tampaknya Janus sangat lihai dengan alat-alat tersebut. Maklum saja, ia sudah lama berkecimpung di Kepolisian bidang perlengkapan dan peralatan keamanan, yang akhirnya mengundurkan diri karena menurutnya bawah gajinya tidak sesuai dengan keinginannya.

“Ini namanya MM 45. Cara pakenya begini...”, Janus memperagakan senjata berwarna silver agak kecil.

“Yang ini namanya AK-47, caranya begini...”, sambungnya dengan membidikkan senapan otomatis berlaras panjang ke arah lain.

“Kalau yang ini, apa...”, tanya Rogan dengan mengambil senjata yang mirip dipakai polisi biasanya.

“Ini namanya Pistol Revolver. Cara memakainya sama dengan pistol Baretta”, papar Parto dengan memberi perbandingan pada pistol yang berukuran lebih kecil lagi. Maklum saja, ia sudah paham dengan hal tersebut karena dia adalah perwira polisi yang sudah pernah mencobanya.

“Lha, yang satu ini untuk apa...”, tanya anak buah yang satu dengan logat jawa sembari menunjukkan tas rangsel tadi.

“O..., ini topeng untuk menutup kedok kita”, Janus kembali memberi penjelasan sambil menunjukkan topeng dari rangsel.

Hampir tiga jam Janus memperkenalkan peralatan yang akan dipakai. Berbagai macam senjata ditunjukkan sampai ke Bazoka dan Granade.

“Oke, pilih saja senjata yang kalian sukai dan segeralah istirahat. Kira-kira jam sembilan pagi kita berangkat...”, si komandan memberi perintah.

Tanpa diperintah dua kali, masing-masing anak buah Jarot memilih senjata yang mereka sukai dan kemudian mereka istirahat.

Mentari mulai mengintip di balik gunung, segala jenis unggas yang ada di kampung halaman Roselina menyambut kedatangannya. Aktivitas pun mulai dilakukan oleh para penduduk di seantero desa tersebut.

Semua teman-teman Roy sudah bangun dan segera bergegas. Roselina pun mengajak mereka ke telaga untuk menikmati hangatnya air telaga, sekaligus menghangatkan tubuh dari rasa dingin yang menyelimuti tubuh mereka.

Mereka berangkat ke telaga dengan membawa segala perlengkapan mandi. Roselina merasa Mario sudah ikut. Namun sebaliknya Mario masih tergolek-golek tidur di tikar yang ada dalam ruang tamu.

Mereka berjalan kaki ke telaga. Ricky berusaha mendekatinya agar bisa berdampingan berjalan. Namun hati Roselina merasa ada yang kurang. Dia tanya satu per satu di mana posisi Mario.

“Aduh, nona cantik...! Kamu nggak usah khawatir dengan Mario. Dia mungkin sedang ngopi ama mertuanya, hi...hi...hi...”, Jenny berusaha melucu untuk menghibur Roselina.

“Ah..., kamu ini...”, Roselina mencoba tenang melihat gelagat Ricky yang mulai aneh.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/7

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 8
« Reply #10 on: August 31, 2013, 07:15:25 PM »
Di rumah Roselina, Mario dibangunkan oleh Ibu Roselina.

“Nak..., bangun...! Kamu nggak ikut sama mereka ke telaga...”, Ibu Roselina menepuk-menepuk Mario agar bangun.

“Aduh...! Maaf, bu...! Jadi merepotkan...”, Mario terbangun dan mengucek-ngucek matanya merasa masih ngantuk

“Nggak apa-apa koq, nak...”, kata Ibu Roselina.

“Eh..., mana mereka bu...”, Mario tekejut melihat situasi tidak ada orang kecuali Orang tua Roselina.

“Mereka lagi ke telaga..! Sruuup...! Ah....”, jawab Ayah Roselina sambil minum kopi.

“Aduh..., aku koq ditinggalin...”, gumamnya kesal. “Maaf..., bu! Aku ke sana dulu ya...”, Ia langsung membuka tas rangselnya lalu mengambil perlengkapan.

“Permisi, bu...pak....”, Mario mohon pamit.

“Ya...”, balas mereka serentak.

Ia segara keluar dari rumah dan menuju semak-semak sambil melihat-lihat sekitarnya. Lalu ia melambung tinggi. Kali ini ia terbang tanpa kostum. Selama terbang ia berusah terbang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah agar tidak dilihat orang-orang.

Dari kejauhan Mario melihat rombongan Roy masih berjalan menuju telaga.

“Wah..., mereka belum sampe...”, ujarnya dalam hati. “Aku lebih dulu, ah...”.

Mario melejit menuju telaga mendahului mereka dan mencoba memperhatikan dari atas apakah ada orang yang mandi. Ternyata tempat itu belum didatangi masyarakat. Ia segera mendarat dan menikmati hangatnya telaga tersebut.

“Masih mencari Mario...”, Ricky mencoba membuka pembicaraan.

“Mmm..., aku rasa di nggak ke mana-mana...”, jawabnya santai.

Di saat berjalan Roselina tidak sengaja memijak batu yang tidak begitu besar. Dia tersandung dan terjatu ke selokan kecil dan tidak terlalu tinggi.

“Aduh..., sakiit”, Roselina meringis kesakitan.

Semua terkejut, Roy ingin mencoba menolong namun terhenti karena di atas kepala Roselina ada ular sawah yang sedang bersiap-siap untuk menggigit Roselina.

“Ros..., harap kamu tenang...! Ada ular di atas kepalamu...”, Boby berusaha menenangkannya agar ular itu tidak menerkamnya.

Mengetahui hal itu Roselina ketakuatan, dan bingung apa yang harus dilakukan.

“Ini kesempatan bagiku....”, Ricky tersenyum. “Jangan khawatir Roselina...! Aku akan menyelamatkanmu...”.

“Eh, apa kamu bisa melakukannya seperti pawang...”, tanya Jenny.

Dia tidak perduli dengan pertanyaan Jenny, ia segara turun ke selokan kecil itu lalu berbicara dengan ular itu.

“Halo...ular manis...! Sssssss....! Sini..., ayo datang ke sini...”, Ia mencoba mengalihkan perhatian sambil mendesis persis seperti ular.

“Hei..! Apa yang kau lakukan? Bunuh diri, ya...”, teriak Roy.

Alhasil ular pun mendekat ke arah Ricky. Mereka terkejut melihat ular tersebut sebab ular itu bukan malah menerkamnya. Sebaliknya ular itu tertunduk di saat Ricky menyentuh kepalanya.

Sebenarnya Ricky masih ketakutan mencoba ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya yang adalah seorang pawang ular. Apa salahnya ia mencoba meski masih pemula. Karena merasa masih memiliki ketakutan maka ia memegang kepala dan ekornya. Lalu ia meletakkannya jauh dari jalan setapak.

Ricky kembali datang mendekati Roselina dan membantunya untuk berdiri. Roy dan yang lainnya masih keheranan.

“Terima kasih, Rick...”, pujinya kepada Ricky.

“Ah..., itu belum seberapa...”, balasnya dengan merasa sedikit tenang apalagi tangannya merangkul bahu Roselina.

“Wah..., kamu hebat, Rick...”, Roy jadi penasaran.

“Ah..., sejujurnya aku ketakukan juga lho..., cuma karena teman kita dalam bahaya, ya...spontan aku beranikan diri untuk menolong sekali pun membahayakan diriku...”, paparnya dengan tidak memberitahukan ilmu yang dipelajarinya.

“Iya, ya...”, Roy pun paham. “Oke..., kita ke telaga lagi...”. Pintanya kepada teman-teman.

Mereka pun kembali berjalan menuju telaga.

“Hmmm...., hebat juga dia ya...! Punya keberanian...”, gumamnya terkagum-kagum. “Gimana dengan Mario, ya? Apakah dia punya keberanian”, tertegun sejenak sambil berjalan.

Sebenarnya sudah ada benih cinta dalam Roselina terhadap Mario, tapi dia belum bisa mengungkapnya. Dia ingin mengetahui apa kelebihan Mario. Dia memang sudah mengetahui sifat Mario tetapi dia masih sulit mencari apakah Mario bisa melindunginya.

“Kamu kenapa...”, Ricky bertanya karena melihatnya melamun.

“Nggak kenapa-kenapa..., cuma aku merasa sukacita setelah kamu menolong aku...”, mencoba untuk menyembunyikan hayalannya.

“Eh..., terima kasih...”, Ricky jadi grogi mendengar pujian Roselina.

Akhirnya mereka sampai ke tujuan. Mereka semua terkejut, ternyata Mario sudah lebih dulu mendatangi telaga. Malah dilihatnya Mario sudah berenang-renang di tengah telaga.

“Busyeet...., kapan kau di sini, bro....”, tanya Roy sambil meletakkan perlengkapan mandinya.

Yang lain juga meletakkan perlengkapannya lalu memakai basahan apa adanya, lalu masuk dalam telaga.

“Dua puluh menit yang lalu....”, jawab Mario dengan berteriak sembari menyelam.

“Mario...”, panggil Roselina sambil berusaha berjalan sendiri tanpa bantuan Ricky.

“Ya..., ada apa”, balas Mario sambil merapat ke tepi telaga, lalu ia duduk.

“Koq kamu bisa duluan ke sini...”, tanya Roselina sambil membuka bajunya, yang di dalamnya sudah ditutupi basahan.

“Apa kamu terbang...”, tanyanya kembali sembari masuk ke dalam telaga.

“Mungkin....”, jawab Mario apa adanya karena merasa cemburu melihat Ricky berjalan bersamanya.

“Jangan ngawur kamu...”, celetuk Roselina sambil menikmati kehangatan telaga.

“Wow...! Lumayan juga bodynya...”, Mario kagum melihat postur tubuh Roselina yang berbentuk akibat air yang membasahi basahannya.

Tak terkecuali Ricky, dia juga kagum melihat body Roselina.

“Hoii..., kamu ngapain sih memandangi aku terus...”, Roselina jadi merasa tidak enak dipandang-pandangi. Dia menutupi badannya dengan masuk lebih dalam lagi ke tengah telaga.

“Ups...! Apa yang kulakukan...”, gumam Mario merasa bersalah. Ia langsung menjauh dari lokasi telaga.

“Mario..., kamu mau kemana”, Roselina memanggil merasa dirinya telah membuat hati Mario tersinggung.

Memang Mario terseinggung, tapi dia menjauh karena memang merasa bersalah.

“Saatnya membalas sakit hatiku”, bisik hati Ricky.

Ricky ke luar dari telaga, lalu memakai kaos oblongnya. Ia mendekatinya Mario yang masih berada di depan yang semakin lama semakin jauh melangkah. Tanpa pemberitahuan Ricky berlari ke arah Mario dengan menyiapkan tinjunya.

Mario tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, akan tetapi pendengaran Mario alias E-Man sangat tajam sehingga ia bisa mengelak dengan cepat sekali.

“Hiaat...”, tangan kanan Ricky hampir mendarat dengan keras. “Grusak...grusak...”, Namun sebaliknya, Ricky malah meninju angin dan terjerembap ke semak-semak.

“Ukh..., sial...”, Ricky kesal dan meringis kesakitan.

“Kamu, kenapa...”, tanya Mario pura-pura tidak tahu.

Ricky berdiri dan mendekat ke arah Mario sembari berkata dan menuding Mario dengan jari telunjuknya : “Hei Mario...! Jangan sekali-sekali kamu dekati Roselina karena kamu tidak berhak jadi kekasihnya...!”

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/8

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 9
« Reply #11 on: August 31, 2013, 07:15:54 PM »
Suara keras dari Ricky membuat para rombongan tergugah dan segera berlari ke tempatnya.

“Ricky...Mario..., ada apa ini...? Kalian bertengkar ya...”, tanya Roy dengan keras.

“Aku sendiri juga heran..., tiba-tiba Ricky menyerangku...”, jawab Mario merasa memang tidak tahu kenapa Ricky menyerangnya.

“Hei...kalian semua...! Ini urusanku dengan dia, jadi jangan ikut campur...”, dengan keras ia meminta mereka untuk tidak ikut campur.

“Ricky...! Apa-apaan ini...! Kamu kenapa...”, hati Roselina berubah jadi panas melihat sifat Ricky yang semakin menjadi-jadi.

“Frend..., sebenarnya aku tidak suka berkelahi, tapi kalau kamu memaksa aku ladeni dengan baik...”¸ ujarnya pada Ricky.

“Aku cinta atau tidak sama Rose...sama sekali aku tidak menyatakannya. Tapi kamu terlalu cepat berprasangka buruk bahwa hubungan kami sudah dekat...”, Mario menjelaskan kembali dengan perasaan gundah.

“O...jadi kamu cemburu ya karena kami berduaan...”, Roselina sadar akan apa yang disembunyikan Ricky.

“Eh..., maaf. Memang aku cemburu...tapi Mario telah menghalang-halangi niatku”, jawab Ricky dengan mengkambinghitamkan Mario.

“Hei...! Sejak kapan aku menghalang-halangi kamu”, Hati Mario menjadi mendidih 100 derajat celcius panasnya. “Kau ingin kuberi pelajaran, ya...”, Mario telah mengepalkan tangannya untuk mendaratkan pukulannya ke wajah Ricky.

Ricky sudah tahu apa yang akan direncanakan Mario sebab Ricky sudah paham betul dengan serangan diam-diam. Maklum saja dia itu atlit bela diri Kempo.

“Silahkan aja menyerang...”, Ricky memanas-manasi Mario

“Tahan...pukulanku...”, Mario menyerang secapat kilat.

“Wushhh..! Bugh...! Degh...! Sregh...”

“Aaaakh...”.

Tak pelak lagi pukulan tangan kanan Mario mendarat di pipi Ricky, dan tendangannya mengenai perutnya. Ricky memang tahu apa yang akan menyerang dirinya, tetapi dia tidak bisa dengan cepat menahan serangan secepat kilat itu, sehingga dirinya terpaksa terlontar jauh dan mengena ke sebuah pohon. Ricky meringis kesakitan.

Setelah melihat kejadian itu semua rombongan terkejut, termasuk Roselina. Roy bertanya-tanya dalam hati : “Sejak kapan Mario jago dalam beladiri...?”

Roselina memang terkejut tetapi bukan takjub, sebab hatinya terkonsentrasi pada sifat Mario yang tiba-tiba menyerang Ricky.

“Mario....”, serunya penuh dengan amarah.

“Ya...”, jawab Mario mendekat.

“Plak...”.

“Bah...”, Roy dan kawan-kawan terperanjat melihat kejadian itu.

Roselina menampar pipinya meski merasa berat dilakukan, tetapi itu dilakukan karena perubahan sifat Mario. Sebenarnya Mario bisa melihat gerakan tangan Roselina, tetapi ia membiarkan tangan Roselina mendarat di pipinya.

“Aku pikir kamu tetap baik seperti dulu, tetapi kamu jauh beda dengan yang kukenal dulu...”, Roselina berkata-kata dengan nada marah sambil memandang Mario dengan mata menyipit dan sinis, tetapi matanya berkaca-kaca.

Roselina segera menjauh darinya dan berjalan ke arah Ricky yang masih terkapar di atas tanah. Dia mencoba membantu Ricky untuk berdiri.

“Uh..., kenapa jadi begini”, Mario bertanya dalam hati, sadar apa yang telah dilakukannya.

Dengan penuh penyesalan, Mario mendekat ke arah Roselina dan Ricky.

“Rose..., Rick...! Maafkan aku...”, ucapnya merasa bersalah.

Roselina dan Ricky mendengar permohonan maaf Mario namun tak sempat membalas ucapannya karena Mario langsung pergi jauh.

“Eh..., Mario...! Tunggu dulu...”, Rio mengejar Mario tetapi terhenti karena Mario sudah jauh dari pandangannya.

Memang tidak diduga dan tanpa terlihat, setelah jauh berjalan, Mario langsung lari secepat kilat dan tiba di rumah Roselina. Ia segera masuk ke dalam rumah, membenahi segala perlengkapannya.

Dia pun menemui orang tua Roselina di beranda belakang rumah yang sedang duduk-duduk santai.

“Bu..., pak...! Saya permisi dulu...”, Mario mohon pamit.

“Lho, mau ke mana kau, nak...”, tanya ayah Roselina penasaran.

“Tiba-tiba saya ada kerjaan pak, baru aja dihubungi”, dia berbohong.

“Apa kamu sudah permisi kepada teman-temanmu...”, tanya ayah Roselina kembali.

“Nggak sempat pak, nanti saya hubungi mereka...”, jawab Mario dengan tenang. “Okelah kalau begitu, hati-hati ya...”, balas Ibu Roselina.

“Salam sama rekan-rekan sekerja dan pimpinanmu di sana, ya...”, sambung ayah Roselina.

“Oke, pak...bu...! Terima kasih atas penyambutan bapak dan ibu. Selamat tinggal, bu...pak....”, kembali berkata-kata pamit.

“Ya..., nak! Selamat jalan...”, balas ayah dan Ibu Roselina serentak.

Setelah mohon pamit ia ke luar dari rumah melalui pintu depan dan segera mencari tempat yang tidak dapat dilihat orang lain kecuali dia. Beberapa detik kemudian dia sudah berubah menjadi E-Man dan terbang secepatnya seolah-olah diburu waktu.

“Akh.....”, E-Man beteriak sekeras-keras dengan hati panas dan kesal.

“Duar....duar....!!!”

Teriakan E-Man menghasilkan suara petir yang membahana dan menggelegar membuat orang-orang di bumi terkejut setengah mati.

“Bos....! Perasaanku tidak enak hari ini..., gimana kalau kita gagalkan saja rencana ini”, kata Janus kepada Jarot dengan merinding.

“Ha..., kamu takut ya...”, bentak Jarot.

Suara itu pun juga kedengaran sewaktu Roy dan teman-temannya sedang kembali ke rumah.

“Perasaanku ga’ enak hari ini...”, tukas Roselina kepada Ricky.

“Ah..., itu perasaanmu saja...”, jawab Ricky berusaha menghibur Roselina yang sedang memperhatikan angkasa biru.

Tidak hanya Roselina, semua rombongan juga melihat ke atas dengan penuh keheranan. Roy sendiri keheranan dan bergumam.

“Wah..., suara aneh...! Apa yang akan terjadi nanti...”.

Seantero bumi Tapanuli Utara juga lengang, dan sempat berhenti beraktivitas setelah mendengar suara gelegar tersebut karena jauh berbeda dari suara halilintar yang biasa didengar oleh manusia.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/9

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 10
« Reply #12 on: August 31, 2013, 07:16:31 PM »
Sekitar pukul 9.30 WIB Roselina, Roy, Ricky, dan teman-teman yang lainnya sudah sarapan dan berencana akan berangkat ke kota.

Roy kembali tidak tenang akan kepergian Mario begitu saja, dan Roselina semakin merasa aneh setelah Mario pergi tanpa pemberitahuan.

“Ladys and gentlemen, we go on now....”, peritah Roy sebagai ketua rombongan kepada rombongannya.

Mereka pun menuju bus yang telah dipersiapkan sebelumnya, dan bus tersebut merupakan bus yang mereka pakai kemarin.

Setelah mereka masuk, bus melaju dengan dengan santai ke tujuannya. Di dalam, semua rombongan penuh keceriaan, apalagi Ricky yang duduk di samping Roselina. Ia merasa berhasil menguasai orang yang dia cintai.

Di tempat lain, mobil gerombolan Rojan Gan’k telah berada di lokasi yang sedikit agak jauh dari Diamond Tapanuli Hotel. Sengaja diparkir agak jauh agar tidak dicurigai dan diketahui oleh para tim Keamanan dari Kepolisian yang sedang berjaga-jaga di sekitar Diamond Tapanuli Hotel tersebut.

Semua gerombolon telah siap untuk menyerang yang telah lengkap dengan persenjataan dan alat komunikasi. Tanpa basa-basi, Jarot sang Ketua geng memerintahkan Parto untuk beraksi terlebih dahulu.

“To, segera kamu selesaikan para penjaga yang ada di sekitar hotel”, perintahnya.

“Oke, bos...”, balasnya sambil membuka pintu samping kiri untuk keluar dari mobil.

“Tunggu dulu, kamu harus ingat mematikan kamera sistem keamanan...”, perintah Jarot kembali.

“Oke, bos...”, lalu Parto segera keluar dan pergi mendekati hotel serta tidak lupa memakai tanda pengenal kepolisian pada jas di dada kirinya.

Setiba di depan pintu, ia langsung diberi hormat oleh para opsir polisi yang menjaga pintu hotel. Dan ia membalas penghormatan mereka.


“Eh, kalian semua...”, panggil Parto.

“Siap Letnan..”.

“Tolong datang ke ruang sistem keamanan...”.

“Ngapain Letnan...”.

“Ada sedikit tips dari aku...”.

“Tapi kami harus berjaga-jaga di sini, Letnan...”.

“Kalian ga’ mau, ya sudah...”, Parto pura-pura buka pintu hotel untuk masuk.

“Eh, tunggu Letnan...”.

“Good, panggil teman-teman kalian..., dan suruh datang ke ruang sistem keamanan, oke...”, perintahnya lalu masuk ke hotel.

“Oke, Letnan...”.


Letnan Parto, anggota Satuan Intel Polisi Wilayah Kota Tarutung menuju lift dan segera ke ruang khusus sistem keamanan.

Parto mengetuk pintu ruang sistem keamanan. Pintu dibuka lalu Parto masuk.

“Pagi semuanya...”, sapanya.

“Pagi...”, balas para opsir tim sistem keamanan.

“Eh, Pak Kapten Rian..., maaf saya terlambat...”, ucapnya pada Pak Kapten Rian.

“Ga’ apa-apa, tapi ngomong-ngomong koq kamu panggil para anak buahku masuk ke hotel. Aku lihat di kamera...”, balas Pak Kapten sambil bertanya dengan penasaran.

“O...itu...”, Parto langsung mengambil sebuah bungkusan yang tidak begitu besar dari kantong kiri jasnya.

“Apa itu...”, tanya Pak Kapten Rian.

“Ini, ada sedikit hadiah berupa uang untuk bapak dan kawan di sini...”, jawabnya.

“Untuk apa, dan dari mana duit itu...”, tanyanya kembali.

“Begini, aku sangat bersyukur atas bantuan bapak dan kawan-kawan. Duit ini saya dapat ketika saya mengikuti pemutaran undian rekening nasabah di Medan. Jadi saya dapat mobil Mitsubishi type Land Cruiser seharga lima ratus juta rupiah lebih, lalu saya jual...”, jelasnya secara detil.

“Wah, koq kamu jual....”, kata Pak Kapten.

“Ya saya jual, kan saya sudah mobil Misubishi Land Cruiser dan juga sudah punya Mobil Nissan. Mubazir saya punya mobil banyak. Apalagi aku sangat ingin berterima kasih sama rekan-rekan dan bapak”, jelasnya kembali.

“Emang, apa yang telah kami perbuat...”, tanya Letnan Dido.

“Masih ingat ga’ waktu kita mengadakan operasi penyelidikan sindikat penyelundupan perempuan di wilayah perbatasan Tapanuli Utara dengan Tapanuli Tengah yang akan di bawa ke Singapura...”, tanya Parto.

“Iya, aku ingat..., emang kenapa...”, tanya Letnan Dido kembali.

“Waktu itu aku terlalu ambisius maju ke depan tanpa mendengar perintah Pak Kapten, ya...aku malah tertembak...! Kalau ga’ ada kalian, wah aku sudah mati...”, jelas Parto.

“O..., karena itu kamu bawa duit ini...! Koq malah repot-repot...”, Pak Kapten merasa terharu atas perbuatan Parto.

Memang ada sedikit hubungannya dengan uang yang dibawa Parto terhadap kebaikan mereka kepada Parto di samping sebagai alat untuk melumpuhkan sistem keamanan hotel, yang pada waktu operasi pertamanya di wilayah Tapanuli Utara ia tertembak karena terlalu ambisius. Sebenarnya pada operasi itu ia ingin membalaskan dendam ayah angkatnya, si Jarot, yang telah membunuh beberapa anak buah Jarot demi memperebutkan wilayah kekuasaan.

“To, kamu ga’ usah repot-repot..., sesama teman harus saling tolong-menolong apalagi dalam tugas...”, jelas Dido sedikit agak menolak karena menganggap Parto sebagai sahabat.

“Aku mohon, terimalah pemberianku...! Aku ikhlas koq...! Habis aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk kalian. Hanya ini yang bisa saya lakukan”, kata Parto sedikit memohon.

“Baiklah, aku terima...”, jawab Dido.

“Aku juga...”, sambung Kapten Rian.

Sebelum Parto memberikan bungkusan tersebut, pintu diketuk dari luar ruangan.

“Masuk...”, kata Pak Kapten.

“Lapor...! Kami diperintahkan Letnan Parto datang ke sini...”, salah satu polisi penjaga pintu melapor kepada Kapten Rian setelah mereka masuk.

“Oke, sini semuanya...”, Parto langsung memanggil mereka.

“Nih Bungkusan berisi duit sebesar seratus juta lebih... aku berikan kepada Pak kapten Rian agar dibagi rata ke semua anggota Polisi yang ada di sekitar Hotel...”, Parto memberikan penjelasan.

“Eh, tolong panggil pak, para sniper dan yang lainnya yang belum ada di ruang ini...”, tiba-tiba ia teringat para sniper yang ada di lantai hotel paling teratas. Sebab itu juga bisa mengagalkan rencana mereka.

“Koq harus, kan bisa nanti atau besok aku kasi...”, Kapten Rian heran dengan permintaan Parto. “Kita, kan lagi situasi pengamanan...di dalam hotel ini banyak para tamu-tamu negara....”.

“Aku tau pak! Tapi, apa salahnya dipanggil...kan, hanya sebentarnya...! Ntar, nanti kelupaan...”, jawab Parto tidak kalah.

“Iya juga ya...”, Kapten Rian membenarkan Parto. “Oke, semua tim unit, tolong datang segera datang ke ruang sistem keamananan...”, Perintahnya melalui HT.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/10

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 11
« Reply #13 on: August 31, 2013, 07:17:11 PM »
Seketika itu juga ruang sistem keamanan dipenuhi para opsir yang menjaga hotel. Dan Kapten Rian menunjukkan sebuah bungkusan serta memberi penjelasan.

“Oke, para anak buahku...! Ini ada bungkusan berisi duit sebesar seratus juta lebih yang diberikan oleh Letnan Parto kepada kita atas ucapan terima kasihnya kepada kita yang telah menyelamatkan nyawa pada waktu operasi penyelidikan sindikat penyelundupan. Masing-masing dapat empat juta...”, jelas Pak Kapten.

“Empat juta...??? Horee....”, merasa heran dan bersorak-sorak dengan girang. Maklum saja, gaji mereka tidak ada sampai segitu.

Pak Kapten mulai membagi-bagi uang tersebut sementara Parto melangkah pela-pelan menuju Komputer sistem keamanan dengan pura-pura mendekati operator dan menyalami komputer.

“Thanks, Letnan...”, ucap salah satu opsir polisi yang menjadi operator. “Sama-sama...”, balas Parto berpura-pura senyum.

Di saat operator lengah dan yang lainnya sibuk dengan menghitung-hitung uang, Parto langsung menekan beberapa tombol khusus tanpa diketahui. Dia berhasil melumpuhkan sistem keamanan dengan dengan cara tetap menampilkan gambar luar dan dalam hotel pada monitor, namun itu hanya gambar mati.

Parto mangambil seluler-nya dari saku kiri celananya, lalu segera meng-SMS Jarot : Sistem Keamanan Lumpuh...! Segera Menyerang. Tapi, ia bingung menekan tombol OKE.

Sebenarnya Parto tidak berniat untuk melakukan hal itu dan tidak tega melihat orang-orang hotel dianiaya. Ternyata Parto masih memiliki hati yang baik dan mau menolong orang. Ia bingung, ibarat sebuah malakama yang diperhadapkan di antara dua pilihan yang harus dipilihnya. Ia ingin menyelamatkan nyawa orang, namun ia juga harus membalas jasa-jasa Jarot terhadapnya. Akhirnya....

“Tuhan, maafkan aku....”, terpaksa Parto menekan tombol OKE, dan SMS pun terkirim.

Seluler Jarot bergetar tanpa suara, dan ia melihat pesan masuk serta langsung memberikan perintah.

“Rogan, pimpin serangan....”, perintahnya

“Oke bos....”, jawabnya. “Oke, ayo semua bergerak”.

Tepat pada pukul 10.00 WIB, para gerombolan keluar dari mobil dan berlari-lari menuju Hotel.

Orang-orang sekitar tidak terkejut, tapi terkagum-kagum. Mereka tidak curiga karena gaya mereka mirip dengan pasukan polisi khusus.

Di saat Rogan masuk pintu tiba-tiba alram berbunyi. Rogan tiba-tiba terkejut. Dia segera mencari tahu siapa yang melakukan itu. Ternyata seorang satpam yang akan siap-siap menembak karena curiga melihat kedatangan dan tampang mereka. Sebab setahu dia bahwa polisi yang ditugaskan di hotel tidaklah berperalatan sangat lengkap.

Di saat sang satpam ingin menembak, namun ia lebih dahulu ditembak Rogan sebanyak tiga kali.

“Dor...!!! Dor...!!! Dor...!!!”

“Akhh...”, sang Satpam tersungkur bersimbah darah di dada dan kepalanya.

Suara Alram membuat para polisi yang ada di dalam hotel terkejut. Termasuk juga para tamu. Apalagi suara tembakan membuat orang-orang di dalam hotel panik seketika dan berlari kucar-kacir mencari tempat berlindung.

Kapten Rian, Letnan Dido dan yang lainnya segera menuju lokasi kejadian penembakan. Parto juga bergerak ke tempat. Ia heran. Koq bisa alaram bunyi. Ia tidak sempat menyelediki hal tersebut karena memang tidak sampai kepikirannya.

Di saat para polisi melihat mereka, langsung para gerombolan itu menembaki para polisi tersebut. Susana semakin memanas dan hampir semua benda-benda yang ada di dalam ruangan hancur berantakan. Orang-orang yang masih ada di lokasi hanya bisa merunduk dan berteriak histeris.

“Hei..., kalian cepat cari tempat perlindungan...”, teriak Dido kepada mereka yang berada di tengah-tengah lokasi kejadian.

Suasana kembali hening, melihat ada kejadian yang tidak beres, sang ketua, Jarot langsung bergerak menuju hotel dengan mengeluarkan Pistolnya dari balik baju.

Sambil merunduk, dia mendekati tempat perlindungan Rogan.

“Koq kalian menembak tanpa kuperintahkan...”, tanya Jarot.

“Maaf bos, tiba-tiba satpam menekan tombol aalram...dan akan menembak kami. Ya terpaksa aku tembak...”, jelas Rogan dengan merunduk.

Letnan Dido mulai panas, lalu ditembaknya ke arah gerombolan tersebut sekalipun tidak kena. Dia mencoba menggertak dengan cara menembak.

Jarot segera mencari siasat untuk menyerang. Dia menyuruh Janus dan lainnya menyerang lewat pintu belakang hotel.

“Nus..., kamu lewat dari belakang”, perintahnya. “Bawa temanmu...”.

“Oke bos..., hei kalian berlima ikut aku...”, segera mememinta teman-temannya ikut dia.

Janus dan teman-temannya, namun hal itu terlihat oleh Parto dan membiarkan mereka masuk lewat tangga luar yang ada di belakang hotel.

“Eh, Parto...”, kata Janus. “Kamu koq di situ aja, bantu kami dong...”. Ajaknya sambil berlari menuju belakang Letnan Dido dan teman-temannya.

Para polisi itu hampir terkepung dan beberapa anggota polisi terkena tembakan dari belakang tanpa diduga.

Ternyata sifat kemanusiaan Parto masih ada, dia tidak tega melihat rekan-rekannya mati konyol.

Kapten Rian sudah tidak punya tempat perlindungan, dan Rogan telah bersiap-siap untuk menembak Rian dengan Magazine-nya, begitu juga dengan teman-teman yang lainnya.

Untuk menjaga dan melindungi diri, Kapten Rian hanya bisa menembakkan senjatanya ke arah Janus dan teman-temannya.

Janus dan beberapa temannya terkena peluru panas. Janus dan yang lainnya terjatuh, namun kembali bangkit berdiri. Kapten Rian terkejut.

“Ha...? Mereka pake rompi anti peluru...”, gumamnya.

Dido dan yang lain mencoba untuk melindung Rian, namun tak bisa karena mereka juga harus berusaha untuk melindungi diri dari tembakan para anak buah Jarot.

Setelah bangkit berdiri, Janus dan yang lainnya mengacungkan senjatanya ke arah Kapten Rian. Dan siap untuk menembak. Melihat kejadian tersebut, Parto segera berlari untuk melindungi Kapten Rian dengan memeluk tubuhnya sembari membelakangi mereka yang mereka. Peluru pun dimuntahkan....!

“Dor...! Dor..! Dor...!”

“Dor...! Dor...! Dor...!”

“Dor...!”

“Akh....”.

“Gedebugh....!!!”

Parto berhasil melindungi Kapten Rian, meski ia memeluknya sampai terjatuh. Namun naas bagi Letnan Parto. Punggungnya telah berlumuran darah oleh beberapa besi panas yang telah menembus tubuhnya. Tak pelak, ia akhirnya tersungkur namun masih tetap memeluk tubuh sang kapten.

Kapten Rian terkejut, dan segera berteriak. Ia tidak perduli dengan yang lain.

“Parto, kau tidak boleh mati...”, ucapnya dengan mata berair.

“Letnan....”, teriak Letnan Dido seraya meraya menuju Kapten Rian untuk menghindari tembakan.

Tidak hanya Letnan Dido dan teman-temannya yang terkejut, tapi Janus dan yang lainnya ikut terkejut.

Sebenarnya Janus dan teman-temannya tidak panik, namun terkejut setelah punggung Parto berlumuran darah.

“Hahh, setahuku si Parto tadi pake rompi anti peluru”, gumamnya perasaan. “Tapi tubuhnya koq berlumuran darah...! Ide apalagi ini...”, semakin gusar.

Sementara waktu hening seketika....

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/11

Offline alex77

  • FIK - Newbie
  • *
  • Posts: 32
  • Reputation Power:
  • Denominasi: Bruce Haters
Bab 12
« Reply #14 on: August 31, 2013, 07:18:22 PM »
Tiba Jarot dan yang lainnya segera menuju suara teriakan Kapten Rian tadi. Ia terkejut melihat Letnan Parto berlumuran darah yang masih dirangkul Kapten Rian sembari menangis. Tubuhnya pun bersimbah darah.

Dido dan yang lainnya berusaha untuk meninggalkan tempat melihat kedatangan Jarot, namun mereka dihadang oleh Janus dan teman-temannya.

“Hei, mau ke mana”, ancam Janus dengan pistolnya.

“Semuanya, jatuhkan senjata kalian masing-masing dan angkat tangan...”, Rogan juga ikut mengancam dan memerintahkan mereka agar meletakkan senjata mereka.

Dido dan rekan-rekannya meletakkan senjata ke lantai dan segera angkat tahan. Para anak buah Jarot yang lainnya tidak tinggal diam. Mereka segara mengambil senjata-senjata yang telah dilantai.

Lain hal dengan Jarot. Dia melangkahkan kakinya menuju Parto, dan menendang Kapten Rian.

“Minggir sana...”.

“Dugh....”.

“Akh...”.

Rangkulan Kapten Rian terlepas, dan iapun tersungkur jauh ke belakang. Janus langsung mengacungkan pistolnya ke arah Rian dan menyuruhnya angkat tangan.

Sementara Jarot merangkul tubuh Parto dan mengusap-usap wajahnya.

“To...! Mengapa kau lakukan ini...”, teriaknya dengan keras

Parto tidak menjawab apa-apa, dia diam saja. Apalagi tubuhnya sudah terbujur kaku dan terasa dingin bila disentuh.

“Andai tak kau lakukan ini, kau tidak akan seperti ini...”, ucapnya kembali sembari meletakkan tubuh Parto ke lantai dengan perlahan-lahan.

Bos Rojan Gan’k pun menyelimutinya dengan taplak meja yang ada di dekatnya. Sedangkan Rian, Dido, dan yang lainnya merasa heran melihat kesedihan Jarot.

“Bah, ternyata dia kenal Parto...”, gumam Rian penasaran. “Tapi, Parto koq melindungi saya...”.

“Ada hubungan apa dia dengan Bos Mafia itu...”, tanya Dido berbisik kepada rekannya.

“Mungkin entah bapaknya, tulangnya, atau saudaranya kali...”, jawab rekannya.

“Tapi, dia koq melindungi Kapten...”, Dido bertanya kembali.

“Mana aku tahu...”, sanggahnya.

“Mungkin Parto satu keluarga dengan Dia, tetapi kepribadiannya tidak sama dengan Bos Mafai itu...”, bisik Dido.

“Mungkin juga...”.

Jarot berdiri dan memerintahkan para anak buahnya untuk mengumpulkan dan menyatukan para sandera.

“Hei, Nus... Rogan....! Satukan para sandera dan bawa mereka ke lantai lima”.

“Satu lagi...! Cari orang-orang yang masih bersembunyi..., termasuk si empunya hotel ini...”, perintahnya kembali sambil melihat-lihat di mana bersembunyi sang pemilik hotel.

“Di mana si Jacob itu bersembunyi...”, gumamnya.

Janus dan Rogan pun membagi tugas. Janus membawa para sandera ke lantai lima melalui tangga sedangkan Rogan mencari orang-orang yang masih bersembunyi. Alhasil, Rogan juga menemukan beberapa pria dan wanita dari persembunyian. Yakni para karyawan dan tamu, termasuk Direktur sekaligus pemilik Diamond Tapanuli Hotel.

Rogan dan teman-temanya pun membawa para sandera ke lantai lima. Namun dia menyuruh beberapa orang temannya tinggal untuk mengamankan pintu utama dan belakang serta menjaga keseluruhan lantai satu.

Di lantai lima, Jarot memerintahkan anak buahnya untuk memonitor keamanan hotel melalui komputer yang ada di ruang sistem keamanan.

Lalu dua orang anak buahnya pun pergi menuju ruang sistem keamanan. Kedua orang tersebut ahli dalam komputer. Baik software maupun hardware.

Sekitar 10.30 WIB bus yang berisikan rombongan Roy dan teman-temannya tiba di depan Diamond Tapanuli Hotel. Sebelumnya mereka telah shopping ke mall. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam hotel karena suara tembakan sudah tidak ada.

Roselina dan teman-temannya pun masuk ke dalam hotel. Dan seketika itu juga mereka terkejut melihat ruang chek in berantakan dan disertai beberapa bekas-bekas tembakan yang di dinding, lantai, maupun barang-barang yang ada di dalamnya.

Melihat hal itu, beberapa anak buah Jarot yang sedang berjaga-jaga di lokasi tersebut segara mengacungkan senjata ke arah rombongan Roy.

“Jangan bergerak...”

“Angkat tangan...”.

Mereka terkejut melihat kedatangan para anak buah Jarot sambil mengacungkan senjata ke arah meraka. Apa boleh buat, Roy dan teman-temannya terpaksa mengangkat tangan.

Ricky tak tahan melihat situasi tersebut, apalagi gadis yang dicintainya didorong-dorong tubuhnya. Dengan hati geram dia langsung melompat menuju orang tersebut.

“Hiaat...”, Ricky menyerang dengan tendangan ke arah orang yang telah mendorong Roselina.

“Dugh...”.

“Akh...”, terlempar ke arah meja ruang chek in.

Melihat hal itu para anak buah Jarot yang ada dilokasi segera mencoba untuk menembak Ricky. Namun Ricky ternyata cukup lihai. Dia mengagalkan mereka yang akan menembak sambil menendang benda-benda yang ada di sekitarnya ke berbagai posisi para anak buah Jarot.

“Pakh..., pakh..., pakh...”.

“Akh...”.

“Hekh....”

“Aukh...”.

Tendangan Ricky memang sangat kuat, sehingga meja, kursi, dan yang lain begitu keras menghantam para penjahat tersebut.

Rupanya hal itu sudah terlihat oleh Janus di ruang sistem keamanan. Sehingga dia segera ke lantai bawah untuk melihat situasi serta mengamankannya.

Ricky dan dan teman-temannya aman sementara. Roselina pun mendekati dan memeluknya.

“Ternyata kamu hebat juga Rick...”, bisik Roselina seraya mencium pipinya. “Cup...”.

Jantung Ricky berdegup kencang karena dia baru saja merasakan ciuman seorang gadis ke pipinya. Dia merasa gembira karena memang baru kali itu dia dicium seorang gadis yang sangat cantik.

“Wow, kamu memang hebat frend...”, puji Roy sambil menepuk punggung Ricky. Seketika itu juga Roselina melepaskan rangkulannya dengan wajah malu.

Teman-teman yang lain pun ikut memujinya. Namun keadaan seperti itu tidak berlangsung lama karena Janus sendiri datang dengan membawa senjata yang lebih hebat lagi.

“Hebat...”, ucap Janus dengan sinis sambil mengarahkan senjatanya ke arah Ricky.

Roselina dan yang lainnya kembali ketakutan. Dan ternyata Si Jarot dan beberapa anak buahnya yang telah mengikuti Rogan tanpa sepengetahuannya. Jarot tahu karena telah diberitahukan oleh salah satu anak buahnya yang sedang memonitor di ruang sistem keamanan. Namun Jarot dan yang lainnya tidak menampakkan diri. Dia ingin melihat sampai di mana kehebatan anak muda tersebut melawan Rogan. Sekaligus juga menguji kehebatan Rogan anak buahnya.

“Trims...! Tapi bagaimana dengan kamu sendiri...”, sambut Ricky juga dengan sinis sambil menunjukkan senjata yang diarahkan Janus kepadanya. “Aku pikir pria itu lebih hebat bila bertarung tanpa senjata, ya..., kan...”, mencoba memancing Janus agar bertarung dengannya tanpa senjata.

“Oh, ya...! Siapa takut...”, Janus terpancing, dan meletakkan senjatanya ke lantai. “Oke, serang aku...”, Janus menyuruh Ricky untuk menyerangnya seraya memberi kode untuk menyerang dengan tangannya.

“Oke...man...”, Ricky mengepalkan tangannya dan menyerang. “Hiiiaat...”.

http://id.wikibooks.org/wiki/Electric-Man/12