Damai sejahtera Tuhan Jesus Kristus menyertai FIKers sekalian.
Menyambung cerita yang terputus.
Sebelumnya, ingin menyampaikan terima kasih kepada Phooey dan Salt. Untung saja dugaannya tentang saya terhitung positif, meskipun salah. Dan saya akan marah besar seandainya saya diduga pengedar, ato mantan pemakai yang diminta berceramah tentang narkoba.
Dulu, saya anak desa. Ayah saya kepala desa. Tidak seorangpun warga desa yang berani melecehkan saya, baik dari segi agama, warna kulit, atau hal-hal lain. Malah cenderung, walau saya melakukan kenakalan kanak-kanak ato kenakalan remaja, saya selalu 'dimaafkan' oleh warga, tetapi akan 'dihajar' di rumah.
Terkait dengan keberagaman agama, seingat saya, yang saya dapat dari sekolah, tidak mengekspose keagamaan. Cukup pada amanat-amanat upacara bendera, ditekankan bahwa kita (warga NKRI sangat beragam). Mata pelajaran Agama, yang dipelajari adalah Agama yang dianut pengurus yayasan. Jadi, boleh dibilang, tidak pernah membicarakan agama selain agama yang dianut oleh yayasan.
Meski sekolah saya yayasan pengikut Kristus, tetapi beberapa orang penganut Islam, dan Budha ada yang bersekolah di sana. Sejak kelas II sampai dengan kelas VI, teman semeja saya seorang penganut Islam (dulu meja belajar di sekolah memang dirancang untuk berdua-dua). Dia sangat taat. Tidak pernah ada insiden di antara kami berdasarkan perbedaan agama.
Enjoy, semua
enjoy.
Nah, yang ingin saya sampaikan, menurut pengalaman saya, cukup saja disampaikan kepada anak bahwa agama yang eksis di negeri ini ada beberapa, dan si anak adalah penganut satu dari antaranya sesuai dengan agama yang dianut orang tuanya. Jika dari anak muncul pertanyaan-pertanyaan yang mendalam mengenai agama selain yang dianut, dikatakan saja apa adanya, tanpa tendensi mengekspose keburukan-keburukan agama lain.
Saya kira, itu.
Ternyata pengalaman kawan-kawan sudah lengkap, ya?
Damai, damai, damai.