Studi kasus:
Si A adalah pelanggar HAM, suka membunuh, dan bertindak tidak adil terhadap sesama.
Suatu saat si A tertangkap dan di adili.
Jika kita yang menjadi hakim dari si A tsb. , dan sebagai seorang kristen,.. bagaimanakah kita harus memutuskan ?
Apakah kita harus adil,.. atau kita harus full of compassion ??
Menurut saya, jika kita yang menjadi hakim pada kasus tersebut, kita harus bersikap sebagai hakim, bukan bersikap sebagai Kristen. Memang benar, di negara kita ini, mengingat sila pertama Pancasila, tidak mungkin seseorang bisa menjadi hakim bila tidak beragama (berkepercayaan). Namun, setelah terekrut menjadi hakim, saya kira, walau dia menganut kristen, kekristenan si hakim harus agak dikebelakangkan. Meski si hakim melepas kekristenannya saat menghakimi, namun ajaran kekristenan itu sudah menyatu dalam pribadi si hakim, dan keputusan yang diambil layak diharapkan memang kristiani. Kristiani bukan Kristus, bukan? Yahhh... berupaya menyerupai Kristus, tetapi bukan Kristus.
Si pelanggar HAM yang ketangkap itu juga, idealnya, sudah mengetahui bahwa dia melanggar HAM, maka konsekuensi pelanggarannya harus diembannya. Kalau dia tidak ingin menerima hukuman, maka dia harusnya tidak melakukan pelanggaran. Jadi, sepanjang si hakim mendasarkan keputusannya pada aturan hukum yang berlaku di pengadilan dunia, saya pikir, tidak perlu ada kerisauan.
Agak OOT sedikit, mungkin berdekatan dengan latar pikir JP III mengemukakan studi kasus ini, ialah pemikiran para tersangka/terdakwa kasus-kasus kriminal. Yang akhir-akhir ini mengemuka kembali ialah kasus "Jagal dari Jombang". Ketika melakukan pelanggaran HAM, sang tokoh tersebut tidak mengenakan atribut agama. Ketika menjalani proses peradilan, sang tokoh mengenakan atribut agama secara lengkap. Kira-kira, apa tujuannya?
Menurut saya, ya untuk 'mengemis' empati dari sang hakim yang juga seorang pemeluk agama, agar ketika mengambil keputusan, menyelipkan nilai-nilai kebaikan agama yang dianutnya. Nah, jika kembali ke pertanyaan studi kasus, maka sebagai seorang Kristen yang ditunjuk sebagai hakim, saya harus mengikuti ajaran Jesus Kristus, yang telah dikemukakan Phooey. Saya sependapat dengannya. Pada saat menjalankan tugas sebagai hakim, sang hakimnya harus mengkebelakangkan kekristenannya, sebab pada saat pengadilan itu, sang hakim menjalankan urusan dunia, bukan urusan Tuhan. Yahhh... istilah kerennya, pada saat mengambil keputusan profesi, maka si pengambil keputusan harus memilih
professional judgement, bukan yang lain.
Itu dari saya, damai, damai, damai.