Di Surabaya ada sinagoga di jalan Kayoon dan sudah dibongkar.
Tapi sedikit kog komunitasnya.
http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/robohnya-sinagog-yahudi-di-surabaya-566963.html
Setelah mebaca berita di
link yang Phooey berikan, terbersit di pikiran saya, "Wah... negeri Pancasila ini ternyata berbeda sikap kepada segala sesuatu yang berasal dari luar. Jika ditinjau dari model bangunannya, dikatakan berarsitek Eropa, dan banyak bangunan lainnya berarsitek Eropa, tidak dirobohkan. Kelihatannya, perobohan itu adalah karena berbau keyahudian. Dan itu pula yang mengherankan, mengapa negeri Pancasila ini bersikap beda kepada sesuatu yang berbau keyahudian dengan kepada yang berbau keislaman, atau kekristenan, atau kebudhaan, atau kehinduan? Patut diduga, negeri Pancasila ini mengidap sejenis sindrom etnik.
Ditinjau dari segi kenegerian, apa beda aroma keislaman, kekristenan, kebudhaan, kehinduan dengan keyahudian bagi Indonesia? Lha, semua itu berasal dari luar Indonesia. Islam dari Arab, Kristen dari Eropa, Budha dari Cina dll, Hindu dari India dll. Mengapa memperlakukan khusus atas keyahudian? Mengherankan. Kayaknya ada yang salah dalam kejiawaindonesiaan kita.
Kalo mau berpikir obyektif, negeri-negeri yang ada warga Yahudinya relatif lebih maju daripada negara-negara yang tidak ada warga Yahudinya. Dari fakta itu, hendaknya bisa disimpulkan bahwa 'aroma Yahudi' itu mempunyai andil dalam memajukan negeri (lepas dari keimanan bahwa Yahudi adalah bangsa terberkati). Tetapi, mengapa negeri ini mengalergikan keyahudian? Dan patut diduga, karena penyakit kejiawaan seperti itu pula yang menjadi spirit negeri ini, sehingga hasilnya, meski sudah merdeka lebih dari 65 tahun, nyatanya masih sebagai negara berkembang (karena sungkan melabeli sebagai negara terbelakang).
Apakah para petinggi negeri ini tidak menagkap korelasi seperti itu? Ahh... puyeng".