Ketergantungan Indonesia untuk Berutang Masih Besar
Sabtu, 13 Oktober 2012 | 16:45 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah untuk berutang saban tahun mendapat sorotan dari berbagai pihak. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013, penarikan utang baru berjumlah Rp 230,2 triliun melalui penerbitan Surat Berharga Negara (netto) Rp 177,3 triliun, pinjaman luar negeri sebesar Rp 45,9 triliun, dan penerus pinjaman luar negeri sebesar Rp 6,97 triliun. Jumlah penarikan utang di tahun depan meningkat 3,7 persen dari anggaran tahun 2012 yang sebesar Rp 221,8 triliun.
Peningkatan volume penarikan utang pemerintah disebabkan masih tingginya ketergantungan terhadap utang untuk membiayai defisit anggaran. Hal itu terjadi karena terjadi peningkatan beban pembayaran utang dan jatuh tempo utang-utang lama yang ditutupi melalui penarikan utang baru. Sementara rata-rata pertumbuhan penarikan utang baru 2009-2012 sebesar 13,2 persen.
"Saya tidak setuju menggunakan rasio utang terhadap PDB ini karena menunjukkan indebtness menggambarkan sejauh mana pemerintah mengalami beban utang jadi bukan menggambarkan sejauh mana pemerintah memiliki kemampuan pembiayaan anggaran mereka. Sebaiknya yang dipakai itu rasio pembayaran utang terhadap APBN. Jadi itu salah satu indikator berapa triliun dikeluarkan oleh pemerintah untuk bayar utang dan berapa untuk belanja," kata Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan, Jumat (12/10/2012).
Menurut Danny cara penghitungan rasio utang terhadap PDB (produksi domestik bruto) pemerintah menggunakan strategi net negatif flow, pembayaran utang lebih banyak dari penarikan utang baru lalu pertumbuhan ekonomi digenjot.
"Pertumbuhan ekonominya tinggi, pembayaran utang besar, otomatis Debt to GDP turun. Tapi sama sekali tidak mencerminkan beban yang harus ditanggung dalam pembayaran utang. Kalau kita gunakan debt to government spending ratio, belanja negara Rp 1.600 triliun, utangnya Rp 200 triliun. Berapa persen dari APBN untuk belanja negara dan bayar utang," kata Dani.
Jika rasio utang dihitung terhadap APBN, nantinya anggaran utang dapat dibandingkan dengan pagu anggaran yang lain. Porsi pembayaran cicilan bunga dan pokok utang dalam RAPBN 2013 mencapai Rp 171,7 triliun. Jumlah tersebut mengambil porsi 15 persen terhadap total RAPBN 2013. Angka tersebut meningkat 2,4 persen dari tahun 2012 yang sebesar Rp 167,5 triliun. Alokasi anggaran utang di RAPBN 2013 jauh melebihi jumlah anggaran kesehatan yang hanya Rp 50,9 triliun yang disalurkan melalui kementerian/lembaga dan transfer daerah.
KAU mencatat selama 12 tahun terakhir (2000-2011) kemampuan untuk menyerap utang luar negeri saja misalnya hanya berkisar 71,2 persen. Hal ini berakibat timbulnya beban tambahan dalam bentuk pembayaran commitment fee.
Menurut Wakil Ketua Badan Anggaran Tamsil Linrung selama ini pemerintah berutang untuk membayar utang sebelumnya atau seperti istilah gali lubang tutup lubang. "Selalu utang kita lebih kecil daripada kewajiban membayarnya. Itulah mengapa pemerintah mengatakan tiap tahun berkurang utang karena lebih kecil dibandingkan membayar. Tapi jangan salah risiko bunganya lebih tinggi," kata Tamsil.
Tamsil juga menyoroti fee untuk pembiayaan utang yang disebutnya mafia utang. "Memang mafia utang sangat besar. Sebab saat kita negosiasi utang saja sudah ada fee di situ. Kemudian ketika utang dibuat, belum dijalankan kita sudah harus membayar manajemen base. Dulu banyak utang-utang kita yang tidak digunakan, misal kredit ekspor. Kita sudah kasih fee-nya tapi tidak jadi," kata Tamsil. (Oginawa R Prayogo/Kontan)
Lhoh, beberapa tahun lalu bukannya dikatakan bahwa hutang kita sudah menyusut?
Kalau makin lama makin besar, bayarnya gimana? Pakai apa? Dan siapa yang bayar ?