sorry banget saya lama bales.
Sibuk banget nih... maklum... musim liburan, kita kita disini "panen" ... ini aja saya kebetulan dapet nyuri2 waktu - hehehe . Saya berharap masih punya nyuri waktu lagi di hari besok utk sempet membaca/membales kalo ada respond2 dari temen2 ... namun saya gak pasti. Karena kalo 1 hari besok ternyata gak sempet ... maka artinya kita "berjumpa" lagi taon depan diatas tanggal 5 januari 2013. Mohon dimaklumi yah ....
Haha, well, saya benar benar mengapresiasi tekad anda untuk berdiskusi dan mencari kebenaran, untuk orang yang memeluk kepercayaan di luar Kekristenan (sekalipun tidak memeluk pun saya anggap sebagai agama, hehe), anda benar benar mendahulukan logika dan kebenaran, bukan asal fanatik dan bertanya membabi buta. Sejauh ini saya hanya kenal anda dan sanctuary di FK yang berdiskusi dengan cara cara yang santun.
So, anda tidak perlu khawatir, diskusi akan selalu terbuka, dan apapun itu pekerjaan anda, semoga berhasil dalam segala hal.
Oke, enough chit chat, back to topic...
saya akui, saya "tertekan" rasanya kalo saya kadang berpikir yang di bold ---> mengapa sepertinya menjadi "dosa" (bersalah) ... kalo2 "mao gak mao" kadang saya berpendapat yang ungu bersamaan juga dgn keMaha-anNYA yah ? Apakah ini karena kita secara gak sadar saya/kita sudah "terdikte" utk JANGAN (dilarang, tidak boleh) utk berpendapat demikian dimana itu = dosa! (salah) ?
Saya kok tidak merasa kita perlu tertekan atau merasa bersalah ketika kita berpikir bahwa Allah memiliki perasaan seperti yang ungu..
Justru dengan demikian paham theis-teistis kita menjadi lebih aplikatif dan "terasa"
Ketika saya berbuat dosa, saya merasa Allah kecewa terhadap diri saya, dan saya sungguh sungguh menyesalinya
kira kira demikian.........
Bukankah justru aneh jika Allah tidak memiliki sifat seperti yang ungu? Jika Allah tidak bersifat ungu maka Allah theis-deistis lah sebenarnya Allah yang kita sembah. Yang diam tak merasa apa apa terhadap tindakan apapun yang kita buat...
jadi... ya .... jawaban pertanyaan sword adalah YA dan "tentu"nya menuntun ke pemikiran yg lebih jauh (yg tidak mungkin bisa pasti jawabannya... namun setidaknya boleh (boleh?) disimpulkan) .
Saya kutip komentar anda di atas untuk membatasi diskusi kita agar tidak melebar, jadi, apapun yang kita bicarakan disini, adalah berkaitan dengan relasi Allah dengan dunia temporal material, bukan dunia kekal Allah.
Saya singgung sedikit disini agar tidak membingungkan, dalam kekekalan, saya berpendapat bahwa Allah tidak mengalami perubahan, artinya, sifat yang ungu tersebut tidak dimiliki (DALAM KEKEKALAN LO YAH)
Sekaligus disini anda mengunci jawaban saya, YA, ungu dapat diartikan literal dalam relasi Allah dengan dunia temporal, sehingga pertanyaan yang tersisa adalah
"SEJAUH MANA"
_____________________
"serba-salah".
Kalo kita mengertikan secara MEMANG Allah adalah betul2 suatu pribadi yang Hidup ---> maka ini menuntun ke pendapat : YA... Allah memang betul2 ungu[/u]. (dgn catatan : tentu jgn dimengertikan blekplek ibarat seorang manusia).
Asumsi-nya :
kita "mengerti" seekor guggug bisa marah, gundah-gulana, senang, dlsb ---> dgn catatan tentu tidak dimengertikan blekplek seperti seorang manusia yg sedang marah/gundah-gulana/senang dlsb .
Nah .. "serba-salah"nya itu ... :
tapi kok ya sepertinya tidak diperbolehkan/dosa/dilarang/salah kalo sso sampe berpendapat yang ungu adalah coklat diatas yaaaaaa ?? .
Terdapat sesuatu yang cukup rumit disini dan berpotensi membahayakan,
saya mulai dengan argumentasi derajad kesempurnaan (anda pasti sering dengar argumen ini ketika di FK dulu, hehe)
semakin kompleks dan sempurna suatu organisme, maka tinkat sense yang dirasakan semakin kompleks dan nyata
rasa takut, marah, bahagia dari sebatang pohon mungkin hampir tak terdeteksi
namun seiring kompleksitas species,
rasa rasa tersebut makin nyata dan makin dikenali dalam level menusia
sederhana
kemarahan seekor lipan tentunya berbeda dengan kemarahan induk ayam
dan lebih berbeda lagi dengan kemarahan manusia
dan sebagaimana telah kita pahami semua
terdapat hukum CORRUPTIO PESSIMI OPTIMA disini
semakin kompleks derajad suatu makhluk, maka efek yang diakibatkan dari kesalahan makhluk tersebutpun semakin besar
atau
semakin baik suatu organisme, jika mengalami kerusakan, maka kerusakan itu semakin fatal.
anda nampaknya melihat masalah ini
jika Allah, benar benar memiliki sifat ungu, termasuk marah didalamnya, akankah kemarahan itu berada berjuta juta level di atas "kemarahan" manusia? sebagaimana kasihNYA, yang melampaui manusia
oleh sebab itu, disini kita perlu berhati hati untuk tidak "memukul rata" seluruh emosi yang ada dalam sifat ungu..
menarik untuk dipikirkan, namun banyak bahaya yang menanti
Salam
Terima Kasih atas komennya Bro