Forim Iman Kristen
Diskusi Tanya Jawab => Diskusi Kristen => Topic started by: Phooey on August 01, 2012, 04:28:13 PM
-
10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
17 Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat.
(1Co 7:10-17 ITB)
Seperti kita ketahui, pernikahan Kristiani adalah monogami, antara seorang pria dan seorang wanita dan tidak terceraikan.
Akan tetapi Rasul Paulus pada ayat tersebut diatas mengijinkan dengan kondisi yang disyaratkan.
Any comment ?? :think:
-
10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
17 Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat.
(1Co 7:10-17 ITB)
Seperti kita ketahui, pernikahan Kristiani adalah monogami, antara seorang pria dan seorang wanita dan tidak terceraikan.
Akan tetapi Rasul Paulus pada ayat tersebut diatas mengijinkan dengan kondisi yang disyaratkan.
Any comment ?? :think:
Monogami dan tidak terceraikan, sebenarnya dua hal yang beda. Tidak serta merta kalau 'cerai' berarti bukan 'monogami'. Bisa saja cerai tapi tetap 'monogami'. Kalau diceraikan tapi tidak kawin lagi.... tetap saja 'monogami'.
Benar, pada prinsipnya perkawinan tak dapat cerai.... tapi Alkitab sendiri menceritakan kasus-kasus khusus dimana suatu Perkawinan (sah) bisa dibatalkan (cerai). Karena zinah juga karena sebagaimana yang dimaksud di ayat tersebut diatas yang lebih dikenal dengan "privilegium paulinum" (terjemahan bebasnya: hukum/hak khusus ala Paulus).
Privilege ala Paulus ini diacu di Kanon 1143.
====
Salam,
-
10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
17 Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat.
(1Co 7:10-17 ITB)
Seperti kita ketahui, pernikahan Kristiani adalah monogami, antara seorang pria dan seorang wanita dan tidak terceraikan.
Akan tetapi Rasul Paulus pada ayat tersebut diatas mengijinkan dengan kondisi yang disyaratkan.
Any comment ?? :think:
Yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang adalah frasa "tidak terikat/not under servitude" dimaksud.
A. hanya bebas dari ikatan perkawinan
atau
B. Bebas untuk kawin lagi
Ada yg mengiyakan "A"
ada pula yg pro "B".
===
Kalau saya, cenderung pro dengan yang "A". karena B otomatis menggugurkan prinsip Monogami. Dan juga karena mengawini "orang yang diceraikan" adalah sama dengan zinah.
===
Salam,
-
10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
17 Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat.
(1Co 7:10-17 ITB)
Seperti kita ketahui, pernikahan Kristiani adalah monogami, antara seorang pria dan seorang wanita dan tidak terceraikan.
Akan tetapi Rasul Paulus pada ayat tersebut diatas mengijinkan dengan kondisi yang disyaratkan.
Any comment ?? :think:
Monogami dan tidak terceraikan, sebenarnya dua hal yang beda. Tidak serta merta kalau 'cerai' berarti bukan 'monogami'. Bisa saja cerai tapi tetap 'monogami'. Kalau diceraikan tapi tidak kawin lagi.... tetap saja 'monogami'.
Benar, pada prinsipnya perkawinan tak dapat cerai.... tapi Alkitab sendiri menceritakan kasus-kasus khusus dimana suatu Perkawinan (sah) bisa dibatalkan (cerai). Karena zinah juga karena sebagaimana yang dimaksud di ayat tersebut diatas yang lebih dikenal dengan "privilegium paulinum" (terjemahan bebasnya: hukum/hak khusus ala Paulus).
Privilege ala Paulus ini diacu di Kanon 1143.
====
Salam,
Bro....
Kog saya tidak melihat unsur "zinah" pada ayat diatas ?
Bisa dibantu dijelaskan lebih lanjut ?
-
Bro....
Kog saya tidak melihat unsur "zinah" pada ayat diatas ?
Bisa dibantu dijelaskan lebih lanjut ?
Maksud dari kalimat saya tsb adalah sbb:
"Benar, pada prinsipnya perkawinan tak dapat cerai.... tapi Alkitab sendiri menceritakan kasus-kasus khusus dimana suatu Perkawinan (sah) bisa dibatalkan (cerai), misalnya: karena zinah, atau karena alasan2 yang disebutkan di ayat2 diatas."
===
Salam,
-
Lanjut Bro.
Berarti langsung pada contoh dibawah ini :
A. Untuk wanita yang dari non Kristen menjadi Kristen.
Seorang pria non Kristen dan wanita non Kristen menikah secara sah melalui agama Z.
Kemudian pada prosesnya, sang wanita non Kristen masuk menjadi Kristen.
Sang pria non Kristen kemudian marah2 dan pada akhirnya ia menceraikan sang wanita sudah menjadi Kristen.
Sang wanita Kristen ini kemudian biarlah ia hidup damai sejahtera dalam kondisi diceraikan daripada tidak diceraikan tetapi kehidupan pernikahannya tidak damai sejahtera.
B. Untuk pria yang dari non Kristen menjadi Kristen.
Seorang pria non Kristen dan wanita non Kristen menikah secara sah melalui agama Z.
Kemudian pada prosesnya, sang pria non Kristen masuk menjadi Kristen.
Sang wanita non Kristen kemudian marah2 dan pada akhirnya ia minta diceraikan oleh sang pria sudah menjadi Kristen.
Sang pria Kristen ini kemudian biarlah ia hidup damai sejahtera dalam kondisi menceraikan daripada tidak menceraikan istrinya yang non Kristen tetapi kehidupan pernikahannya tidak damai sejahtera.
Apakah contoh diatas sudah sesuai dengan Priviligeum Paulinum ?
(http://www.laymark.com/l/m/m190.gif) (http://www.laymark.com)
-
Lanjut Bro.
Berarti langsung pada contoh dibawah ini :
A. Untuk wanita yang dari non Kristen menjadi Kristen.
Seorang pria non Kristen dan wanita non Kristen menikah secara sah melalui agama Z.
Kemudian pada prosesnya, sang wanita non Kristen masuk menjadi Kristen.
Sang pria non Kristen kemudian marah2 dan pada akhirnya ia menceraikan sang wanita sudah menjadi Kristen.
Sang wanita Kristen ini kemudian biarlah ia hidup damai sejahtera dalam kondisi diceraikan daripada tidak diceraikan tetapi kehidupan pernikahannya tidak damai sejahtera.
B. Untuk pria yang dari non Kristen menjadi Kristen.
Seorang pria non Kristen dan wanita non Kristen menikah secara sah melalui agama Z.
Kemudian pada prosesnya, sang pria non Kristen masuk menjadi Kristen.
Sang wanita non Kristen kemudian marah2 dan pada akhirnya ia minta diceraikan oleh sang pria sudah menjadi Kristen.
Sang pria Kristen ini kemudian biarlah ia hidup damai sejahtera dalam kondisi menceraikan daripada tidak menceraikan istrinya yang non Kristen tetapi kehidupan pernikahannya tidak damai sejahtera.
Apakah contoh diatas sudah sesuai dengan Priviligeum Paulinum ?
(http://www.laymark.com/l/m/m190.gif) (http://www.laymark.com)
AFAIK, tindakan aktif utk terjadinya 'cerai' tersebut adalah si Pihak yng tidak mau bertobat (tdk dibaptis). Jadi, dalam kasus B di atas, si Isteri yg menceraikan (meninggalkan) si suami. Bukan si Suami.
Jadi, pihak yg telah dibaptis (entah Suami atau Isteri) posisinya selalu di "yg diceraikan/ditinggalkan" bukan "yang menceraiakan" (walaupun karena di desak pihak yg Tidak dibaptis).
Karenanya, sayarat utama penggunaan hak ini dimungkinkan adalah jika Si Non Baptis pergi meninggalkan si Yang Telah Dibaptis. Kalau hanya karena marah-marah... gak bisa :)
Kenapa si Non Baptis 'pergi/meninggalkan' si terbaptis pun akan di selidiki secara sesama (interpelasi).
Jadi, misalnya di Kasus B, jika si Isteri pergi meninggalkan si Suami, sebenarnya justru karena disengaja/diniatkan si suami... maka hal ini tidak diperbolehkan.
===
Salam,
-
AFAIK, tindakan aktif utk terjadinya 'cerai' tersebut adalah si Pihak yng tidak mau bertobat (tdk dibaptis). Jadi, dalam kasus B di atas, si Isteri yg menceraikan (meninggalkan) si suami. Bukan si Suami.
Jadi, pihak yg telah dibaptis (entah Suami atau Isteri) posisinya selalu di "yg diceraikan/ditinggalkan" bukan "yang menceraiakan" (walaupun karena di desak pihak yg Tidak dibaptis).
Karenanya, sayarat utama penggunaan hak ini dimungkinkan adalah jika Si Non Baptis pergi meninggalkan si Yang Telah Dibaptis. Kalau hanya karena marah-marah... gak bisa :)
Kenapa si Non Baptis 'pergi/meninggalkan' si terbaptis pun akan di selidiki secara sesama (interpelasi).
Jadi, misalnya di Kasus B, jika si Isteri pergi meninggalkan si Suami, sebenarnya justru karena disengaja/diniatkan si suami... maka hal ini tidak diperbolehkan.
===
Salam,
Oke, bro, bagaimana dengan kasus seperti ini?
Ada seorang wanita Katolik, menikah dengan sorang pemuda non Katolik di Gereja Katolik, dengan ijin khusus. Kemudian setelah beberapa tahun, pasangan itu bercerai, dimana kemudian si suami telah menikah lagi dengan wanita lain. Bagaimana status si istri ? Bisakah pasal Priviligeum Paulinum dipergunakan untuk membatalkan perkawinan si wanita? Bagaimana prosesnya? Berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk mendapatkan status liber?
Syalom
-
Oke, bro, bagaimana dengan kasus seperti ini?
Ada seorang wanita Katolik, menikah dengan sorang pemuda non Katolik di Gereja Katolik, dengan ijin khusus. Kemudian setelah beberapa tahun, pasangan itu bercerai, dimana kemudian si suami telah menikah lagi dengan wanita lain. Bagaimana status si istri ? Bisakah pasal Priviligeum Paulinum dipergunakan untuk membatalkan perkawinan si wanita? Bagaimana prosesnya? Berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk mendapatkan status liber?
Syalom
Priviligeum Paulinum hanya atas Perkawinan Sah (non Sakramental) oleh pasangan yang keduanya Non Baptis, tetapi kemudian salah satunya DIBAPTIS (jadi Katolik)
Sedangkan yang Bro contohkan itu adalah "Previlegium Petrinum" [Hak Petrus/Paus]. Yaitu hak untuk membatalkan Perkawinan Sah (non sakramental), dimana salah satu pihak adalah Katolik/Baptis dan pihak satunya Non Baptis, di Gereja Katolik (dengan Dispensasi Khusus dari Gereja).
Proses dan lamanya jangka waktu keluarnya keputusan dari Paus... saya gak tahu.
===
Note:
Saya tidak tahu apakah Privilegium Petrinum juga memberi kebebasan utk kawin lagi.... sepertinya Tidak. Privilegium Petrinum hanya membatalkan perkawinan.
Sedangkan Previlegium Paulinum (dalam prakteknya) memberi kebebasan untuk Kawin lagi. [Bahkan, setiap kali kasus Privilegium Paulinum terjadi... itu semata-mata karena si Pihak yg diceraikan (yg DIBAPTIS) pengen kawin lagi]
====
Berikut runutan tingkat kekukuhan suatu perkawinan:
I. Ratum et Consumatum ==> Sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan Persetubuhan (consumatum)
(Ini sama sekali tidak terceraiakan, baik oleh Paus. Hanya Kematian yg dapat menceraikannya)
II. Ratum sed Non Consumatum==> Sah, sakramental, tapi belum disempurnakan dengan Persetubuhan.
(Masih ada kemungkinan untuk diceraikan, namun sangat amat kecil peluangnya)
III. Perkawinan sah secara Katolik, salah satu pihak Katolik, Non Sakramental. ==> Perkawinan campur
(Peluang cerainya lewat Privilegium Petrinum)
IV. Perkawinan Sah (secara Sipil), keduanya Non Katolik, Non Sakramental
(Peluang cerainya lewat Privilegium Paulinum)
V. Perkawianan Putatif: Tidak sah, tapi diteguhkan oleh itikad baik dari minimal salah satu: Para pasangan 'kumpul kebo' tapi dengan itikad baik masuk dalam kategori ini..
===
II & III ==> bukan untuk bebas kawin lagi, melainkan bebas dari ikatan perkawinan (bebas dari hak dan kewajiban yg dituntut dalam suatu perkawinan)
IV ==> Ada dua pendapat berbeda [ada yg pro bebas kawin lagi Vs yg pro tidak untuk bebas kawin lagi]
===
Salam,
-
Saya tidak tahu apakah Privilegium Petrinum juga memberi kebebasan utk kawin lagi.... sepertinya Tidak. Privilegium Petrinum hanya membatalkan perkawinan.
Bro, apa maksudnya dengan perkawinannya dibatalkan, berarti keduanya punya status libre, tetapi apakah masing masing pihak tidak berhak menikah lagi?
Syalom
-
Bro, apa maksudnya dengan perkawinannya dibatalkan, berarti keduanya punya status libre, tetapi apakah masing masing pihak tidak berhak menikah lagi?
Syalom
Sebenarnya saya lebih suka menggunakan istilah 'cerai' saja daripada kata 'batal' atau 'dianulir' [Pembatalan lebih cocok digunakan untuk kasus2 yg sebenarnya tidak boleh kawin tapi akhirnya kawin karena intrik2 tertentu, misalnya karena salah satu pihak dipaksa, diancam, etc dan tidak diketahui oleh paroki setempat. Perkawinan seperti ini, walaupun sakramental... dapat dibatalkan]
Nah, sedangakan kasus privilegium paulinum dan petrinum....> pernikahan yg terjadi benar-benar sah, tanpa intrik maupun paksaan.
Pada intinya adalah bahwa pasangan (suami-isteri) tersebut tidak lagi dalam ikatan perkawinan. Bahwa mereka yg sebelumnya pernah menikah secara sah, sekarang menjadi tidak lagi.
Apakah hal tersebut sekaligus memberikan kebebasan kepada masing-masing pihak utk kawin sah lagi.... itu yg saya sebutkan sebelumnya ada dua kubu.
Ada yg berpendapat: Ya, boleh kawin lagi.
Ada juga yg berpendapat: Tidak boleh. Si Katolik boleh cerai (bebas dari ikatan perkawinan); tetapi tidak boleh kawin lagi.
Kawin lagi dimaksud disini adalah kawin dengan pasangan baru (yg lain) secara sah dan bahkan sakramental.
Mis:
Amir (Katolik) + Wati (Non Baptis) ==> Kawin secara sah di Katolik (setelah ada dispensasi dari Uskup)
Seelah beberapa tahun kemudian, karena alasan demi iman, perkawinan tsb dibatalkan (alias mereka cerai) lewat putusan dari Vatikan/Paus.
Kemudian Amir ketemu dengan Donna (Katolik) dan mereka ingin kawin secara Katolik (Sakramen).
Pihak Yg Pro==> Ya, mereka boleh kawin secara sah dan sakramental.
Pihak yg Kontra==> Tidak boleh; Gereja hendaknya tidak menerima permohonan mereka utk kawin secara sah dan sakramental.
===
Salam,
-
Pihak Yg Pro==> Ya, mereka boleh kawin secara sah dan sakramental.
Pihak yg Kontra==> Tidak boleh; Gereja hendaknya tidak menerima permohonan mereka utk kawin secara sah dan sakramental.
Nah, yang pro dan kontra ini dari pihak mana saja, bro? Apakah dari satu keuskupan bisa terdapat dua perbedaan ini? Atau misalkan terdapat perbedaan dari dua orang romo, bukankah umat bisa minta pendapat dari Uskup?
Karena kalau pernikahan dinyatakan entah batal atau cerai, adalah nyata bahwa kedua pihak sudah tidak terikat pada perkawinan lagi, tentu kasihan bagi pasangan yang kebetulan Katolik. Masa untuk seumur hidupya ia harus selibat? karena tentu pihak gereja tidak dapat menutup mata kalau justru dengan menolak memberikan pernikahan gereja (sakramen) justru mengakibatkan umat hengkang dari gereja, atau malah jatuh dalam dosa perzinahan (nikah di catatan sipil saja).
Thanks atas penjelasannya.
-
Nah, yang pro dan kontra ini dari pihak mana saja, bro? Apakah dari satu keuskupan bisa terdapat dua perbedaan ini? Atau misalkan terdapat perbedaan dari dua orang romo, bukankah umat bisa minta pendapat dari Uskup?
Dari para ahli Kitab Suci. [Dan saya percaya, kebanyakan ahli Kitab Suci adalah Katolik :)]
Jangankan untuk kasus Privilege Petrinum, untuk kasus yg Privilegium Paulinum saja, beberapa ahli tidak setuju bahwa itu adalah kebebasan untuk kawin lagi.
Saya tidak bisa sebutkan siapa orang-orang-nya karena saya memang gak tahu :blush:. Tapi dari apa yg saya baca di Mirifica e-news berikut ini, ya begitulah adanya:
Santo Paulus menyatakan bahwa da;lam perkara macam itu oihak yang katolik menjadi bebas (bdk. 1. Kor 7:12-15). Apa yang dimaksud dengan Santo Paulus? Bebas untuk berpisah atau bebas untuk menikah kembali? Penafsiran yang diterima adalah bebas untuk menikah kembali. Penafsiran yang diterima dan dipraktekkan dalam Gereja sejak abad IV adalah bebas untuk menikah kembali tetapi diantara para ahli KS tidak ada kesepakatan penuh akan soal ini.
========
Karena kalau pernikahan dinyatakan entah batal atau cerai, adalah nyata bahwa kedua pihak sudah tidak terikat pada perkawinan lagi, tentu kasihan bagi pasangan yang kebetulan Katolik. Masa untuk seumur hidupya ia harus selibat? karena tentu pihak gereja tidak dapat menutup mata kalau justru dengan menolak memberikan pernikahan gereja (sakramen) justru mengakibatkan umat hengkang dari gereja, atau malah jatuh dalam dosa perzinahan (nikah di catatan sipil saja).
Thanks atas penjelasannya.
Terlalu banyak permasalahan jika hal-hal seputar PERKAWINAN dan jika hal-hal seperti itu 'ditolerir' oleh Gereja akan menjadi bumerang buat Gereja itu sendiri.
Saya gak kebayang gimana tanggapan orang-orang terhadap Gereja yg memandang Perkawinan Sah sebagai suatu yg Unitas dan Tak Terputuskan, jika misalnya:
Si A (katolik) + si B (non Baptis)==> Menikah di Gereja Katolik St. Y, dan diberkati oleh Romo X.
5 Tahun kemudian
Si A menikah dengan si D (Katolik) di Gereja yg sama dan minister-nya Romo X lagi.
(Di deretan umat yg hadir... ada si B dengan anak-anak hasil perkawinannya dengan si A.)
====
Jika Pembatalan Pernikahan 'digiring' jadi 'Bebas untuk menikah lagi'.... maka kasus-kasus tertentu misalnya Perkawinan Sakramental tapi yg Ratum sed Non Consumatum pada akhirnya akan tergiring pula menjadi "Bebas untuk menikah lagi".
====
Karenanya, persoalan Privilegium Paulinum dan Petrinum===> Sejatinya adalah Persoalan Pembatalan Perkawinan (Cerai)/boleh cerai.===> BUKAN (atau kemudian dirembetkan ke) persoalan KAWIN LAGI / boleh Kawin Lagi
BOLEH CERAI =//= BOLEH KAWIN LAGI.
====
Salam,
-
@medice
Betul sekali, bro. Memang resiko akan terjadi kasus seperti yang anda gambarkan itu bisa saja terjadi, dan tentu sangat tidak elok dilihat. Karena kesakralan sakramen perkawinan bisa saja menjadi seperti dipermainkan.
Tetapi, dalam kejadian nyata, dimana dalam hidup bermasyarakat yang manjemuk, seorang umat Katolik menikah dengan pasangan yang bukan Katolik. Tentu saja sebelum menikah semua seolah indah, jalan yang dilalui berlapis beludru. Apapun yang disyaratkan Gereja pasti dituruti, asalkan perkawinan bisa terlaksana segera.
Nah, jika kelak dua atau tiga tahun perkawinan berjalan, terjadi keributan yang parah, belum lagi jika terjadi KDRT. Maka perkawinan itu terpaksa kandas. Celakanya, si pasangan yang bukan Katolik dapat dengan mudah melangkah pergi dan tidak mau tahu lagi apakah dulu pernikahannya dilangsungkan dengan cara sah atau tidak secara Katolik. Bagi pasangan yang ditinggalkan, yang kebetulan Katolik, tentu menjadi tidak adil jika kemudian harus ia sendiri yang menanggung beban.
Sementara pasangannya sudah menikah lagi dengan pasangan barunya, ia harus terkatung katung dengan status ditinggal pasangannya. Sementara Gereja belum mengambil keputusan apakah perkawinannya bisa dibatalkan atau tidak. Bahkan apakah kelak ia boleh menikah lagi atau tidak.
Bagaimna menurut pandangan anda?
Jalan pintas yang mungkin bisa dilakukan oleh manusia, mungkin justru meninggalkan gereja Katolik dan beralih kepada gereja lain yang bersedia menikahkannya kembali. Manusiawi tentunya. Tetapi bukankah kemudian kita (Katolik) menjadi seolah lepas tangan terhadap keselamatan jiwa seorang manusia karena meninggalkan iman Katoliknya?
Dilema....
-
@medice
Betul sekali, bro. Memang resiko akan terjadi kasus seperti yang anda gambarkan itu bisa saja terjadi, dan tentu sangat tidak elok dilihat. Karena kesakralan sakramen perkawinan bisa saja menjadi seperti dipermainkan.
Tetapi, dalam kejadian nyata, dimana dalam hidup bermasyarakat yang manjemuk, seorang umat Katolik menikah dengan pasangan yang bukan Katolik. Tentu saja sebelum menikah semua seolah indah, jalan yang dilalui berlapis beludru. Apapun yang disyaratkan Gereja pasti dituruti, asalkan perkawinan bisa terlaksana segera.
Nah, jika kelak dua atau tiga tahun perkawinan berjalan, terjadi keributan yang parah, belum lagi jika terjadi KDRT. Maka perkawinan itu terpaksa kandas. Celakanya, si pasangan yang bukan Katolik dapat dengan mudah melangkah pergi dan tidak mau tahu lagi apakah dulu pernikahannya dilangsungkan dengan cara sah atau tidak secara Katolik. Bagi pasangan yang ditinggalkan, yang kebetulan Katolik, tentu menjadi tidak adil jika kemudian harus ia sendiri yang menanggung beban.
Sementara pasangannya sudah menikah lagi dengan pasangan barunya, ia harus terkatung katung dengan status ditinggal pasangannya. Sementara Gereja belum mengambil keputusan apakah perkawinannya bisa dibatalkan atau tidak. Bahkan apakah kelak ia boleh menikah lagi atau tidak.
Bagaimna menurut pandangan anda?
Jalan pintas yang mungkin bisa dilakukan oleh manusia, mungkin justru meninggalkan gereja Katolik dan beralih kepada gereja lain yang bersedia menikahkannya kembali. Manusiawi tentunya. Tetapi bukankah kemudian kita (Katolik) menjadi seolah lepas tangan terhadap keselamatan jiwa seorang manusia karena meninggalkan iman Katoliknya?
Dilema....
IMHO
Pada prinsipnya, apa yang dipersatukan oleh Tuhan .... tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Dalam hal ini si wanita yang menikah lagi adalah "zinah" dimata Tuhan.
Dan tentunya si laki2 bila ia menikah lagi, statusnya juga "zinah" dimata Tuhan.
Karena itu, si laki2 tidak menikah lagi untuk menjamin kepastian statusnya "tidak zinah" di mata Tuhan, walaupun dimata manusia...statusnya terkatung-katung.
CMIIW
-
IMHO
Pada prinsipnya, apa yang dipersatukan oleh Tuhan .... tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Dalam hal ini si wanita yang menikah lagi adalah "zinah" dimata Tuhan.
Dan tentunya si laki2 bila ia menikah lagi, statusnya juga "zinah" dimata Tuhan.
Karena itu, si laki2 tidak menikah lagi untuk menjamin kepastian statusnya "tidak zinah" di mata Tuhan, walaupun dimata manusia...statusnya terkatung-katung.
CMIIW
Begini lho bro, sebutlah ada seorang wanita katolik, menikah dengan seorang pria non kristen, mereka menikah secara Katolik. Dengan berjalannya waktu, masalah dalam pernikahan terjadi, si istri yang Katolik mengalami KDRT, dan berujung dicerai oleh suaminya.
Suaminya yang non Katolik tidak punya urusan dengan larangan cerai atau menikah ulang dari Katolik, toh memang dia bukan penganut Katolik. Jadi dia melenggang pergi dan menikah dengan wanita lain dari non Katolik, dengan cara non Katolik. Baginya pernikahan lama sudah hilang disapu waktu.
Nah, kasus yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana nasib si wanita Katolik ini? Suaminya sudah, mengasarinya (KDRT), menceraikannya, dan tidak peduli lagi kepadanya. Apa yang harus dilakukannya? Sementara dengan aturan di atas, si wanita ini masih terikat pada perkawinannya yang telah bubar, sementara untuk memperoleh tambatan hati yang baru justru seolah terhalang oleh aturan dalam Gereja Katolik (boleh cerai tanpa kemungkinan menikah lagi?).
Nahh...
-
@medice
Betul sekali, bro. Memang resiko akan terjadi kasus seperti yang anda gambarkan itu bisa saja terjadi, dan tentu sangat tidak elok dilihat. Karena kesakralan sakramen perkawinan bisa saja menjadi seperti dipermainkan.
Tetapi, dalam kejadian nyata, dimana dalam hidup bermasyarakat yang manjemuk, seorang umat Katolik menikah dengan pasangan yang bukan Katolik. Tentu saja sebelum menikah semua seolah indah, jalan yang dilalui berlapis beludru. Apapun yang disyaratkan Gereja pasti dituruti, asalkan perkawinan bisa terlaksana segera.
Nah, jika kelak dua atau tiga tahun perkawinan berjalan, terjadi keributan yang parah, belum lagi jika terjadi KDRT. Maka perkawinan itu terpaksa kandas. Celakanya, si pasangan yang bukan Katolik dapat dengan mudah melangkah pergi dan tidak mau tahu lagi apakah dulu pernikahannya dilangsungkan dengan cara sah atau tidak secara Katolik. Bagi pasangan yang ditinggalkan, yang kebetulan Katolik, tentu menjadi tidak adil jika kemudian harus ia sendiri yang menanggung beban.
Sementara pasangannya sudah menikah lagi dengan pasangan barunya, ia harus terkatung katung dengan status ditinggal pasangannya. Sementara Gereja belum mengambil keputusan apakah perkawinannya bisa dibatalkan atau tidak. Bahkan apakah kelak ia boleh menikah lagi atau tidak.
Pasangan (beda iman) yg mau menikah barangkali akan melakukan apa saja (persoalan belakangan) yg penting bisa nikah. Tapi Gereja tidak pernah memandang segala aturan dan persyaratan yg berlaku sebagai sesuatu yg main-main (persoalan belakangan).
Pada dasarnya Gereja menghendaki anak-anaknya menikah dengan pasangan yg Katolik pula. Bahwa Gereja mau menerima pasangan beda iman... itu sudah sangat, amat 'toleran'.
Betapa tidak fair mengaitkan 'ketidak-adilan' yg dialami si Katolik (yg dicerai) kepada Gereja.
Lagipula.... Gereja dalam hal ini tidak melihat bagaimana kondisi pasangan si Katolik tersebut. Nanti seolah-olah jadi ajang balas membalas. [Karena pasangannya sudah menikah lagi... maka si Katolik dibolehkan menikah lagi (supaya gak terkatung-katung; dan supaya pasangannya itu gak enak sendiri.]
Bagaimna menurut pandangan anda?
Jalan pintas yang mungkin bisa dilakukan oleh manusia, mungkin justru meninggalkan gereja Katolik dan beralih kepada gereja lain yang bersedia menikahkannya kembali. Manusiawi tentunya. Tetapi bukankah kemudian kita (Katolik) menjadi seolah lepas tangan terhadap keselamatan jiwa seorang manusia karena meninggalkan iman Katoliknya?
Dilema....
Biarkan saja. Sekalipun Gereja mau merestui.... tapi mereka yg tidak bisa memegang janjinya di hadapan Tuhan akan mencari jalan pintas-jalan pintas yg baru dalam bentuk lain dan kasus lain.
Soal adil-tidak adil, justru Gereja menjadi tidak adil jika memudahkan si pasangan Katolik utk kawin lagi; sebab jika kasusnya dibalik, sbb:
O (Katolik) & P (Katolik)===> Menikah sah di Katolik (Sakramental)
5 tahun kemudian, setelah mereka dikaruniai 2 anak…. Si O convert menjadi mis. Buddha.
[Kondisi akhir menjadi: Buddha & Katolik].
Kemudian, karena perbedaan iman tsb Si O menceraikan si P.
Bagaimana nasib si P (ibu dua anak tapi masih muda, cantik, dan energik)?
Dapatkah Gereja menerima dia jika suatu saat datang membawa pasangan baru dan ingin menikah di Katolik?
Tentunya TIDAK, Karena pernikahan mereka sebelumnya adalah Ratum et Consumatum (yg tak dapat dicerai kecuali karena kematian)
Lho, kalau nanti si P mengambil jalan pintas melalu denominasi yg lain.... gimana? Bukankah seolah Gereja jadi lepas tangan?
Biarkan saja! :grining:
====
Salam
-
@Medice
Saya bisa mengerti ketegasan sikap Gereja Katolik dalam hal ini, bro. Andapun mungkin bisa mengerti. Karena kita tidak menjadi korbannya.
Tetapi akan sangat sulit bila justru kitalah yang menjadi korbannya, atau seseorang yang kita kenal (saudara) misalnya.
Dalam kasus di atas, dimana saya bisa menempatkan diri sebagai pihak yang menjadi korban, saya akan sangat merasakan ketidak adilan. Karena, sebagai katolik, saya sudah benar dengan mengajak pasangan yang bukan Katolik untuk menikah secara Katolik. Sayapun tentunya berusaha maksimal untuk mempertahankan pernikahan saya. Tetapi ketika pasangan saya mulai melakukan KDRT, dan menceraikan saya, maka saya harus menerima perceraian itu. Dan masalah tambahan ternyata masa depan saya dalam membina keluarga yang baru justru terhadang. Dan, celakanya memang tidak ada kemungkinan lain yang menjadi jalan keluar yang ditawarkan kepada saya. Maka dengan sangat terpaksa, saya menerima ajakan calon pasangan saya untuk berpindah gereja kepada gerejanya.
Maka dengan terpaksa saya harus meninggalkan Gereja Katolik bersama dengan masa lalu perkawinan saya. Kira kira seperti itu, bro ?
Syalom
-
@Medice
Saya bisa mengerti ketegasan sikap Gereja Katolik dalam hal ini, bro. Andapun mungkin bisa mengerti. Karena kita tidak menjadi korbannya.
Tetapi akan sangat sulit bila justru kitalah yang menjadi korbannya, atau seseorang yang kita kenal (saudara) misalnya.
Dalam kasus di atas, dimana saya bisa menempatkan diri sebagai pihak yang menjadi korban, saya akan sangat merasakan ketidak adilan. Karena, sebagai katolik, saya sudah benar dengan mengajak pasangan yang bukan Katolik untuk menikah secara Katolik. Sayapun tentunya berusaha maksimal untuk mempertahankan pernikahan saya. Tetapi ketika pasangan saya mulai melakukan KDRT, dan menceraikan saya, maka saya harus menerima perceraian itu. Dan masalah tambahan ternyata masa depan saya dalam membina keluarga yang baru justru terhadang. Dan, celakanya memang tidak ada kemungkinan lain yang menjadi jalan keluar yang ditawarkan kepada saya. Maka dengan sangat terpaksa, saya menerima ajakan calon pasangan saya untuk berpindah gereja kepada gerejanya.
Maka dengan terpaksa saya harus meninggalkan Gereja Katolik bersama dengan masa lalu perkawinan saya. Kira kira seperti itu, bro ?
Syalom
Ya, ya... memang sering terjadi mereka yg mengalami hal seperti ini membalikkannya kepada orang lain dengan berkata: "Karena bukan Anda yg mengalaminya, makanya gampang saja kalau ngomong". [saya udah pernah diskatai seperti itu]
kalau sudah begini.... gak ada gunanya lagi mendengarkan curhat atau keluh kesah dari orang-orang tersebut.
Habis, mau gimana lagi, Bro. Masa kita mesti berpura-pura bersimpati kepada mereka sambil ber-antipati terhadap aturan ketat Gereja hanya demi 'turut bersedih' atas KDRT dan cerai yg menimpa mereka???
====
yang saya Bold dan color red,
Tanggapan saya adalah: Mereka yg meninggalkan Gereja demi boleh Kawin Lagi, berarti lebih mengutamakan Kawin Lagi daripada Gereja. Lebih mengutamakan kenikmatan duniawi daripada Kebahagiaan Abadi.
=====
Salam,
-
Begini lho bro, sebutlah ada seorang wanita katolik, menikah dengan seorang pria non kristen, mereka menikah secara Katolik. Dengan berjalannya waktu, masalah dalam pernikahan terjadi, si istri yang Katolik mengalami KDRT, dan berujung dicerai oleh suaminya.
Suaminya yang non Katolik tidak punya urusan dengan larangan cerai atau menikah ulang dari Katolik, toh memang dia bukan penganut Katolik. Jadi dia melenggang pergi dan menikah dengan wanita lain dari non Katolik, dengan cara non Katolik. Baginya pernikahan lama sudah hilang disapu waktu.
Nah, kasus yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana nasib si wanita Katolik ini? Suaminya sudah, mengasarinya (KDRT), menceraikannya, dan tidak peduli lagi kepadanya. Apa yang harus dilakukannya? Sementara dengan aturan di atas, si wanita ini masih terikat pada perkawinannya yang telah bubar, sementara untuk memperoleh tambatan hati yang baru justru seolah terhalang oleh aturan dalam Gereja Katolik (boleh cerai tanpa kemungkinan menikah lagi?).
Nahh...
IMHO berdasarkan filosofi, karena itu paham dasar perkawinan adalah :
“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)
Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagai kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.
Dikutip dari http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id302.htm
Kalau kontrak, bilamana salah satu ingkar janji maka kontrak batal.
Kalau perjanjian, bilamana salah satu ingkar janji tidak membatalkan janji yang telah diikrarkan.
Mengacu pada perjanjian Tuhan kepada bangsa Israel, walaupun mereka berulang kali melanggar, tetapi Tuhan tetap setia pada janjiNya.
Jadi bila sang suami mengasari seperti yang Bro Bruce sampaikan diatas, maka dengan mengacu pada konsep perjanjian Tuhan kepada bangsa Israel, memang sang istri tetap terikat pada janjinya.
Dan implementasi pastoralnya, kalau memang suami (KDRT), si istri hidup tidak satu rumah tetapi tetap terikat perjanjian perkawinan.
Pemikiran saya seperti itu Bro, CMIIW
-
Ya, ya... memang sering terjadi mereka yg mengalami hal seperti ini membalikkannya kepada orang lain dengan berkata: "Karena bukan Anda yg mengalaminya, makanya gampang saja kalau ngomong". [saya udah pernah diskatai seperti itu]
kalau sudah begini.... gak ada gunanya lagi mendengarkan curhat atau keluh kesah dari orang-orang tersebut.
Habis, mau gimana lagi, Bro. Masa kita mesti berpura-pura bersimpati kepada mereka sambil ber-antipati terhadap aturan ketat Gereja hanya demi 'turut bersedih' atas KDRT dan cerai yg menimpa mereka???
====
yang saya Bold dan color red,
Tanggapan saya adalah: Mereka yg meninggalkan Gereja demi boleh Kawin Lagi, berarti lebih mengutamakan Kawin Lagi daripada Gereja. Lebih mengutamakan kenikmatan duniawi daripada Kebahagiaan Abadi.
=====
Salam,
Mengapa kemudian saya menjadi teringat pada ucapan Jesus yang ini ya bro:
Mrk 2:25 Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan,
Mrk 2:26 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu--yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam--dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutn
Mrk 2:27 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat,
Mrk 2:28 jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat."
Syalom
-
@Medice
Saya bisa mengerti ketegasan sikap Gereja Katolik dalam hal ini, bro. Andapun mungkin bisa mengerti. Karena kita tidak menjadi korbannya.
Tetapi akan sangat sulit bila justru kitalah yang menjadi korbannya, atau seseorang yang kita kenal (saudara) misalnya.
Dalam kasus di atas, dimana saya bisa menempatkan diri sebagai pihak yang menjadi korban, saya akan sangat merasakan ketidak adilan. Karena, sebagai katolik, saya sudah benar dengan mengajak pasangan yang bukan Katolik untuk menikah secara Katolik. Sayapun tentunya berusaha maksimal untuk mempertahankan pernikahan saya. Tetapi ketika pasangan saya mulai melakukan KDRT, dan menceraikan saya, maka saya harus menerima perceraian itu. Dan masalah tambahan ternyata masa depan saya dalam membina keluarga yang baru justru terhadang. Dan, celakanya memang tidak ada kemungkinan lain yang menjadi jalan keluar yang ditawarkan kepada saya. Maka dengan sangat terpaksa, saya menerima ajakan calon pasangan saya untuk berpindah gereja kepada gerejanya.
Maka dengan terpaksa saya harus meninggalkan Gereja Katolik bersama dengan masa lalu perkawinan saya. Kira kira seperti itu, bro ?
Syalom
Case seperti diatas pernah saya tanyakan.
Bila seseorang menikah secara Katolik, kemudian bercerai secara sipil.
Kemudian si pria ini menikah dengan wanita lain secara agama lain.
Secara hukum Katolik, si pria ini masih terikat pada pernikahan nya yang lama dan hidup dalam kondisi "berzinah".
Kemudian pasangan ini ingin bertobat dan kembali ke Gereja Katolik.
Kemudian saya tanyakan, bolehkah meminta dispensasi, mengingat Romo ditahbiskan dan memiliki tangan urapan.
(23 Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.") (Joh 20:23 ITB)
Dijawab, pengampunan dapat diberikan tentunya didahului dengan pertobatan. Yaitu tidak berzinah.
Jadi saya ambil kesimpulan, si pria tetap terikat dengan perkawinannya terdahulu dan untuk itu harus hidup sebagai saudara dengan istrinya yang sekarang.
:think:
-
Mengapa kemudian saya menjadi teringat pada ucapan Jesus yang ini ya bro:
Mrk 2:25 Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan,
Mrk 2:26 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu--yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam--dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutn
Mrk 2:27 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat,
Mrk 2:28 jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat."
Syalom
Lho... ini bagaimana toh, Bro?
Masa kita mau mengatakan bahwa keinginan kawin lagi adalah Tuhan atas aturan Gereja?
===
Salam,
-
Lho... ini bagaimana toh, Bro?
Masa kita mau mengatakan bahwa keinginan kawin lagi adalah Tuhan atas aturan Gereja?
===
Salam,
Dalam pengertian bahwa aturan Gereja diterapkan secara kaku, sehingga kita (Gereja) menghalangi keingingan menikah lagi (yang sangat manusiawi), padahal kesalahan tidak dilakukan oleh orang tersebut. Bukankah menjadi seperti itu, bro?
Syalom
-
Wah, saya belum tercerahkan, trit ini sudah mati suri.
-
Sebenarnya gampang saja penyelesaiannya. Gak usah kawin reami. Kumpul kebo aja, bisa kan? Seminggu sekali mengaku dosa telah berzinah. Jadi tetap sebagai Katolik, tetap bisa 'nikah', dan gak salah karena terus menerus bertobat.
Case close
:D
-
Sebenarnya gampang saja penyelesaiannya. Gak usah kawin reami. Kumpul kebo aja, bisa kan? Seminggu sekali mengaku dosa telah berzinah. Jadi tetap sebagai Katolik, tetap bisa 'nikah', dan gak salah karena terus menerus bertobat.
Case close
:D
10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (Joh 8:10-11 ITB)
Enggak bisa dong Bro Snip.
Kalo tidak berbuat dosa = tidak dihukum
Kalo berbuat dosa lagi = dihukum
:D
-
Sebenarnya gampang saja penyelesaiannya. Gak usah kawin reami. Kumpul kebo aja, bisa kan? Seminggu sekali mengaku dosa telah berzinah. Jadi tetap sebagai Katolik, tetap bisa 'nikah', dan gak salah karena terus menerus bertobat.
Case close
:D
Btw Bro Snip sudah married belon ? :swt:
-
Kan pengampunan Tuhan 'konon' tidak terbatas. Sekali selamat tetap selamat. Yang penting iman, dosa gak apa apa, karena perbuatan tidak dilihat.
Itu dari doktrin osas dan predestinasi lhoh ya. Tidak Saya sarankan kalau mau selamat.
Makanya harus lihat gereja dari ajarannya. Jangan ngasal, dapat yang sembarangan akan berakibat seperti nail bus dengan sopir teler.
He he he he
-
Jadi ingat signature seseorang, "Janganlah masukkan kami kedalam pencobaan, karena kami bisa masuk sendiri."
-
Sebenarnya gampang saja penyelesaiannya. Gak usah kawin reami. Kumpul kebo aja, bisa kan? Seminggu sekali mengaku dosa telah berzinah. Jadi tetap sebagai Katolik, tetap bisa 'nikah', dan gak salah karena terus menerus bertobat.
Case close
:D
wah kalau begitu ga boleh... nanti romonya tau kalau ybs berzinah setiap saat dan tidak perbah ada dalam pertobatan.. maka bisa jadi romonya ga kasih sakramen.. namun apakah ybs juga ga malu begtu terus..?
menurut saya, bercerailah secara sipil.. seperti lalu menikahlah lagi secara sipil.. selesai..
tentu saja hal itu melanggar hukum Gereja, tapi mereka itu tidak berzinah, sebab, pernikahan sipil diakui Gereja. karena melanggar hukum Gereja, ybs akan terkena "ekskomunikasi" sehingga ybs tidak dapat menerima komuni..
dalam kasuus ini, maka ada peluang bagi ybs untuk menempuh jalur agar bisa komuni, yaitu meminta dispensasi atau pengampunan dari pelanggaran hukum Gereja, supaya terlepas dari sangsi eksomunikasi kepada tribunal Gereja. memang akan rumit, karena Gereja akan mengadakan penyelidikan mendalam, dan Gereja akan melihat kasus per kasus untuk mengabulkannya.
jadi perkawinan kedua orang tersebut adalah diakui Gereja (bukan zinah), tapi tidak sakramental.
hukuman bagi orang katolik adalah ekskomunikasi, jalan keluarnya minta dispensasi untuk komuni.
itu sih setau saya... :D
-
Jadi ingat signature seseorang, "Janganlah masukkan kami kedalam pencobaan, karena kami bisa masuk sendiri."
signature siapa tuh bro.. keren banget! hahaha... :D
-
signature siapa tuh bro.. keren banget! hahaha... :D
Itu signature Santa van Lawang.
-
Kan pengampunan Tuhan 'konon' tidak terbatas. Sekali selamat tetap selamat. Yang penting iman, dosa gak apa apa, karena perbuatan tidak dilihat.
Itu dari doktrin osas dan predestinasi lhoh ya. Tidak Saya sarankan kalau mau selamat.
Makanya harus lihat gereja dari ajarannya. Jangan ngasal, dapat yang sembarangan akan berakibat seperti nail bus dengan sopir teler.
He he he he
Walahhh Bro Snip .....
Bro Snip salah tafsir tuh :sad_bye:
-
Koq salah tafsir sih?
Bukankah begitu menurut penganut osas?
-
Btw Bro Snip sudah married belon ? :swt:
Hmmm ... kog enggak dijawab :giggle:
-
menurut saya, bercerailah secara sipil.. seperti lalu menikahlah lagi secara sipil.. selesai..
tentu saja hal itu melanggar hukum Gereja, tapi mereka itu tidak berzinah, sebab, pernikahan sipil diakui Gereja. karena melanggar hukum Gereja, ybs akan terkena "ekskomunikasi" sehingga ybs tidak dapat menerima komuni..
:deal: :deal: :deal:
hukuman bagi orang katolik adalah ekskomunikasi, jalan keluarnya minta dispensasi untuk komuni.
itu sih setau saya... :D
ato komuni diluar kota,aja
tuhanyesus memberkati
Han
-
:deal: :deal: :deal:
ato komuni diluar kota,aja
tuhanyesus memberkati
Han
Tapi tetap enggak bisa membohongi Tuhan :'o
-
Btw Bro Snip sudah married belon ? :swt:
Waduhhh Bro Snip pura2 engga ngeliat :giggle: :giggle:
-
Jika Ada yang tanya status, dengan ini dideklarasikan bahwa sniper belum menikah, masih ting ting.
Nah, Ada peminatkah? Silahkan PM.
He he he
-
Tapi tetap enggak bisa membohongi Tuhan :'o
Tyhan datang untuk orang berdosa , dan Tuhan memang tau bahwa dia dizolimi dua kali
Tuhan Yesus memberkati
Han
-
Tyhan datang untuk orang berdosa , dan Tuhan memang tau bahwa dia dizolimi dua kali
Tuhan Yesus memberkati
Han
John 8:11
Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau 1 . b Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi c mulai dari sekarang."
Kalo berbuat lagi ... wah tambah berdosa tuh.
:scold:
-
Gak apa apa, Tuhan maha pengampun.
Petrus pun disuruh mengampuni saudaranya tanpa batas. Tuhan lebih baik dari manusia, maka kesalahan apapun pasti diampuni. Yang penting percaya. Ingat sola fide kan?
-
John 8:11
Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau 1 . b Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi c mulai dari sekarang."
Kalo berbuat lagi ... wah tambah berdosa tuh.
:scold:
terima komuni bukanlah Dosa
Tuhan Yesus memberkati
han
-
terima komuni bukanlah Dosa
Tuhan Yesus memberkati
han
10 Maka pergilah hamba-hamba itu dan mereka mengumpulkan semua orang yang dijumpainya di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik, sehingga penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu.
11 Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta.
12 Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja.
13 Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.
(Mat 22:10-13 ITB)
Hal ini seperti diundang pesta dan datang dengan tidak berpakaian layak.
Hukuman menanti
:)
-
Hal ini seperti diundang pesta dan datang dengan tidak berpakaian layak.
Hukuman menanti
:)
Mantap Phooey. :afro: :afro1:
-
Hal ini seperti diundang pesta dan datang dengan tidak berpakaian layak.
Hukuman menanti
:)
lho siapa yang menentukan kelayakan pakaian , dan ukuran apa yang dipakaikan sehingga dianggap tidak layak ??
Tuhan Yesus memberkati
Han
-
Mantap Phooey. :afro: :afro1:
Kalo disemangati begini ... nanti saya rajin posting untuk mengejar Om Han ..... :dance:
-
lho siapa yang menentukan kelayakan pakaian , dan ukuran apa yang dipakaikan sehingga dianggap tidak layak ??
Tuhan Yesus memberkati
Han
Yang menentukan : Allah melalui GerejaNya
Ukuran : (buat Om Han) Alkitab, Tradisi dan Magisterium
Om Han harus mau karena ukuran yang dipakai enggak tertulis Taurat :ballspin:
-
Kalo disemangati begini ... nanti saya rajin posting untuk mengejar Om Han ..... :dance:
:shrug: Lhah... saya bukan menyemangati Phooey untuk mengejar siapa-siapa. Yang saya maksud, posting Phooey yang saya mantapi itu, sangat mengena di hati saya, bahwa untuk datang ke undangan perjamuan harus dengan pakaian yang layak. Namun, sebelum gambaran kesediaan menghadiri undangan perjamuan yang ditunjukkan oleh pakaian, yang paling utama memang kesediaan hati. Walaupun busana yang dikenakan 'tidak layak menurut mata manusia', Tuhan tidak memandang rupa, melainkan memandang hati, maka dengan busana yang bagaimanapun, saya kira, okke-okke saja.
Tentang hati, wah... ini saya kira hanya si pemilik hati dan Tuhan yang tahu. Apa yang dapat dinilai oleh oranga lain, semata-mata, orang lain hanya menilai berdasarkan yang dilihat, dalam hal ini, ialah busana yang digunakan peserta perjamuan. Jadi, suasana hati, kerelaan, keihklasan, kesediaan menghadiri undangan perjamuan, hanya dapat dinilai oleh diri sendiri dan Tuhan. Orang lain (peserta perjamuan lainnya), hanya dapat menilai dari apa yang dapat diindrai.
Jadi, kalau ada seorang atau beberapa orang peserta perjamuan yang datang hanya untuk makan hidangan perjamuan, sepanjang dia dapat mematut-matut diri, saya kira, dia akan dapat menyantap hidangan perjamuan. Namun, apakah kegunaan dari perjamuan itu mengena kepada orang atau orang-orang itu, kembali kepada Tuhan yang mengetahui tingkat kesediaan dan kesesuaian hati peserta perjamuan atas perjamuan yang dilangsungkan.
Damai, damai, damai.
-
:shrug: Lhah... saya bukan menyemangati Phooey untuk mengejar siapa-siapa. Yang saya maksud, posting Phooey yang saya mantapi itu, sangat mengena di hati saya, bahwa untuk datang ke undangan perjamuan harus dengan pakaian yang layak. Namun, sebelum gambaran kesediaan menghadiri undangan perjamuan yang ditunjukkan oleh pakaian, yang paling utama memang kesediaan hati. Walaupun busana yang dikenakan 'tidak layak menurut mata manusia', Tuhan tidak memandang rupa, melainkan memandang hati, maka dengan busana yang bagaimanapun, saya kira, okke-okke saja.
Tentang hati, wah... ini saya kira hanya si pemilik hati dan Tuhan yang tahu. Apa yang dapat dinilai oleh oranga lain, semata-mata, orang lain hanya menilai berdasarkan yang dilihat, dalam hal ini, ialah busana yang digunakan peserta perjamuan. Jadi, suasana hati, kerelaan, keihklasan, kesediaan menghadiri undangan perjamuan, hanya dapat dinilai oleh diri sendiri dan Tuhan. Orang lain (peserta perjamuan lainnya), hanya dapat menilai dari apa yang dapat diindrai.
Jadi, kalau ada seorang atau beberapa orang peserta perjamuan yang datang hanya untuk makan hidangan perjamuan, sepanjang dia dapat mematut-matut diri, saya kira, dia akan dapat menyantap hidangan perjamuan. Namun, apakah kegunaan dari perjamuan itu mengena kepada orang atau orang-orang itu, kembali kepada Tuhan yang mengetahui tingkat kesediaan dan kesesuaian hati peserta perjamuan atas perjamuan yang dilangsungkan.
Damai, damai, damai.
Siapp Momod Husada.
Sejalan dengan pengertian saya bahwa setelah manusia meninggal .... maka tidak ada yang dapat ditutupi.
Baik dan buruk akan terlihat dengan jelas.
Trs ada tambahan ayatnya :
18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. (Mat 18:18 ITB)
Nahhh yang tidak berpakaian pantas waktu diundang pesta, bisa jadi waktu didunia ia terikat dengan nafsu2 duniawi dan setelah meninggal maka keterikatan nafsu duniawi juga terikat pula disurga.
Sehingga mengakibatkan ketidak-layakan'nya, sehingga ia terpaksa dipenjara.
:)
-
Di Injil Matius, ada juga kisah yang kalau diartikan harfiah, pakaian yang dipakai ketika menghadiri pesta harus sesuai. Sebab, kalau tidak sesuai, bakal diusir. Ini ringkasnya, Mat 22:11-13, Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja. Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.
:rofl: :grining: :rofl: :D :drool:
-
Kalo disemangati begini ... nanti saya rajin posting untuk mengejar Om Han ..... :dance:
dan sementara oom han ngaso dulu supaya beda tipis.
sbab kalo bedanya terlalu jauh takutnya nif phooey jadi malah frustasi
dan tidak semangat lagi
Tuhan Yesus memberkati
Han
-
Yang menentukan : Allah melalui GerejaNya
Ukuran : (buat Om Han) Alkitab, Tradisi dan Magisterium
Om Han harus mau karena ukuran yang dipakai enggak tertulis Taurat :ballspin:
Lho kalou Om hanya berpakaian Kasih Karunia , apakah dinggap tidak layak ????
padahal itu yang paling Sempurna bukan ???
tuhanyesus memberkati
Han
-
dan sementara oom han ngaso dulu supaya beda tipis.
sbab kalo bedanya terlalu jauh takutnya nif phooey jadi malah frustasi
dan tidak semangat lagi
Tuhan Yesus memberkati
Han
Haaahahaha....
Yang terdahulu bisa menjadi terbelakang, yang terbelakang bisa menjadi yang terdahulu
:flower:
-
Haaahahaha....
Yang terdahulu bisa menjadi terbelakang, yang terbelakang bisa menjadi yang terdahulu
:flower:
Pokoknya harus tetep semangat walau engga ada saingan
Tuhan Yesus memberkati
Han