@medice
Betul sekali, bro. Memang resiko akan terjadi kasus seperti yang anda gambarkan itu bisa saja terjadi, dan tentu sangat tidak elok dilihat. Karena kesakralan sakramen perkawinan bisa saja menjadi seperti dipermainkan.
Tetapi, dalam kejadian nyata, dimana dalam hidup bermasyarakat yang manjemuk, seorang umat Katolik menikah dengan pasangan yang bukan Katolik. Tentu saja sebelum menikah semua seolah indah, jalan yang dilalui berlapis beludru. Apapun yang disyaratkan Gereja pasti dituruti, asalkan perkawinan bisa terlaksana segera.
Nah, jika kelak dua atau tiga tahun perkawinan berjalan, terjadi keributan yang parah, belum lagi jika terjadi KDRT. Maka perkawinan itu terpaksa kandas. Celakanya, si pasangan yang bukan Katolik dapat dengan mudah melangkah pergi dan tidak mau tahu lagi apakah dulu pernikahannya dilangsungkan dengan cara sah atau tidak secara Katolik. Bagi pasangan yang ditinggalkan, yang kebetulan Katolik, tentu menjadi tidak adil jika kemudian harus ia sendiri yang menanggung beban.
Sementara pasangannya sudah menikah lagi dengan pasangan barunya, ia harus terkatung katung dengan status ditinggal pasangannya. Sementara Gereja belum mengambil keputusan apakah perkawinannya bisa dibatalkan atau tidak. Bahkan apakah kelak ia boleh menikah lagi atau tidak.
Pasangan (beda iman) yg mau menikah barangkali akan melakukan apa saja (persoalan belakangan) yg penting bisa nikah. Tapi Gereja tidak pernah memandang segala aturan dan persyaratan yg berlaku sebagai sesuatu yg main-main (persoalan belakangan).
Pada dasarnya Gereja menghendaki anak-anaknya menikah dengan pasangan yg Katolik pula. Bahwa Gereja mau menerima pasangan beda iman... itu sudah sangat, amat 'toleran'.
Betapa tidak
fair mengaitkan 'ketidak-adilan' yg dialami si Katolik (yg dicerai) kepada Gereja.
Lagipula.... Gereja dalam hal ini tidak melihat bagaimana kondisi pasangan si Katolik tersebut. Nanti seolah-olah jadi ajang balas membalas. [
Karena pasangannya sudah menikah lagi... maka si Katolik dibolehkan menikah lagi (supaya gak terkatung-katung; dan supaya pasangannya itu gak enak sendiri.]
Bagaimna menurut pandangan anda?
Jalan pintas yang mungkin bisa dilakukan oleh manusia, mungkin justru meninggalkan gereja Katolik dan beralih kepada gereja lain yang bersedia menikahkannya kembali. Manusiawi tentunya. Tetapi bukankah kemudian kita (Katolik) menjadi seolah lepas tangan terhadap keselamatan jiwa seorang manusia karena meninggalkan iman Katoliknya?
Dilema....
Biarkan saja. Sekalipun Gereja mau merestui.... tapi mereka yg tidak bisa memegang janjinya di hadapan Tuhan akan mencari jalan pintas-jalan pintas yg baru dalam bentuk lain dan kasus lain.
Soal adil-tidak adil, justru Gereja menjadi tidak adil jika memudahkan si pasangan Katolik utk kawin lagi; sebab jika kasusnya dibalik, sbb:
O (Katolik) &
P (Katolik)===> Menikah sah di Katolik (Sakramental)
5 tahun kemudian, setelah mereka dikaruniai 2 anak…. Si
O convert menjadi mis.
Buddha.
[Kondisi akhir menjadi:
Buddha &
Katolik].
Kemudian, karena perbedaan iman tsb Si
O menceraikan si
P.
Bagaimana nasib si
P (ibu dua anak tapi masih muda, cantik, dan energik)?
Dapatkah Gereja menerima dia jika suatu saat datang membawa pasangan baru dan ingin menikah di Katolik?
Tentunya
TIDAK, Karena pernikahan mereka sebelumnya adalah
Ratum et Consumatum (yg tak dapat dicerai kecuali karena kematian)
Lho, kalau nanti si
P mengambil jalan pintas melalu denominasi yg lain.... gimana? Bukankah seolah Gereja jadi lepas tangan?
Biarkan saja!
====
Salam