Sorry, bro Budi, sepertinya anda justru tertukar dalam melihat mana yang penting dan mana yang kurang penting, ini menurut saya ya.
Tentunya yg penting/kurang penting bagi setiap orang itu berbeda-beda. Nah, kalo bagi saya, bertanya kepada Tuhan soal predestinasi itu kurang penting ketimbang bertanya ttg "film favorit"Nya. Tentunya bagi seorang teolog, pertanyaan ttg film itulah yg tidak penting sama sekali.
Predestinasi justru mendorong penganutnya untuk 'terjebak' dalam kesombongan diri, merasa sudah terselamatkan, dan orang lain belum tentu. Bahwa walaupun dia melakukan dosa, dia tetap selamat, karena sudah dipredestinasi selamat.
Saya pikir yg mendorong orang bersikap sombong bukan doktrin predestinasi, tapi sifat orang itu sendiri (emang dianya suka melihat dirinya sebagai yg lebih baik atau paling baik di antara orang lain). Doktrin predestinasi, dan doktrin yg lain, di tangan orang semacam ini ya akan cuma jadi "alat" untuk bermegah diri.
Sementara itu, bila dilihat dari sisi doktrin predestinasi itu sendiri, saya rasa justru sebaliknya. Dalam doktrin predestinasi (yg saya baca dari tulisannya calvin), orang justru nggak punya alasan untuk bermegah diri. Dia tidak punya alasan untuk mengatakan bahwa dia bisa menyelamatkan dirinya sendiri atau orang lain. Orang tidak bisa mengatakan bahwa dirinya selamat karena dirinya punya kelebihan tertentu. Seorang Pendeta, misalnya, juga tidak bisa mengatakan bahwa orang-orang bertobat karena pelayanannya punya kelebihan tertentu.
So, IMO, bila ada orang yg mengaku sebagai penganut predestinasi tapi dia sombong, itu adalah sebuah anomali. Itu tidak bisa dijadikan landasan untuk menilai doktrin predestinasi itu sendiri. Kalo ada orang pakai pisau dapur untuk membunuh, bukan berarti pisau dapur itu barang yg "salah", kan?
Cheers