Damai bagimu striker.
yg namanya diskusi kan tdk harus tahu semua mas, kadang kita tdk tahu nah anda yg lebih tahu silahkan menjelaskan kalau ada yg salah dari yg saya tahu.
bukan begitu?
Mmm... kali ini cukup bijak. Betul. Justru berusaha untuk tahu, maka kita melaksanakan diskusi.
Saya pikir, begini striker.
Setiap partisipan trit ini sudah mempunyai 'bekal', mungkin sedikit mungkin banyak, yang diterima dari berbagai pengalaman hidupnya, dan dari permenungan atau kontemplasi yang dilakukannya. 'Bekal' tersebut dihunjukkan dalam diskusi di sini.
Diskusi menjadi hangat, ketika ada suatu obyek pembahasan, yang masing-masing partisipan merasa mengenal atau mengetahui obyek bahasan tersebut. Padahal, sumber utama pengenalan atau pengetahuan partisipan berasal dari sumber yang berbeda. Yang satu bersumber dari Alkitab, yang lain bersumber dari Al Qur'an, yang masing-masing masih ditambah interpretasi pengajar yang mengajarkannya.
Diskusi menjadi lebih hangat lagi, pada saat masing-masing partisipan merasa bahwa pemahamannya yang paling benar terkait dengan pokok bahasan. Dan semakin hangat, bila salah satu pertisipan tidak memperhatikan apa yang disampaikan pasangan diskusinya, ngotot bahwa yang disampaikannyalah yang paling benar.
Jika demikian kondisinya, maka pernyataan, atau permintaan, atau permohonan, atau harapan yang tersirat dalam kalimat
anda yg lebih tahu silahkan menjelaskan kalau ada yg salah dari yg saya tahu, menjadi teranulir. Sebab, meski dijelaskan panjang lebar, disertai dengan bukti-bukti seperlunya, tetap saja si pemohon kembali ke pemahamannya semula.
Bila ditilik kepada usia sumber pemahaman yang ada, dibandingkan lagi dengan tingkat kesinkronan pada kehidupan, ditambah dengan angka-angka statistik penyimpangan yang terjadi, kelihatannya, tidak berlebihan jika menyimpulkan Allah yang dikenal melalui Alkitab lebih Allah daripada Allah yang dikenal melalui Al Qur'an.
Dari sudut usia, Alkitab sudah dipakai sejak abad IV, sementara ayat-ayat Al Qur'an diakui diterima oleh Muhammad yang lahir abad VI. Melihat masanya, memang dimungkinkan kalau yang ada lebih dahulu disempurnakan oleh yang ada belakangan. Tapi, benarkah yang belakangan pasti menyempurnakan yang duluan?
Coba kita lihat, ambil contoh hukuman atas kesalahan. Dulu, sebelumnya sudah dikenal penghukuman atas kesalahan adalah
mata ganti mata, gigi ganti gigi, yang dibaharui oleh Alkitab menjadi
kasihilah Allah, kasihilah sesama. Kemudian Al Qur'an yang datang belakangan justru mengembalikan penghukuman (kepada yang sudah kadaluwarsa),
mata ganti mata, gigi ganti gigi.
Angka-angka statistik penyimpangan yang terjadi juga, memperlihatkan bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh pihak yang diajar berdasarkan Al Qur'an jauh lebih tinggi dibanding oleh penyimpangan yang dilakukan oleh pihak yang diajar berdasarkan Alkitab.
Jadi, dengan demikian, apakah bisa ditarik kesimpulan tentang kesamaan Allah yang dikenal melalui Alkitab dengan Allah yang dikenal melalui Al Qur'an? Menurut akal/nalar sehat, ternyata Allah berdasarkan kedua kitab itu adalah berbeda. Agak berbeda lagi bila dikaitkan dengan
sujud. Allah yang dikenal melalui Alkitab, disujudi dengan kerelahan hati, dalam arti tidak memperhatikan arah mata angin. Sementara itu, Allah yang dikenal melalui Al Qur'an, disujudi
harus ke arah yang satu di mana dikatakan Allah bermukim. (
)
Jadi, agar kalimat
"Anda yg lebih tahu silahkan menjelaskan kalau ada yg salah dari yg saya tahu", berada pada makna sejatinya, menurut akal/nalar sehat ialah saling memperhatikan apa yang telah disampaikan pasangan diskusi. Jika belum sependapat karena 'akal/nalar sehat' masing-masing belum saling berterima, ya sudah, kita orang merdeka.
Damai, damai, damai.