Sudah ada bahasan yang sangat bagus, jadi saya copas saja ke sini ya
Untuk menjawab pertanyaan mengenai tanggapan terhadap cara sembahyang kepada leluhur dan boleh atau tidaknya makan makanan yang telah ‘disembahyangi’ menurut adat kepercayaan Tionghoa, saya mengacu kepada pengajaran dalam Kitab Suci, yaitu:
1 Kor 8: 1-13Di perikop ini Rasul Paulus mengajarkan kembali bahwa “tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa” (ay. 4), jadi Allah kita mengatasi segalanya. Oleh karena itu, kita hanya menyembah dan berdoa kepada Allah, sebab “bagi kita hanya ada satu Allah saja…. yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (ay.6). Maka kita sebagai orang Katolik tidak berdoa menyembah kepada leluhur. Namun bukan berarti kita tidak mengenang dan memperingati leluhur, sebab kita boleh atau bahkan harus berdoa bagi mereka yang sudah meninggal, untuk mendoakan jiwa mereka, agar Tuhan berkenan mengampuni dan membawa mereka ke dalam kebahagiaan surgawi.
Jadi dalam hal ini, kita percaya bahwa Tuhan kita mengatasi segala sesuatu, dan segala yang ‘disembahyangi’ bukan kepada Tuhan kita, sesungguhnya tidak akan mendatangkan pengaruh apapun kepada kita. Rasul Paulus mengatakan, “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan” (ay.8). Namun pengetahuan yang demikian jangan sampai membuat kita sombong, melainkan kita harus menunjukkannya dengan kasih (lihat ay.1-3). Maksudnya adalah kita harus bijaksana dalam menyikapi mengenai masalah ini.
Rasul Paulus mengingatkan, “jagalah supaya kebebasanmu ini jangan sampai menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah. Karena apabila orang melihat engkau yang mempunyai ‘pengetahuan’, sedang duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan untuk makan daging persembahan berhala?” (ay. 9-10) Sebab jika demikian kita menjadi ‘batu sandungan’ bagi orang itu, mereka menjadi ‘binasa’ karena pengetahuan kita, dan dengan demikian kita berdosa terhadap Kristus (lihat ay. 11-12). Maka Rasul Paulus mengatakan, “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.” (ay. 13)
1 Kor 10: 18-33Rasul Paulus mengajarkan agar umat tidak mempersembahkan apapun kepada roh-roh jahat (ay. 20-22). Walaupun demikian, umat dapat makan daging yang dijual di pasar yang kemungkinan berasal dari persembahan di kuil [tentu asal tidak ikut mempersembahkan kurban di kuil] karena pada dasarnya bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan (ay. 25-26). Jadi jika umat disuguhi makanan oleh orang yang tidak percaya, tidak perlu menyelidiki asal usul makanan tesebut, namun jika diberi tahu kalau itu makanan sembahyangan, sedapat mungkin dihindari, bukan karena ia berdosa jika memakannya [karena dikatakan, segala sesuatu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu membangun, dalam ay. 23], tetapi karena jangan sampai umat menjadi batu sandungan bagi orang lain (ay. 28-29, 32).
Rom 14:13-17Rasul Paulus kembali mengingatkan agar jangan kita menghakimi dan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Rasul Paulus berkata bahwa di dalam Yesus “tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis. Sebab jika engkau menyakiti hati saudaramu oleh karena sesuatu yang engkau makan, maka engkau tidak hidup lagi menurut tuntutan kasih. Janganlah engkau membinasakan saudaramu oleh karena makananmu, karena Kritus telah mati untuk dia…. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.”
Jadi misalnya, kita tidak sepantasnya makan babi di depan mata saudara kita yang beragama muslim. Atau, jangan sampai kita makan makanan yang habis ‘disembahyangi’, jika di situ ada orang yang dapat berpikir, “Oo, jika demikian orang Katolik setuju dengan cara sembahyangan leluhur macam ini.” Padahal kita semua tahu bahwa kita sebagai orang Katolik tidak ber-’sembahyang’ dengan cara demikian. Jika demikian situasi yang dihadapi oleh Nie, maka sikap Nie sudah benar, bahwa supaya tidak menjadi batu sandungan, lebih baik tidak usah memakan makanan sembahyangan itu. Namun sebaliknya, jika karena tidak makan malah menyebabkan pertengkaran di dalam keluarga sehingga ini juga menjadi ‘batu sandungan’ dalam bentuk yang lain, maka tidak ada salahnya makan makanan tersebut.
Mat 15:11, 18-19Akhirnya, kita melihat kepada apa yang diajarkan Yesus sendiri tentang hal ini. Yesus mengatakan, “…bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…. Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”
Bukankah memang demikian halnya? Ada orang-orang yang ribut mengatakan jangan makan ini atau itu, sebab itu najis; namun sesungguhnya di lain hal mereka gagal berbuat kasih dengan ucapan perkataan negatif yang keluar dari mulut mereka. Hal ini dapat juga terjadi pada kita semua. Maka Alkitab mengingatkan kita, supaya jangan sampai kita menajiskan diri dengan perkataan yang keluar dari mulut kita; di samping bahwa kita perlu dengan bijaksana mengatur apa yang masuk ke dalam mulut kita (agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain dan tentu agar itu berguna bagi kesehatan kita). Selanjutnya, kita harus berhati-hati dengan ucapan kita, sebab itulah yang menjadi cerminan isi hati kita.
Namun demikian, perlu kita ingat bahwa biar bagaimanapun, kita harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, karena demikianlah yang menjadi ajaran para rasul (Kis 15: 29). Demikianlah jawaban saya, semoga dapat berguna buat kita semua.
http://katolisitas.org/1525/perihal-makanan-sembahyangan