Damai sejahtera menyertaimu jalu. Saya mau kasi komentar, boleh, ya?
Pertanyaannya, mengapa Tuhan harus memberi prasyarat dalam pengampunan dosa tsb? Apa tidak terkesan Tuhan tidak PD bahwa ia adalah Tuhan?
Menurut pemahaman saya, berdasarkan pengertian saya atas kisah penciptaan di
Kitab Kejadian, pada mulanya, Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia. Tuhan memberitahukan keinginanNya, agar manusia
taat kepada Tuhan. Kepada manusia diberitahukan bahwa kebahagiaan adalah upah manusia yang taat.
Tapi apa lacur? Manusia jatuh ke dalam dosa, tidak taat. Maka konsekuensinya, jika manusia ingin memperoleh kebahagiaan itu kembali, manusia harus melalui "jalan, kebenaran, dan hidup". Prasyarat itu bukan mengesankan kekurang-PD-an Tuhan, justru meperlihatkan bahwa Tuhan itu murah, tetapi tidak murahan.
Saya pikir, pemikiran orang Indonesia dahulu sudah menangkap esensi seperti itu, maka orang Indonesia tempo doeloe mengemukakan pepatah "Tangan mencencang, bahu memikul," yang artinya kira-kira selain pengkhususan tugas, juga menggambarkan siap menanggung konsekuensi. DIpertajam dengan "Berani berbuat, berani bertanggung jawab".
Jadi, agar manusia itu dapat sampai kepada kebahagiaan sejati seperti yang dahulu kala sudah diberikan kepada Adam pada saat penciptaan, maka kepada manusia itu diberikan syarat. Bukan tidak mampu Tuhan memberikan keselamatan tanpa syarat, tetapi menurut pemahaman saya, Tuhan menghormati
kemerdekaan yang telah diberikan kepada manusia. Bahwa manusia harus menggunakan kemerdekaan itu untuk menjalani "jalan, kebenaran, dan hidup", agar dapat datang kepada Bapa. Sekali lagi, syarat itu tidak menggambarkan kekurang-PD-an Tuhan, tetapi itu memeperlihatkan bahwa
Tuhan itu murah hati, tetapi tudak murahan.
Tuhan, mengapa pesan yang sangat penting itu kau letakan di pundak manusia untuk menyampaikannya. Mengapa engkau, dengan kecanggihanmu, tidak menyampaikannya dengan cara "BREAKING NEWS" secera serempak ke seluruh manusia yang ada dimuka bumi ini. Sehingga setiap manusia dapat mengetahuinya secara serempak dan bersamaan waktunya. Dan, engkau menuntut kami percaya, sedangkan kami berada di dimensi waktu dan ruang yang berbeda ketika engkau melakukan penebusan dosa itu. Untuk manusia manusia yang mengalami suasana bathin peristiwa penyaliban itu, mungkin akan lebih mudah mempercayainya. Tapi kami, kami tidak diberikan kesempatan yang sama dengan mereka. Dan, engkau menuntut kami percaya. Dimanakah keadilan itu... Dan, bagaimana manusia manusia yang belum sempat mendengar kabar itu tapi telah mati terlebih dahulu. Apakah mereka akan selamat. Apa tolok ukur keselamatan bagi mereka? Jika engkau masukan mereka yang tidak/atau belum mendengar ke dalam surga, mengapa pula kami harus mendengar pesan itu, karena ketika kami mendengar pesan itu, kami dihadapkan kepada pilihan percaya atau tidak, Tidak percaya berarti tidak selamat. Sementara mereka yang tidak mendengar atau belum mendengar tapi keburu mati, mereka terbebas untuk melakukan pilihan dan mereka engkau putuskan masuk surga. Kalau begitu lebih baik pesan itu tidak sampai ke telingga kami....
Atas paragraf panjang ini, saya ingin katakan bahwa rancangan Tuhan bukanlah rancangan manusia. Pikiran Tuhan bukanlah pikiran manusia. Rencana Chalik, tidaklah rencana makhluk.
Adalah bagus kalau bathin manusia ingin mengenal Penciptanya, namun menjadi bablas kalau ciptaan menginginkan agar Pencipta berbuat seperti yang diinginkan ciptaan.
Khusus yang saya tebalkan itu, mengingatkan saya pada pengalaman ketika saya 'dipenjarakan' orang tua di suatu asrama persekolahan dulu. Teman sekamar saya mempunyai kakak, yang juga cowok. Mungkin orang tua mereka sudah 'menjatahi' mereka dengan hitung-hitungan yang pas. Namun, sang kakak mungkin karena sudah mulai pacaran, menjadikan kebutuhannya lebih besar, maka si kakak sering kehabisan krim rambut.
Suatu hari, tanpa ba-bi-bu, ketika sang adik main bola di lapangan, si kakak mengambil krim rambut si adik agak lebih banyak, si kakak memindahkan ke tabung yang sudah disediakan untuk dibawa ke kamarnya. Begitu selesai main bola, si adik (yang sekamar saya itu) saya beritahu bahwa tadi kakak datang mengambil krim rambut. Teman saya itu melihat krimnya, mungkin kecewa atau bagaimana, langsung membanting tabung kaca itu, maka krim yang tersisa menjadi berceceran di lantai di antara beling tabung.
Usut punya usut, ternyata si adik menganut pikiran mirip seperti bagian
posting yang saya tebalkan di atas. Kalimat
"Kalau begitu lebih baik pesan itu tidak sampai ke telingga kami...." dirubah menjadi,
"Kalau begitu, sekalian saja krim ini jangan disisakan," sambil membanting tabung ke lantai sampai berantakan.
Karena kelas saya lebih senior daripada kelas teman sekamar itu, sambil senyum-senyum saya katakan padanya, "Mmmm... kalau saja tabung krim itu tidak engkau banting, mungkin masih bisa saya manfaatkan. Tapi karena sudah terburai di lantai, silahkan bersihkan lantai kita," gitu.
Yang ingin saya sampaikan, khusus yang saya tebalkan itu, apakah memang begitu? Bagi saya, itu terkesan ingin mendikte Tuhan.
Damai sejahtera menyertai FIKers, sekarang dan selamanya.